TIMES JATIM, MALANG – Sopir angkot yang tergabung dalam Paguyuban sopir angkot bersama Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Malang menolak rencana kehadiran Trans Jatim di wilayah Malang. Hal ini mereka sampaikan saat menggelar audiensi bersama DPRD Kota Malang.
Pertemuan tersebut membahas rencana peluncuran layanan Trans Jatim di Kota Malang yang ditargetkan mulai beroperasi Oktober atau November 2025 mendatang.
Sekretaris Organda Kota Malang, Purwono Tjokro Darsono mengatakan, audiensi ini dilakukan untuk menyalurkan aspirasi sekaligus mencegah gejolak di lapangan. Ia menegaskan para sopir angkot sepakat menolak program Trans Jatim.
“Intinya kami mendengar pendapat DPRD, lalu hasil komunikasi ini menyampaikan penolakan terhadap Trans Jatim. Selama ini tidak ada diskusi maupun sosialisasi resmi, padahal isu yang berkembang angkot akan dijadikan feeder. Ini menyangkut urusan perut,” ujar Purwono, Selasa (16/9/2025).
Purwono menilai, kebijakan transportasi seharusnya disusun dengan kajian mendalam, baik dari sisi lalu lintas maupun sosial. Tanpa komunikasi yang jelas, menurut Purwono, Trans Jatim justru berpotensi menimbulkan masalah baru.
Sikap tegas juga disampaikan Ketua Forum Komunikasi Paguyuban Angkot, Stefanus Hari Wahyudi. Ia menyebut keberadaan Trans Jatim bisa mematikan angkutan kota yang masih beroperasi.
“Kekhawatiran itu nyata, karena kami tidak pernah diajak duduk bersama secara resmi. Tiba-tiba di media ramai diberitakan dan rencananya diluncurkan bulan Oktober. Sampai sekarang, argumen pembelaan dari Dishub belum terealisasi,” katanya.
Stefanus menambahkan, pendapatan sopir angkot saat ini sudah menurun drastis. Meski kondisi sepi, mereka tetap berupaya melayani masyarakat. Karena itu, ia menegaskan seluruh paguyuban sepakat menolak Trans Jatim.
“Tetap harga mati, kami menolak. Dari semua jalur di Kota Malang sepakat menolak,” tegasnya.
Sementara, Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, menilai kekhawatiran para sopir angkot wajar karena belum dilibatkan secara penuh. Aspirasi yang disampaikan beserta petisi telah diteruskan ke DPRD Jawa Timur (Jatim) dan Dishub Jatim untuk dibahas lebih lanjut.
“Program ini belum sepenuhnya komprehensif. Supir angkot adalah salah satu stakeholder penting. Kalau tidak dilibatkan, pasti muncul kekhawatiran,” tutur Amithya.
Menurutnya, integrasi transportasi publik perlu dijelaskan lebih detail, termasuk peran angkot sebagai feeder. Hal ini dianggap realistis mengingat kondisi jalan Kota Malang sempit dan tidak semua wilayah bisa dijangkau bus.
“Feeder ini pasti dibutuhkan, tapi seberapa besar porsinya dalam rangkaian transportasi kita belum tahu. Apalagi jumlah mahasiswa di Malang mencapai 700 ribu. Kalau semua membawa kendaraan pribadi, kemacetan pasti semakin parah. Di sinilah peran angkot bisa difungsikan,” pungkasnya.
Pewarta | : Rizky Kurniawan Pratama |
Editor | : Imadudin Muhammad |