TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Di sebuah rumah bersubsidi di Perumahan Arum Abadi Bogowonto, Kota Probolinggo, Jatim, suasana haru menyambut kedatangan tamu istimewa.
Senin siang, 27 Oktober 2025, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKB, Muhammad Hilman Mufifi—akrab disapa Gus Hilman—datang menjenguk Syailendra Haical, santri korban selamat dari tragedi ambruknya musala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo.
Haikal, 13 tahun, kehilangan kaki kirinya dalam insiden yang merenggut puluhan nyawa. Ia terjebak selama dua hari di bawah reruntuhan bangunan tiga lantai, sebelum akhirnya berhasil dievakuasi oleh tim SAR dalam kondisi sadar.
Video penyelamatannya sempat viral, memperlihatkan Haikal berbicara dengan tim penyelamat sambil menahan sakit.
Setelah dievakuasi, Haikal dirawat intensif di RSUD dr. R.T. Notopuro, Sidoarjo. Karena luka parah di kaki kirinya, tim medis memutuskan untuk melakukan amputasi. Ia menjadi pasien terakhir dari 13 korban luka-luka yang dipulangkan, tepat pada Kamis, 16 Oktober 2025.
Di kamar kecilnya, Gus Hilman berbincang langsung dengan Haikal, menyimak cerita dan harapan dari anak yang kini menjadi simbol ketabahan.
Kunjungan itu bukan sekadar silaturahmi. Sebagai legislator yang membidangi pendidikan, Gus Hilman ingin memastikan bahwa Haikal mendapat jaminan pendidikan yang layak.
Di ruang tamu rumah sederhana itu, Gus Hilman juga disambut oleh kedua orang tua Haikal, Abdul Hawi dan Dwi Ajeng.
Sang ayah mengungkapkan bahwa rumah mereka kini sering dikunjungi pasca tragedi. Mulai tetangga, kerabat, hingga pejabat datang silih berganti membawa doa dan dukungan.
“Wakil Bupati Probolinggo, Fahmi AHZ, juga sempat datang malam-malam. Karena di ruang tamu banyak tamu, beliau duduk di teras,” kenang Hawi sambil menunjuk sudut kecil di depan rumah.

Teras itu, yang biasanya menjadi tempat keluarga bersantai, kini menjadi saksi empati dari banyak pihak. Di halaman rumah mungil bersubsidi itu, tampak sebuah kursi roda yang biasa digunakan Haikal—sunyi, namun penuh makna. Ia menjadi simbol perjuangan seorang anak yang tak menyerah pada keterbatasan.
Menghafal Al-Quran di Pesantren
Syailendra Haical mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri Monang Leres 1, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo.
Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo—mengikuti jejak sang ayah yang merupakan alumni salah satu pondok pesantren tertua di Jawa Timur.
Haikal bertubuh mungil, namun menyimpan kecerdasan yang luar biasa. Menurut kedua orang tuanya, Haikal memiliki kemampuan cepat menghafal, terutama ayat-ayat suci. Karena itu, di Ponpes Al Khoziny, putra sulung pasangan Hawi dan Dwi Ajeng itu mulai menghafalkan Al-Qur’an.
Pasca tragedi, Abdul Hawi sengaja tidak membawa Haikal pulang ke kampung halaman mereka di Sumberasih. Ia memilih tinggal di rumah subsidi di Arum Abadi Bogowonto demi menjaga ketenangan mental putranya.
“Kalau di kampung, banyak teman-teman sebaya yang datang. Saya khawatir itu justru membuat mental Haikal down,” ujar Hawi.
Di perumahan, Haikal lebih leluasa bermain bersama adik perempuannya. Untuk sementara, Hawi dan Dwi Ajeng juga memberi kebebasan Haikal bermain gawai, sesuatu yang sebelumnya sangat dibatasi.
“Sejak SD, kami memang ketat soal gawai. Tapi sekarang kami beri kelonggaran, supaya dia bisa lebih rileks,” tambah Hawi.
Namun belakangan, Haikal mulai menunjukkan tanda-tanda kebosanan. Kepada sang ayah, ia sempat mengajak memancing—aktivitas yang dulu jarang ia lakukan.
Ajakan itu membuat Hawi kebingungan. Di satu sisi, ia senang melihat semangat anaknya kembali tumbuh. Di sisi lain, ia khawatir kondisi fisik Haikal belum memungkinkan. Haikal masih harus menjalani kontrol rutin setiap pekan ke RSUD dr. Notopuro, dan Hawi juga mempertimbangkan dampak psikologis jika Haikal terlalu cepat berinteraksi di luar rumah.
Meski belum sepenuhnya pulih, Haikal tetap ingin kembali mondok. Sang ayah memastikan bahwa putranya akan melanjutkan pendidikan di pesantren, namun keluarga masih menunggu hingga kondisinya benar-benar siap.
“Untuk sementara di sini dulu sampai kondisinya benar-benar siap,” ujarnya.
Kisah Haikal dan kunjungan Gus Hilman menjadi pengingat bahwa pendidikan bukan hanya soal ruang kelas, tapi juga tentang keberpihakan, keberanian, dan kasih sayang.
Di rumah kecil itu, masa depan sedang dirajut perlahan—dengan doa, dukungan, dan tekad yang tak pernah padam. (*)
| Pewarta | : Muhammad Iqbal |
| Editor | : Muhammad Iqbal |