TIMES JATIM, BATU – Waktu sudah menunjukkan pukul 01.43 dini hari. Namun di salah satu desa di Kota Batu, kehidupan justru tampak semakin riuh. Tidak seperti biasanya yang sepi dan lengang, suasana kali ini berbeda. Kalau biasanya kehidupan desa di dini hari hanya terlihat di pojok-pojok desa, di pos kamling yang dijaga warga dan Linmas, malam itu berubah drastis: ramai, semarak, dan menyerupai sebuah pesta jalanan.
Fenomena itu bernama “Sound Horeg” — singkatan dari “Sound Hore Gegap Gempita” — yang dalam dua tahun terakhir menjamur di berbagai desa di Jawa Timur. Lebih dari sekadar hiburan malam, Sound Horeg menjelma menjadi perayaan massal. Namun, di balik euforianya, tersembunyi kegelisahan, gesekan sosial, hingga fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Disana-sini terlihat gemerlap lampu sorot berpadu dengan lampu disko warna-warni. Di jalan desa, sebuah truk membawa tumpukan sound system berukuran besar, dengan dentuman musik keras menghentak, layaknya di klub malam. Di belakang truk, banyak orang berjoget mengikuti irama musik yang diperdengarkan.
“Sampek isuk pokok’e, (Sampai pagi pokoknya)” ujar seorang warga yang dikenal dengan nama panggilan Tiwil, sambil terus berjoget di tengah kerumunan.
Tiwil bukan peserta karnaval, ia hanya warga biasa yang menonton dan ikut nimbrung menari. Di belakang truk sound, terlihat warga desa—terutama anak-anak muda—laki-laki dan perempuan berbaur.
Bahkan, di antara mereka ada pula anak-anak kecil yang ikut berjoget. Padahal hari itu bukan hari libur. Tidak jelas apakah mereka tetap akan berangkat kerja atau sekolah keesokan harinya.
Di sudut-sudut desa, petugas keamanan dari kepolisian dan Linmas terlihat berjaga selama 24 jam penuh, memastikan keamanan tetap terjaga di tengah pesta besar yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari itu.
Perhelatan pesta ini tidak murah. “Besaran dana urunan tergantung masing-masing wilayah, disesuaikan jumlah penduduk dan harga sound yang disewa, bisa ratusan ribu, bisa juga jutaan,” ujar Tiwul.
Tak sedikit warga yang harus menyesuaikan prioritas demi ikut ambil bagian. “Ada tetangga saya, lebih memilih ikut urunan sewa sound daripada membayar air Hipam, padahal dia belum membayar iuran selama 6 bulan,” ujar Yusuf, warga salah satu desa di Kota Batu.
Antusiasme warga mencapai puncaknya ketika truk yang membawa Mega Sound Horeg itu datang ke desa mereka. Malam sebelum karnaval, dilakukan check sound di lapangan terbuka, kemudian keesokan harinya digelar karnaval. Laju truk sengaja diperlambat agar bisa memasuki desa tepat saat Magrib. Ketika waktunya tiba, musik pun dinyalakan, lampu sorot dinyalakan—dan pesta dimulai.
Pedagang kecil banyak yang berdatangan, membuka lapak dari pagi hingga keesokan hari. Namun tidak semua warga menyambut hangat tradisi baru ini.
“Kehidupan di desa beda dengan di kota, kita ikuti saja apa yang ada (ikut menyumbang), yang penting hubungan dengan tetangga tetap baik,” ujar Agus Nanto, warga Kota Batu.
Agus sendiri mengaku tidak kuat dengan suara dentuman sound system yang luar biasa keras.
“Ketika desaku menggelar check sound, saya lebih memilih tidur di rumah saudara di desa lain,” ujarnya.
Dampaknya meluas. Hotel dan penginapan di Kota Batu bahkan dikabarkan sempat tidak menerima tamu karena terganggu acara sound horeg di desa-desa sekitar.
“Iki sing juga bahaya, sadar gak sadar, apa yang terjadi mengikis empati terhadap sesama. Kerugian bahkan musibah sing dialami liyo, ditanggepi sepele malihan, (Ini yang juga berbahaya, sadar ataupun tidak sadar, apa yang terjadi mengikis empati pada sesama, Kerugian bahkan musibah yang dialami lain, hanya ditanggapi ditanggapi sepele)" kata Puji, warga Kota Batu.
Menurut Puji, budaya Jawa yang mengedepankan toleransi secara perlahan mulai tergerus akibat kebiasaan pesta musik semalam suntuk ini.
Regulasi dan Fatwa Haram Sound Horeg
Pihak kepolisian sebenarnya telah mengantisipasi. Sebelum karnaval desa digelar, Polres Batu mengundang perwakilan warga dan pengusaha sound untuk berdialog. Terutama untuk agenda di Desa Giripurno, Kecamatan Bumiaji, yang digelar pasca keluarnya instruksi Kapolda Jatim dan fatwa MUI.
Awalnya, aturan ketat diberlakukan: karnaval hanya boleh menggunakan kendaraan L300, maksimal empat sub sound system, dan acara wajib selesai pukul 23.00 WIB.
“Kami memahami kondisi di lapangan. Peserta boleh menggunakan kendaraan maksimal colt diesel, tetapi tidak diperbolehkan memakai fuso atau truk besar,” tegas Kabag Ops Polres Batu, Kompol Anton Widodo, usai rapat.
“Batas sub sound system dinaikkan dari empat menjadi lima unit, dengan catatan peserta tetap mematuhi batas kebisingan sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996, yakni maksimal 60 desibel. Soal waktu, tidak ada perubahan. Semua harus selesai pukul 23.00 WIB,” tambah Anton.
Hasil Polling TIMES Indonesia: Mayoritas Warga Menolak Sound Horeg
TIMES Indonesia menyebar polling ke tiga grup WA warga Kota Batu. Tiga opsi ditawarkan: Larang Sound Horeg, Beri Izin Sound Horeg, dan Beri Pembatasan Operasional.
Dari tiga grup WA tersebut, menunjukkan hasilnya yang berbeda-beda. Satu grup mayoritas memilih melarang, hanya satu orang yang ingin memberi izin.
Grup kedua, mayoritas juga ingin pelarangan penuh, sisanya memilih pembatasan. Sedangkan, Grup ketiga, suara nyaris imbang antara larangan dan pembatasan.
Polling ini memunculkan berbagai diskusi. Salah satunya tentang kabar kematian seseorang usai menonton sound horeg.
"Gara-gara kaget, gak kuat syara keras. Dadanya drodog kemudian dibawa ke rumah sakit, tapi di tengah jalan orang itu meninggal dunia, (Gara-gara kaget, tidak kuat suara keras. Dadanya sakit kemudian diantar ke rumah sakit, tapi di tengah jalan orang itu meninggal dunia)" begitu narasi yang muncul di grup WA.
Polres Batu segera menelusuri informasi tersebut. Hasilnya, tidak sepenuhnya benar.
"Kita sudah klarifikasi ke rumah duka. Jadi beliau kecapekan menonton sound horeg, terus mengeluh sakit, dibawa ke RS dan meninggal dunia di rumah sakit. Keluarga ikhlas atas kepergian beliau. Kebetulan meninggalnya bersamaan dengan event sound horeg dan beliau juga penikmat sound, akhirnya dihubung-hubungkan," jelas Kasubag Humas Polres Batu, Aiptu Doni.
Suara dari Warga Kota Batu
Cahyo, salah satu anggota grup WA warga, mempertanyakan aliran dana dalam kegiatan sound horeg.
“Cek sound ini hanya menguntungkan pengusaha besar sound dari luar Kota Batu. Warga mengumpulkan uang dalam waktu cukup lama, tapi kemudian uangnya justru diberikan ke pengusaha dari luar,” kritiknya.
Menurut Cahyo, lebih baik kembali ke pola karnaval lama. “Pengusaha sound lokal bisa sumringah, sound-nya laku. Petani juga diuntungkan, karena produksi bunga, sayur, dan buah mereka laku terjual untuk dekorasi karnaval,” tambahnya.
Dari sisi budaya, ia menyarankan pemerintah desa untuk “uri-uri budaya leluhur” agar desa tetap menarik untuk wisatawan. Bukan mengusir karena kebisingan.
“Saya pilih opsi ke-3 (pembatasan Sound). Saya pikir di situ juga banyak pedagang atau UMKM menaruh harapan selain yang punya sound. Dan menurut saya Sound Horeg cukup di lapangan saja dan tidak berkeliling,” ujar Karjono, warga lainnya.
Seniman lokal Sunarto pun angkat bicara.
“Saya pilih no 3 karena saya dulu pada saat COVID mendampingi seniman isor terop, mulai dari pekerja seni sot terop hingga pemilik usaha persewaan sound di kampung-kampung. Akhirnya yang tidak punya modal buyar. Setelah kena COVID malah kena kapitalis sound besar. Setidaknya dengan pembatasan, sound kampung bisa laku,” katanya.
Menunggu Tindakan Tegas Pemkot Batu
Kisruh soal Sound Horeg kini menjadi isu sensitif di Kota Batu. Di tengah euforia warga yang menjadikannya pesta tahunan, terdapat keresahan yang pelan-pelan mengemuka.
Warga kini menanti langkah konkret dari Pemkot Batu. Akankah mereka menertibkan? Membatasi? Atau malah menutup mata?
Yang jelas, Sound Horeg tak lagi sekadar soal musik dan hiburan. Ia telah menjadi cermin: tentang prioritas sosial, solidaritas warga, dan identitas budaya yang perlahan hilang di tengah dentuman bass dan lampu sorot.(*)
Pewarta | : Muhammad Dhani Rahman |
Editor | : Imadudin Muhammad |