TIMES JATIM, BONDOWOSO – Memiliki nama lengkap Triyana. Dia merupakan anggota TNI AD (Angkatan Darat) berpangkat Mayor Infantri. Dia memilih menempuh pendidikan S3 di Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember (UIN KHAS Jember).
Sebentar lagi dia akan mendapatkan gelar doktor. Uniknya, pria kelahiran Kulon Progo ,19 Agustus 1976 ini menempuh pendidikan S3 di Fakultas Pendidikan Agama Islam (PAI).
Ternyata dia memang tekun mempelajari agama islam. Bahkan S1 dan program magisternya juga di PAI. Dia menempuh S1 di STAIN Sorong Fakultas PAI dan S2 di Universitas Alaudin Makassar di fakultas yang sama.
Pria yang saat ini menjabat sebagai Pasi Bhakti TNI Ster Korem 181/PVT ini tengah mengikuti uji disertasi dengan judul “Internalisasi Tentang Nilai Juang dan Religiuitas melalui Pembinaan Mental: Studi Fenomenologi Kodam/XVIII Kasuari”, Senin (25/11/2024).
Menurutnya, latar belakang judul disertasi ini karena prajurit di Kasuari memiliki tipologi yang berbeda dari wilayah luar terutama Jawa.
Di sana sangat heterogen dengan beragam kebudayaan. Sehingga cara rekrutmen penerimaan prajurit juga disesuaikan. Di sana ada jalur reguler dan ada juga jalur otonomi khusus Papua Barat Daya.
“Bahkan pernah penerimaan 1000 bintara. Tamtama juga sudah dan seluruhnya asli putra daerah Papua,” jelas dia.
Kondisi anak-anak di sana belum kenal dunia militer. Maka rekrutmen harus menyesuaikan dan grade standar bisa diturunkan tetapi dalam batas normal.
“Tetapi tuntutan profesionalisme dalam tugas tetap sama. Harus jadi prajurit memiliki daya juang tinggi, loyalitas dan disiplin. Sehingga perlu pembinaan mental. Meskipun SDM-nya beda harus jadi prajurit yang handal,” jelas dia.
Sementara keyakinan bagi mereka harga mati. Namun dalam beberapa hal kata dia, masih ada kelemahan. Seperti kurang bangga jadi prajurit dan masih ada yang mengonsumsi minuman keras karena kebiasaan dari kampung.
“Untuk bisa berhenti itu susah. Makanya dibutuhkan kesabaran untuk mengubah mental,” kata dia.
Selain itu lanjut dia, daya juang mereka masih ada yang kurang. Misalnya saat mereka ditekan dengan kegiatan yang berat kadang tak sanggup dan melarikan diri.
Oleh karena itu kata dia, semakin tinggi nilai religius maka diharapkan nilai juangnya juga lebih tinggi. Makannya pembinaan harus dilakukan di luar kegiatan formal dan kedinasan.
"Kadang mereka tidak bisa menyelesaikan masalah pribadi tetapi dengan minuman keras sehingga menimbulkan masalah yang baru. Makanya kita harus lebih banyak konseling," terang dia.
Fokus Belajar Agama dan Dakwah di Pedalaman Papua
Ada beberapa alasan dia fokus belajar agama. Bahkan semua jenjang sekolah tingginya menempuh pendidikan agama Islam. Pertama di tahun 1991 pernah gagal sekolah, sehingga tidak bersekolah satu tahun dan dia merasa menjadi paling terpuruk dalam hidupnya.
“Saya berjanji ketika diberikan kesempatan dan kemampuan akan bersekolah setinggi-tingginya,” ungkap dia.
Tugas militer pertamanya di Jayapura. Dia ingat pesan gurunya bahwa berada dimanapun harus bisa berdakwah. Dari sana terus termotivasi untuk mengikuti pendidikan agama dan memperkuat kemampuan dakwah di militer.
Selama tugas di Jayapura, maupun Sorong dan Manokwari dia selalu berinteraksi dengan masyarakat dan selalu berkolaborasi dengan Kemenag, sehingga dia termasuk dalam dai di wilayah kota Sorong maupun di Wilayah Papua Utara.
Bahkan seminggu sekali diminta menjadi khatib salat jumat dan berpindah dari masjid ke masjid. Termasuk di Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) di kabupaten.
“Bahkan sampai di daerah pedalaman. Jarak tempuh sampai enam jam perjalanan darat. Demi kejayaan Islam di Papua dan Papua Barat Daya,” jelas dia.
Di daerah pedalaman Papua ada satu kelebihan. Ada tradisi satu tungku tiga batu atau satu tungku tiga tiang yang dikenal dengan agama keluarga.
“Dalam satu rumah ada beberapa kepala keluarga yang agamanya berbeda. Di situlah saya sampai di pedalaman untuk berdakwah,” terang dia.
Dalam berdakwah dia juga harus mampu beradaptasi dengan kondisi sosial yang ada di masyarakat pedalaman dan mereka pendidikannya berbeda.
Menurutnya, dakwah di Raja Ampat, Sorong Selatan sampai di Maybrat Sorong harus peka dengan kondisi sosial budayanya dan menggunakan bahasa yang mudah agar diterima masyarakat setempat.
“Di sana hampir 99 persen bisa Bahasa Indonesia. Sampai orang tua di pedalaman juga bisa namun hanya percakapan tapi tidak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan,” jelas dia.
Walaupun dia sebagai anggota TNI, akan tetapi dia tetap berdakwah. Sekalipun ada gerakan sparatis dia yakin jika memeberikan yang terbaik pasti diterima.
“Saya beradaptasi apalagi kebetulan istri saya putri asli Papua. Jadi istri saya Raja Ampat Papua Barat Daya anak kepala suku. Di pedalaman saya dikenal sebagai anak adat dan itu salah satu faktor mempermudah saya ke pedalaman,” terang dia.
Dia sangat bangga dan berterima kasih pada panglima dan atasannya di TNI AD. Sebab pimpinan di TNI AD sangat mendukung jalan dakwahnya.
“Saya kuliah sambil dinas dari mulai S1 sampai S3 di Tarbiyah ini disupport dan diizinkan oleh Panglima, Komandan Korem sampai dengan Komandan Kodim. Ini bukti saya sudah didukung,” pungkasnya. (*)
Pewarta | : Moh Bahri |
Editor | : Imadudin Muhammad |