TIMES JATIM, MALANG – Candi Badut yang terletak di Desa Karangwidoro, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, merupakan salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Kanjuruhan, kerajaan tertua di Jawa Timur.
Bangunan berbahan batu andesit ini berukuran relatif kecil dan berada di tengah permukiman warga. Meski sederhana, Candi Badut menjadi bukti kejayaan masa lalu dan menjadi salah satu destinasi wisata sejarah di Malang.
Warisan dari Kerajaan yang Terdiam
Nama “Badut” yang melekat pada candi ini berasal dari kata Sansekerta “Liswa”, sebutan untuk Raja Gajayana yang disebut dalam Prasasti Dinoyo tahun 760 M.
Dalam prasasti itu, disebutkan bahwa Gajayana mendirikan tempat suci untuk Resi Agastya sebagai upaya mengusir penyakit dan melindungi kekuatan spiritual rakyatnya.
Relief kinara-kinari, makhluk setengah manusia-burung, menghiasi dinding Candi Badut sebagai simbol kesucian. (FOTO: Ardana Pramayoga/TIMES Indonesia)
Namun, penelitian lanjutan menemukan bahwa candi ini bukan hanya bangunan spiritual, melainkan bukti penting dari fase sejarah yang lebih kompleks, saksi sejarah masa penaklukan Kanjuruhan oleh Kerajaan Medang dari Jawa Tengah.
Penaklukan itu terjadi pada masa Raja Medang, Rakai Watukura Dyah Balitung (898–910 M). Ia membawa pasukan ke timur, menaklukkan Kanjuruhan yang telah lama berdiri sebelum Kediri, Singhasari, dan Majapahit lahir.
Kekalahan ini bukan sekadar cerita tentang jatuhnya sebuah tahta, melainkan awal dari pertemuan dua budaya besar Nusantara, kearifan lokal Kanjuruhan dan pengaruh politik-arsitektur Medang.
Dari titik inilah, identitas Candi Badut berubah. Dulu mungkin hanya sebuah “agastyagrha” atau bangunan sederhana untuk memuja Resi Agastya.
Namun setelah penaklukan, gaya arsitekturnya berkembang, muncul relief kinara-kinari, kirtimukha, serta pola bangunan khas Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa Candi Badut adalah produk dari asimilasi, bukan dominasi. Ia menyerap nilai baru tanpa melupakan akar lama.
Kekalahan yang Menyuburkan Peradaban
Yang membuat Kanjuruhan berbeda adalah bagaimana ia memaknai kekalahan. Bukannya lenyap, kerajaan ini berubah bentuk menjadi Kanuruhan, yaitu wilayah otonom di bawah Medang. Namun dari wilayah kecil ini, justru lahir figur-figur besar seperti Mpu Sindok yang memindahkan pusat Medang ke Jawa Timur, serta Narotama, tokoh kepercayaan Raja Airlangga.
Bahkan setelah Medang runtuh, wilayah Kanuruhan tetap eksis dalam struktur kerajaan-kerajaan setelahnya, seperti Kahuripan, Janggala, hingga Majapahit.
Candi Badut menjadi simbol bahwa Kanjuruhan tidak pernah benar-benar kalah. Ia memilih bertahan dan memberi kontribusi. Arsitekturnya menjadi teladan, sistem spiritualnya berpengaruh, bahkan lokasinya di jalur strategis Brantas menjadikan wilayah ini sebagai pusat perdagangan dan penyebaran budaya.
Kini, saat kita melangkah ke pelataran Candi Badut, kita tidak hanya melihat batu yang diam, tetapi melihat keteguhan sebuah peradaban.
Bangunan ini menghadap ke barat, berdiri dengan struktur kaki dan tubuh dari batu andesit, dan memiliki ruangan utama berisi lingga-yoni.
Di sekitar candi ditemukan fragmen arca Durga, Ganesha, dan Agastya, yang merupakan simbol spiritualitas Hindu-Siwa yang kuat. Sisa-sisa pewara (candi pendamping) yang pernah berdiri di halamannya menunjukkan bahwa kompleks ini pernah menjadi pusat ritual yang hidup.
Sarana Pelajaran dan Pesan dari Masa Lalu
Candi Badut mengajarkan kita satu hal penting, kemenangan bukan satu-satunya ukuran kejayaan. Kanjuruhan memang ditaklukkan, tetapi justru dari situ peran sejarahnya mengakar dan membentang panjang. Kekalahan tidak membuatnya tenggelam, melainkan menjadi pupuk bagi tumbuhnya budaya dan ilmu pengetahuan baru.
Relief kirtimukha tanpa rahang bawah di Candi Badut jadi bukti pengaruh Medang dan estetika Hindu klasik abad ke-9. (FOTO: Ardana Pramayoga/TIMES Indonesia)
Kanjuruhan memberi contoh bahwa berkontribusi bagi peradaban tidak harus dengan menjadi pemenang. Bahwa kerendahan hati dan kemampuan menerima perubahan juga bisa melahirkan kemegahan yang lebih abadi daripada kemenangan militer.
Candi Badut adalah suar kecil dari masa lalu yang menyala hingga hari ini. Dalam kesunyiannya, ia berkata: "Engkau boleh kalah, tapi jangan pernah berhenti berguna." Dan mungkin, dari batu-batu ini, kita belajar cara kalah dengan elegan dan bangkit dengan bijaksana, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Kerajaan Kanjuruhan. (*)
Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |