https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Modernisme Islam: Tokoh dan Pemikirannya

Rabu, 10 Juli 2024 - 16:28
Modernisme Islam: Tokoh dan Pemikirannya Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur

TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Jamaluddin Al-Aghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah tiga tokoh penting di dalam sejarah “Modernisme Islam”. Modernisme Islam adalah suatu kecenderungan pemikiran yang berkembang di dalam dunia Islam terutama di Mesir dan sekitarnya pada abad 19 dan awal abad 20, yang intinya adalah gagasan yang mengupayakan kesesuaian antara Islam dengan dunia modern; penafsiran Islam yang disesuaikan dengan zaman modern (modern datang dari Barat).

Jika ditelisik, sebenarnya modernisme Islam mempunyai kaitan dengan Rifa’ah Al-Tahtawi. Ia adalah satu tokoh yang mengenalkan peradaban Perancis kepada pembaca Mesir. Ia banyak menerjemahkan buku-buku mengenai filsafat, hukum, teologis dan lainnya. Tak hanya itu, ia juga dianggap sebagai bapak kebangkitan “Renaissance” atau “kebangkitan kembali” pemikiran Arab modern.

Dari Al-Tahtawi (yang pernah tingga 4 tahun di Mesir) lahirlah generasi-generasi berikutnya yang meneruskan semangat Al-Tahtawi, yaitu Jamaluddin Al-Aghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Al-Aghani kita kenal karena gagasanya yaitu “Pan Islamisme”, adalah kesatuan dunia Islam untuk melawan kolonialisme Barat. Sekali lagi ia dianggap tokoh penting karena mengoperkan Pan Islamisme ke seluruh dunia untuk melawan penjajahan Barat, termasuk pengaruhnya sampai ke Indonesia.

Demikian juga dengan murdnya Muhammad Abduh. Ia bukan saja meneruskan gagasan Al-Afghani di dalam mengembangkan Pan Islamisme, melainkan juga mengembangkan gagasan yang lebih spesifik yaitu “Reformisme”, melakukan gerakan yang disebut dengan “Islah”. Intinya, bahwa Islam sebagai praktik sosial, peradaban dunia sedang mengalami kemerosotan dan untuk membangkitkannya diperlukan pembaharuan.

Pembaharuan yang dianggap Abduh penting salah satunya adalah di dalam cara pandang “world view” atau cara pandang akan dunia. Ia berusaha mengkritik beberapa warisan pemahaman Islam tradisional yang dianggap tidak sesuai dengan tantangan modernisme.

Itu sebabnya, Abduh kemudian mengembangkan pemikiran teologi rasional bahkan ia dianggap dekat dengan Muktazilah. Namun demikian, teologi Abduh bukan teologi fatalistik yang mengatakan bahwa seluruh tindakan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan sehingga tidak mempunyai peran apa-apa, tawakkal saja. Tidak demikian.

Justru Abduh mengembangkan teologis yang optimis yang mengatakan bahwa manusia mempunyai peran. Karena itu, Abduh menulis “Risalah Al-Tauhid” berisi gagasannya, yaitu teologi tauhid yang lebih mengembangkan independensi atau otonomi manusia.

Tak hanya itu, Abduh juga menulis buku “Al-Islam wa Al-Nasraniyah Ma Al-Ilmi wa Al-Madaniyah”, yang isinya menolak tuduhan sebagian Oreintalisme Barat yang mengatakan bahwa Islam anti modernitas dan tehnologi. Kata Abduh Islam tidak demikian, melainkan Islam sangat “Pro” akan ilmu pengetahuan dan mencintai pengetahuan.

Salah satu ciri khas Abduh yang sangat menarik adalah (karena masih membawa semangat Al-Tahtawi) semangat terbuka terhadap Barat, pemikiran rasional dan peradaban modern. Sekali lagi, Islam adalah agama yang mencintai pengetahuan dan keberfikiran. Dengan kata lain, Islam tidak hanya mengulang-ngulang saja “taklid buta”, melainkan Islam juga melahirkan kreativitas ilmu-ilmu yang lain.

Yang tak kalah menariknya, karena sebab gagasan-gagasan Abduh lah yang mengilhami berdirinya ormas Islam besar kedua yang bernama Muhammadiyyah. Sejarah kelahiran Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Abduh yang rasional. Inilah warisan yang penting ditengah kecenderungan umat Islam yang sedikit-sedikit anti pemikiran Barat tak terkecuali mencurigai pemikiran dan pendekatan rasional.

Lalu siapa sebenarnya Rifa’ah Al-Tahtawi?

Rifa’ah Al-Tahtawi (1801-1878) hidup pada abad 19. Ia adalah kepala delegasi Mahasiswa Mesir yang diutus oleh gubernur Mesir (pada saat dibawah kekhalifahan Utsmani di Turki, Istanbul) yang bernama Muhammad Ali. Ia dikenal karena kebijakan-kebijakannya untuk memodernisasi negara Mesir, terutama di bidang tekhnologi, birokrasi, tak terkecuali bidang-bidang penyelenggaraan negara.

Model Muhammad Ali di dalam memodernisasi Mesir adalah Perancis (karena hubungan yang sangat khas antara Mesir dan Perancis). Kita tahu, Perancis pernah menduduki Mesir pada masa Napoleon Bonaparte (mantan Kaisar Perancis). Akibatnya, pengaruh pemikiran dan peradaban Perancis sangat besar.

Ketika Muhammad Ali melakukan modernisasi pada abad 19 sejumlah Mahasiswa diutus ke Perancis untuk belajar dalam berbagai disiplin, termasuk Al-Tahtawi yang merupakan lulusan Al-Azhar dan “kiai tradisional”. Saat Al-Tahtawi di Perancis, ia bukan saja sebagai pendamping atau imam Mahasiswa, melainkan juga belajar secara ototidak.

Misalnya, ia belajar dari nol bahasa Perancis dan menguasainya serta terlibat pergaulan yang sangat luas dan mengenal peradaban dan intelektual Perancis. Dengan kata lain, dalam rentang waktu 5 tahun di Perancis ia menyerap banyak informasi dan pengetahuan.

Hingga akhirnya ketika kembali ke Mesir ia menulis “memoar”. Tentu saja memoar ini sangat berharga oleh sabab ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman. Memoar itu diberi judul “Talkhis Al-Ibris fi Talkhis Al-Paris” ringkasan selama ia hidup di Paris.

Salah satu testimoninya dalam buku itu ia mengatakan begini: “Sesungguhnya orang-orang Paris itu mempunyai keunggulan atau khas. Diantara orang-orang Kristen lain, orang Paris mempunyai ciri khas kecerdasan dan kedalaman pemahaman-pemahaman dalam mengeksplorasi hal-hal baru.”

Jika kita membaca lebih jauh buku “Talkhis Al-Ibris fi Talkhis Al-Paris” ada kritikan dan apresiasi terhadap peradaban Paris (Perancis). Menariknya, pada Al-Tahtawi ini kita masih melihat ada sikap keterbukaan (dunia Islam dicerminkan melalui figur Al-Tahtawi terhadap perabadan Barat).

Namun demikian, sebetulnya, hal ini sangat kontras dengan perkembangan sekarang. Di mana, sikap sentimen terhadap Barat, anti Barat, menuduh Barat sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk menghancurkan Islam tanpa memisah-misahkan Barat yang mana, sebab Barat kompleks tidak sesuatu utuh dan satu. Bagaimanapun Barat ada segi positifnya, tidak selamanya negatif.

Dan bukunya Al-Tahtawi adalah sebuah kesaksian era di mana Islam masih mempunyai sikap lapang dada dan keterbukaan-keterbukaan. Inilah yang patut kita lestarikan dan apresiasi. 

***

*) Oleh : Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.