Kopi TIMES

Perdagangan Perempuan dan Anak

Jumat, 02 Juni 2023 - 13:44
Perdagangan Perempuan dan Anak Novelin Silalahi, Mahasiswa Studi Pascasarjana Analisis Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.

TIMES JATIM, JAKARTA – Kemajuan zaman yang terjadi saat ini seakan tidak ada batasnya lagi, semua dapat diakses, semua dapat dijangkau, semua dapat diketahui dengan mudah dan semua dapat dilakukan dengan hebat. Kemajuan ini tidak hanya berdampak positif, namun juga berdampak negatif.

Salah satu bentuk kejahatan di tengah kemajuan zaman yakni human trafficking atau yang biasa kita dengar dengan perdagangan manusia. Kejahatan ini sudah semakin merajalela, tidak hanya terjadi di dalam satu daerah ke daerah lain dalam satu negara, namun juga menembus batas negara. Perdagangan yang sifatnya tidak hanya diperjualbelikan di dalam negara, namun sampai  menembus batas negara.

Perlunya pemberantasan mafia atau induk sumber atas kejahatan ini, kita juga perlu memberantas faktor penyebab kejahatan ini, kejahatan ini biasanya terjadi pada masyarakat yang kurang mampu, atau bisa disebut faktor yang paling besar yakni kemiskinan. Korbannya adalah mereka yang terpinggirkan, terkhusus perempuan dan anak, persoalan kemiskinan mendorong orang untuk melakukan apapun yang dapat menyelamatkan hidupnya dan keluarganya. Faktor lainnya yakni minimnya tingkat pendidikan, faktor uang dan pengangguran.

Perdagangan Perempuan dan Anak yakni salah satu kejahatan yang termasuk ke dalam tindak pindana. Jual beli perempuan dan anak ini sudah lama terjadi, khususnya di Indonesia. Ada banyak pola yang terjadi, dimulai dari penjaringan penyaluran tenaga kerja yang berkedok distribusi tenaga kerja, pengangkatan anak, dan membantu perekonomian masyarakat menengah ke bawah.

Sasaran mereka bukan wilayah perkotaan, melainkan anak anak dari kampung, anak muda yang baru lulus sekolah menengah atas, atau anak anak muda yang tidak bisa melanjutkan perkuliahan, yang orang tuanya memiliki pendidikan rendah seperti petani, nelayan, dan lainnya.

Modusnya, mereka direkrut dengan janji bekerja, diberi uang untuk orang tuanya, gaji yang fantastik dan cukup besar, dan di bawa keluar dari kampungnya menuju ke luar kota, dan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial. Kasus ini besar terjadi di wilayah Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Media Kompas pada tahun 2016 pernah menulis terdapat 1.667 orang calon tenaga kerja wanita (TKW) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dikirim keluar daerah secara ilegal, mereka menjadi korban human trafficking (perdagangan manusia). 

Persoalan perdagangan perempuan dan anak ini sangat membahayakan individu, masyarakat luas, hingga negara. Karena sejatinya perempuan dan anak, baik di wilayah barat, tengah dan timur, semua berhak untuk memiliki hak yang sama. Mereka berhak untuk memiliki rasa aman dan nyaman, mereka berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dan semua hak atas kehidupan di bumi ini mereka layak untuk mendapatkannya. 

Pada tahun 2014, Nusa Tenggara Timur pernah menjadi Provinsi dengan urutan pertama dalam kasus perdagangan manusia. Perdagangan perempuan dan anak ini didominasi oleh perempuan dengan usia kurang lebih 15 tahun ke atas, usia peralihan dari remaja menuju dewasa, dari usi dalam jenjang sekolah menengah atas. Mereka dikirim ke banyak negara seperti seperti Malaysia, Hong Kong, Singapura, dan Taiwan, negara negara yang secara letak geografisnya memiliki letak yang berdekatan dengan Indonesia.

Pada tahun 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan data bahwa dalam 10 tahun terakhir, terdapat sekitar 19.60 persen dari keseluruhan 4.9 juta penduduk di Nusa Tenggara Timur tergolong sebagai penduduk miskin. Angka ini terus naik dan turun selama beberapa tahun hingga mengalami peningkatan kembali mencapai 22.61 persen  pada tahun 2015 yang kemudian persentase kemiskinan ini stabil sampai tahun 2018 (Badan Pusat Statistik 2019). Data kemiskinan di Nusa Tenggara Timur pada Maret 2021 telah mencapai 20.99 persen dan menjadi salah satu dari lima besar angka kemiskinan secara nasional (Irfani 2021). Inilah yang menjadi latar belakang dan alasan terkuat mengapa kasus perdagangan perempuan dan anak begitu besar, secara khusus di Nusa Tenggara Timur. 

Mengutip data laporan dari International Organization for Migration Indonesia, terdapat 7.193 orang dengan persentase sebanyak 82 persen perempuan dan 18 persen laki-laki yang diselidiki menjadi korban TPPO (International Organization for Migration Indonesia 2009).

Di sisi lain, dalam proses administrasinya, seorang sahabat yang berasal dari Nusa Tenggara Timur mengatakan, segala proses pengadministrasian begitu mudah yang diurus oleh pihak penyedia, termasuk pemalsuan dokumen. Lembaga mereka ini tidak legal atau tidak resmi, sehingga tidak dapat dipertnaggungjawabkan. Sebelum berangkat disampaikan bahwa akan dibekali dengan kursus, seperti pelatihan memasak. Sebelum keberangkatan juga mereka akan menandatangani kontrak. Akibat dari lembaga yang tidak legal tersebut, dalam penelusuran kasus akan mengalami kesulitan.

Mereka yang dikirim dengan iming-iming bekerja keluar, banyak sekali kasusnya tidak kembali lagi. Pun dapat kembali namun dengan peti mayat. Ada juga yang lari bersembunyi ke tempat tempat yang mereka pikir aman, seperti hutan. Karena lembaga yang tidak legal tadi, maka mereka pun bingung harus mengadu kemana, dan mungkin juga mereka mendapat ancaman apabila melapor atau mengadu. 

Pada tahun 2017, terdapat media BBC Media Indonesia yang memuat pemberitaan tentang “Puluhan Peti Mati Berisi Jasad TKI dikirim ke Nusa Tenggara Timur Sepanjang 2016”. Ratusan orang berjalan beriringan dengan wajah muram, entah bagaimana pikiran dan perasaan dari setiap keluarga, mereka berjalan dengan membawa karangan bunga dan batu yang bertuliskan nama, menuju Kantor Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kota Kupang, pada suatu malam, pertengahan November tahun 2016.

Bentuk kedukaan yang mendalam tersebut diekspresikan mereka dengan menghidupkan lilin dan berdoa. Tidak hanya menutup usia dengan jasad, namun juga tanpa jasad dengan peti kosong, indikasinya adalah mereka yang tidak dipulangkan dengan jasad yakni tidak ditemukan jasadnya atau mungkin organ tubuhnya telah diperjual belikan secara ilegal, tanpa persetujuan yang bersangkutan dan tanpa sepengetahuan keluarga.

Hasil rekapitulasi data korban perdagangan orang yang ada di Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) sejak 2014-2016 menjelaskan bahwa tindakan-tindakan kekerasan yang diterima oleh TKI asal NTT yang sebagian besar adalah perempuan meliputi kekerasan fisik yakni dipukul dengan benda tajam dan tumpul, ditendang, ditampar, kerja melebihi waktu yang seharusnya, dijambak, disetrum, bekerja lebih dari dua tempat kerja.

Selain itu, kekerasan psikis yakni diculik, disekap, dicaci maki, dihina, dimarahi, diancam, pemaksaan, dilarang menghubungi keluarga, dilarang beribadah, rambut digunduli (perempuan), dipaksa makan makanan busuk, penelantaran, sanitasi yang buruk, penelantaran jasad. Kekerasan seksual meliputi pemerkosaan, pelecehan seksual, diberi pil anti haid.

Kekerasan ekonomi meliputi gaji tidak dibayar, tidak dapat asuransi, penipuan (kontrak kerja, budaya, gaji), tidak diberi makan, ruangan kerja yang tidak sehat, pungutan liar, tidak ada pelatihan kerja, upah yang diterima kecil tidak sesuai kontrak kerja dan UMR, kelaparan, tidak ada rumah sehingga tinggal di hutan.

Sebagian besar dari kasus ini juga yang memiliki peluang kembali ke rumahnya, memiliki peluang untuk terkena penyakit HIV/AIDS dikarenakan tidak adanya jaminan kesehatan dan perlindungan kesehatan bagi mereka. Akibat dari kasus ini yakni mengganggu mental masyarakat, trauma psikologis, kekerasan, hingga meninggal dunia.

Gangguan mental dan trauma psikologis harus dipulihkan oleh pihak pihak yang sesuai dengan tugasnya, seperti pentingnya peran Gereja disini, Gereja dan Rumah Peribadatan lainnya harus mampu mendampingi mereka yang sakit batinnya, jatuh mentalnya, terganggu mental dan kejiwaannya. Penguatan spiritualitas akan memberikan keyakinan dan kekuatan untuk mereka yang rapuh. Selain itu pentingnya peran psikolog dan lembaga keperempuanan untuk memberikan rasa aman dan nyaman dalam pemulihan dan juga mengembalikan rasa kepercayaan dirinya.

Menurut kacamata kami melihat persoalan ini, belum adanya perlakuan hukum yang serius dalam menangani kasus ini, indikasinya pihak hukum bermain di dalam kasus ini. Kalau hukum benar benar ditegakkan, niscaya kasus ini akan berkurang, perdagangan dan eksploitasi pun akan terminimalisir. Karena sejatinya hukum itu tidak boleh lagi hanya bersifat tajam ke bawah, tumpul ke atas. Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas, bukan hanya sekedar slogan, bukan untuk memperkaya mafia dan dalang di balik kisah yang memilukan tersebut. Namun harus memikirkan bagaimana kasus ini bisa turun sampai ke titik 0 yang artinya sudah tidak ada lagi.

Mental masyarakat pun harus dipulihkan, sakit hati keluarga yang ditinggalkan harus diobati. Karena kehilangan itu adalah luka yang akan terus terkenang sepanjang perjalanan kehidupan. Karena perempuan dan anak itu bukan untuk diperdagangkan, bukan untuk dieksploitasi. Mereka berhak untuk menerima pendidikan, mereka berhak menjalani proses kehidupannya, terlebih penting mereka berhak atas dirinya dan tubuhnya. 

Kasus perdagangan perempuan dan anak ini mendapat sorotan dari Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ibu I Gusti Ayu Bintang Darmawati, saat ditemui akhir tahun lalu di kantornya melalui audiensinya dengan Pengurus Pusat GMKI. Beliau mengatakan bahwa kita semua harus melawan persoalan ini. Semua pihak harus terlibat dan ikut serta dalam memeranginya. Himbauan dari Ibu Menteri harus kita laksanakan demi terciptanya kehidupan yang layak, kesempatan yang sama untuk perempuan dan anak. 

Semua pihak harus bersatu dalam menuntaskan persoalan ini, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, kepolisian dari yang paling tinggi hingga ke daerah, kementerian hingga kedinasan di daerah, gereja, rumah peribadatan lainnya, lembaga keperempuanan, mahasiswa sebagai agen perubahan, dan seluruh elemen masyarakat. Jangan pernah berkompromi dengan setiap persoalan perempuan dan anak, karena kita tidak pernah tahu satu perempuan dalam keluarga kita apakah tidak akan memiliki peluang untuk menerima perlakuan yang sama.

Berkompromi merupakan investasi pembodohan yang akan menuai buah yang sama. Berpura-pura tidak tahu adalah kedunguan yang menyesatkan. Terlibat sebagai pelaku adalah kesalahan terbesar dalam hidup. Karena apa yang kita perbuat akan menuai hasil yang sama. Tuaian yang baik akan menghasilkan buah yang baik dan manis, namun tuaian yang buruk akan menghasilkan buah yang rusak dan tidak akan pernah berhasil dan rumus hidup ini.

Pentingnya penggalakkan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mengatur secara menyeluruh dan terpadu kegiatan pencegahan dan penanggulangan tindak pindana perdagangan orang, serta pendidikan yang utuh untuk perempuan dan anak sampai ke pelosok pedesaan, kemandirian perekonomian dan pemberdayaan sumber daya yang ada hingga kepedesaan akan membawa masyarakat kepada pemikiran yang terbuka.
Say No to Trafficking of Women and Children.

***

*) Oleh: Novelin Silalahi, Mahasiswa Studi Pascasarjana Analisis Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.