TIMES JATIM, MALANG – "Politik bukanlah perebutan kekuasaan bagi partainya masing-masing, bukan persaingan untuk menonjolkan ideologinya sendiri-sendiri, tetapi politik untuk menyelamatkan dan menyelesaikan revolusi Indonesia," Ir. Soekarno.
Demokrasi dan politik memiliki hubungan yang erat dan tak terpisahkan. Demokrasi adalah salah satu sistem politik yang menekankan pada cara mengelola dan menyalurkan aspirasi serta kepentingan masyarakat, dengan partisipasi aktif rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Proses demokrasi ini meliputi pemilu, perumusan kebijakan, dan pengelolaan kekuasaan.
Selaras dengan nilai sejati demokrasi yang terkandung dalam kalimat pembuka Ir. Soekarno di atas, politik dalam bingkai demokrasi seharusnya bukan hanya soal meraih kekuasaan. Lebih dari itu, politik juga harus berfungsi untuk menjaga keseimbangan kekuasaan melalui kaidah-kaidah demokrasi, seperti keseimbangan hak dan kewajiban, transparansi, akuntabilitas, kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, jaminan partisipasi masyarakat, dan keseimbangan kekuasaan. Semua ini harus menghindari penindasan terhadap pihak manapun, yang merupakan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.
Meski prinsip-prinsip demokrasi memberikan ruang untuk politik yang inklusif, pada kenyataannya politik sering disalahgunakan melalui manipulasi kekuasaan, korupsi, penyalahgunaan kepercayaan publik, atau kecurangan pemilu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Singkatnya, politik adalah alat atau proses untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi, sementara demokrasi memberikan kerangka etis bagi praktik politik agar tetap berpihak pada rakyat. Dalam hal ini, hukum harus menjadi panglima yang menjaga demokrasi.
Demokrasi pada dasarnya adalah suatu sistem pemerintahan di mana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Prinsip utama demokrasi meliputi kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat sebagai cita-cita bersama.
Salah satu tahapan utama dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam sistem demokrasi adalah Pemilihan Umum (Pemilu). Melalui pemilu, formasi pemerintahan akan dibentuk untuk mengemban amanah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Oleh karena itu, pelaksanaan pemilu yang jujur, adil, dan transparan merupakan syarat mutlak. Jika terdapat indikasi pelanggaran atau kecurangan dalam pemilu, maka hukum sebagai pengawal demokrasi wajib untuk bertindak melindungi.
Sayangnya, pemilu sering kali digambarkan sebagai ajang perebutan kekuasaan, seperti perlombaan untuk meraih jabatan tertentu. Hal ini menjadikan politik, yang seharusnya berfungsi menyelamatkan dan menyelesaikan revolusi bangsa Indonesia, kerdil dan terkesan hanya sebagai kompetisi penuh persaingan.
Politik dipandang sebagai permainan yang harus dimainkan secara sportif, dengan harapan bahwa semua pihak bisa legowo menerima hasilnya, apakah menang atau kalah.
Jika pandangan ini diterima, maka esensi sejati dari demokrasi, terutama dalam hal pemilu, akan tereduksi menjadi soal menang atau kalah semata. Padahal, pemilu seharusnya menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika terjadi kecurangan atau pelanggaran dalam pemilu, jangan dianggap remeh seperti kecurangan dalam pertandingan olahraga. Sebab, kecurangan dalam pemilu berdampak langsung pada masa depan bangsa.
Untungnya, Indonesia melalui amandemen UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2001, telah mendirikan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengawal hukum demokrasi. MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang, memutuskan perselisihan hasil pemilu, dan menangani dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Terkait dengan pemilu, MK berwenang memutuskan perselisihan yang timbul, tidak hanya soal perolehan suara, tetapi juga pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama proses pemilu. Dalam perkembangannya, MK telah mengambil peran aktif untuk menggali kebenaran substantif berdasarkan hukum dan konstitusi, membebaskan diri dari belenggu formalitas demi mewujudkan keadilan substansial.
MK tidak boleh dilarang untuk mengadili fakta hukum yang secara nyata terbukti melanggar hak-hak asasi manusia, terutama hak politik, seperti yang tercermin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PHP.BUP-XV/2017 dan lainnya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK telah menetapkan jurisprodensi penting, seperti dalam Putusan Nomor 79/PHPU.D-XI/2013 yang membedakan pelanggaran pemilu ke dalam tiga kategori: pertama, pelanggaran yang tidak berpengaruh pada hasil pemilu; kedua, pelanggaran yang signifikan dan dapat membatalkan hasil pemilu; ketiga, pelanggaran terkait persyaratan calon yang dapat membatalkan hasil pemilu.
Kesadaran akan pentingnya perbaikan dalam proses pemilu akan memperbaiki masa depan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, kita harus menghindari pandangan bahwa pemilu adalah sekadar perlombaan.
Pemilu adalah sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat, mewujudkan pemerintahan yang bijaksana, dan memastikan kesejahteraan bersama, bukan ajang untuk saling bermusuhan dan merusak persatuan bangsa.
Untuk itu, penting bagi semua pihak, termasuk masyarakat terdidik dan cendekiawan, untuk secara kritis memperbaiki permasalahan dalam berdemokrasi, terutama terkait pelanggaran atau kecurangan dalam pemilu.
Mahkamah Konstitusi, sebagai pengawal hukum demokrasi, harus memberikan pencerahan yang tidak dapat ditawar lagi. Setelah keputusan MK, kita semua harus bersatu, menghormati perbedaan, dan mengutamakan kepentingan bersama.
Pemilu bukanlah pertandingan yang melahirkan pemenang dan pecundang. Yang terpilih harus menjadi milik rakyat, dan bersama-sama kita melanjutkan cita-cita untuk mewujudkan bangsa yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
***
*) Oleh : W. Tuhu Prasetyanto, SH., MH., Pegiat Lembaga Sosiohumaniora dan Advokat Asmojodipati Lawyer’s Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |