https://jatim.times.co.id/
Opini

Laku Jawa Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Jumat, 17 Oktober 2025 - 13:52
Laku Jawa Syekh Abdul Qadir al-Jailani Azizah Zamzam, Ketua Yayasan Duta Pancasila.

TIMES JATIM, MALANG – Tulisan ini lahir dari sebuah percakapan panjang lewat telepon dua jam tanpa rencana, tanpa topik pasti, hanya aliran kata dan jeda yang membawa pulang kesadaran. 

Dari obrolan itu, aku baru memahami petuah guruku bertahun-tahun lalu: “Ana bedane antarané ketemu lan tepung.” Ada perbedaan antara bertemu dan berjumpa. Dulu kalimat itu hanya terasa seperti nasihat biasa, tapi kini aku tahu: bertemu adalah peristiwa lahir, sementara berjumpa adalah peristiwa batin.

Perjalanan memahami agama ternyata tidak berhenti pada seberapa banyak hukum yang kita tahu, melainkan pada seberapa dalam kebaikan itu hidup di dalam diri. 

Temanku berkata pelan, “Puncak dari mempelajari agama bukan soal mengenal hukum-hukum, tapi tentang menghidupkan kebaikan dalam setiap tarikan napas.” 

Kalimat itu sederhana, tapi menembus batas pikiran. Aku merasa seperti diajak kembali mengingat hakikat belajar: bahwa ilmu tanpa kelembutan hati hanyalah kesombongan yang berselimut dalil.

Etika Jawa sejak lama mengajarkan bahwa perjumpaan sejati bukan hanya menyatukan dua tubuh, tetapi dua kesadaran. Dalam falsafah ngerti, ngrasa, nglakoni, manusia diajak tidak hanya untuk tahu dan merasa, tetapi juga untuk menghidupi pengetahuan itu. 

Kita sering hadir dengan raga, tetapi hati tertinggal di tempat lain. Padahal, berjumpa sejati menuntut kehadiran yang utuh lahir dan batin, kata dan rasa.

Pandangan ini sejalan dengan ajaran Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam al-Fath ar-Rabbani, “Ketika engkau memandang manusia, jangan pandang bentuk lahiriahnya, tapi lihatlah cahaya Tuhan yang menampakkan diri melalui dirinya.” 

Ajaran ini menyentuh inti kehidupan spiritual: menghormati pancaran Ilahi dalam setiap makhluk. Dalam falsafah Jawa disebut ngajeni sakabehe titah Gusti menghormati seluruh ciptaan Tuhan. Maka, berjumpa dengan manusia sejatinya adalah ziarah batin, menelusuri jejak Tuhan dalam wajah-wajah sesama.

Dari laku Jawa, kita juga mengenal nilai nrimo ing pandum. Banyak yang menafsirkan nrimo sebagai kepasrahan tanpa daya, padahal sejatinya ia adalah penerimaan yang lahir dari kesadaran dan keikhlasan setelah usaha. 

Nilai ini berpaut erat dengan ajaran Syekh Abdul Qadir tentang tawakal dan fana’. Tawakal berarti mempercayakan hasil kepada Allah setelah segala daya dilakukan, sedangkan fanā’ adalah meleburkan kehendak diri dalam kehendak Ilahi.

Nrimo, dalam makna yang sejati, bukan menyerah, melainkan percaya. Percaya bahwa segala yang datang adalah bagian dari kasih Tuhan, meski kadang hadir dalam rupa yang kita tak suka. 

Dalam keikhlasan menerima, kita justru menemukan kebebasan. Seperti halnya fanā’, di mana manusia kehilangan ego dan menemukan cinta yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Dunia hari ini terasa semakin bising. Kita sering bertemu tanpa hadir, berbicara tanpa mendengar. Padahal, para sufi dan leluhur Jawa telah lama mengingatkan tentang laku eling lan waspada ingat dan sadar. 

Mengingat Tuhan di setiap peristiwa, dan sadar atas setiap gerak hati. Dari kesadaran itu lahir kebaikan yang tidak menghakimi, melainkan memahami; tidak menuntut, melainkan menerima.

Aku mulai mengerti, bahwa kesadaran adalah rumah terakhir dari segala pencarian. Di sana manusia berhenti berdebat dan mulai mendengar; berhenti merasa benar dan mulai belajar memahami. Pulang ke kesadaran bukan berarti berhenti berjalan, melainkan memulai perjalanan baru lebih jernih, lebih ringan, lebih lembut.

Mungkin memang begitu cara Tuhan mendidik manusia: lewat pertemuan sederhana, percakapan yang tidak direncanakan, dan perjumpaan yang pelan-pelan menyingkap lapisan hati. Dalam setiap jiwa yang kita temui, Tuhan sedang menitipkan pelajaran tentang sabar, tentang cinta, tentang menjadi manusia yang lebih peka.

Etika Jawa dan jalan sufisme Syekh Abdul Qadir al-Jailani sejatinya bertemu pada satu titik: kehidupan spiritual yang sejati tidak diukur dari seberapa banyak kita bicara tentang Tuhan, melainkan dari seberapa lembut kita memperlakukan sesama. 

Kebaikan yang tidak hidup dalam tindakan hanyalah wacana. Sementara kebaikan yang hadir dalam keseharian adalah ibadah paling sunyi.

Belajar berjumpa adalah belajar mengenali Tuhan dalam diri manusia lain. Setiap tatapan, setiap senyum, setiap keheningan bisa menjadi jembatan menuju-Nya. 

Sejatinya, setiap perjumpaan yang tulus adalah dzikir pengingat halus bahwa Tuhan masih menitipkan kasih-Nya lewat wajah-wajah yang kita temui.

 

***

*) Oleh : Azizah Zamzam, Ketua Yayasan Duta Pancasila.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.