https://jatim.times.co.id/
Opini

Satu Abad Pramoedya Ananta Toer: Menulis Adalah Bekerja untuk Keabadian

Kamis, 06 Februari 2025 - 14:42
Satu Abad Pramoedya Ananta Toer: Menulis Adalah Bekerja untuk Keabadian Rochmad Widodo, Founder Penerbit Biografi Indonesia, dan Aktif sebagai Penulis Biografi Tokoh-tokoh Nasional.

TIMES JATIM, JAKARTA – Ada banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari Pramoedya Ananta Toer atau yang akrab disapa Pram. Satu diantaranya atas diselenggarakan “Satu Abad Pram” sebagai rangkaian acara untuk merayakan 100 tahun kelahiran Pram pada 6-8 Februari 2025 di Blora, turut menguatkan kebenaran kata Pram, bahwa, “menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

Meski Pram telah pulang ke sisi-Nya pada 30 April 2006 silam, namun terbukti karyanya hingga kini masih hidup, dibaca, dinikmati, dan bahkan banyak mempengaruhi cara pandang hidup bagi pembacanya yang tersebar di berbagai negara.

Pram adalah salah satu sastrawan besar 45 yang dikenal sebagai pengarang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pram telah menghasilkan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Ia mendapatkan tidak kurang dari 12 penghargaan bergengsi atas karya-karyanya dari berbagai negara. 

Bahkan, Pram dalam catatan sejarah juga menjadi satu-satunya sastrawan Indonesia yang masuk nominasi Nobel Sastra hingga 6 kali. Meski sampai akhir hayatnya, ia tidak sempat mendapatkan penghargaan sastra paling bergengsi di dunia itu karena sejumlah alasan.

Berkarya dari Penjara ke Penjara

“Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian menit, bahkan detik,” begitulah kata Pram.

Bukanlah sesuatu yang berlebihan jika Pram mengatakan demikian. Karena dalam perjalanan Pram selama berkarya, hampir kebanyakan harus bertaruh antara memperjuangkan idealisme atau berani menghadapi kematian atau setidaknya siap untuk dipenjara. Dan yang menarik adalah, sejumlah karya Pram yang fenomenal justru juga ditulis saat di dalam penjara.

Pram pertama kali dipenjara saat masa penjajahan Belanda, tepatnya setelah Agresi Militer II Belanda pada 1947-1949. Ia ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Salemba karena dituduh terlibat dalam aksi perlawanan terhadap Belanda selama masa revolusi kemerdekaan Indonesia.

Belanda kala itu memperlakukan tahanan dengan sangat kejam. Mereka memaksa seluruh tahanan termasuk Pram untuk kerja paksa di Pulau Onrust dan secara bergiliran kemudian akan ditembak mati. Hingga suatu malam Pram teringat pada ibunya yang telah meninggalkannya sejak kecil. Di situlah ia kemudian merasa pasrah. 

Pram bahkan sampai berkata, “kalau memang hidup saya tidak ada gunanya bagi kehidupan manusia, biarlah besok saya mati ditembak Belanda. Tapi bila hidup saya masih ada manfaatnya bagi kehidupan manusia, izinkan saya hidup selama masih bermanfaat.” Kisah itu ditulis dalam bukunya berjudul, "Mereka yang Dilumpuhkan".

Menariknya, pada masa tahanan ini kemudian justru menjadi periode produktif bagi Pram dalam berkarya. Ia menulis beberapa karya penting selama di penjara, termasuk novel pertamanya berjudul "Perburuan" yang kemudian diterbitkan tahun 1950, dan berhasil memenangkan sayembara pertama dari Balai Pustaka.

Selepas dari Penjara Salemba, Pram kembali ditangkap dan ditahan di Bukit tinggi oleh pasukan Belanda. Penahanan kedua ini berlangsung pada tahun 1949 hingga 1951. 

Kala itu meski perlawanan terhadap Agresi Militer Belanda II di tempat lain telah berhasil ditumpas, namun Belanda masih berupaya mempertahankan kekuasaannya di beberapa wilayah strategis, termasuk Bukittinggi yang merupakan salah satu pusat pemerintahan darurat Republik Indonesia. 

Mengalami penahanan berulang kali, semangat Pram tidak pernah surut untuk menulis dan berjuang melalui karya-karyanya. Justru dari berbagai pengalaman penahanan ini kemudian memperkaya perspektif Pram dalam berkarya. 

Hal itu tercermin dari sejumlah karya yang ditulisnya, seperti Keluarga Gerilya (1950), Tikus dan Manusia (1950), yang merupakan terjemahan Pram dari karya John Steinbeck, dan Kembali pada Tjinta Kasihmu (1950), terjemahan Pram dari karya Leo Tolstoy, Mereka yang Dilumpuhkan I & II, Bukan Pasar Malam, Di Tepi Kali Bekasi, dan lain sebagainya yang diterbitkan pada tahun 1951.

Pram kemudian dipindahkan ke Penjara Glodok di Jakarta tahun 1951, setelah Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Saat itu, Indonesia telah merdeka secara de jure, namun Pram tetap harus menjalani sisa masa tahanannya di Penjara Glodok sampai akhirnya dibebaskan tahun 1952. 

Jadi Penjara Glodok menjadi penjara ketiga yang ditempati Pram dalam rentang waktu relatif singkat setelah di Penjara Salemba dan Bukittinggi. Masa antara 1948-1952 ini sangat menentukan dalam membentuk cara pandang Pram terhadap perjuangan kemerdekaan, kondisi sosial-politik Indonesia, dan sangat mewarnai karya-karya yang ditulis. Setelah dibebaskan pada 1952, Pram pun kembali aktif dalam berbagai kegiatan kepenulisan dan jurnalistik.

Namun perjalanan Pram sebagai tahanan tidak terhenti sampai di situ. Pasca Indonesia sepenuhnya telah merdeka, tahun 1969 Pram kembali ditahan dan diasingkan ke Pulau Buru. Masa itu bisa dikatakan menjadi salah satu episode paling kelam dalam hidup Pram. Karena ditahan selama 10 tahun tanpa pernah diadili atau dibuktikan kesalahannya. 

Pram bersama sekitar 12.000 tahanan politik lainnya juga mengalami perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Di pulau terpencil ini, para tahanan dipaksa melakukan kerja paksa, membuka hutan, membuat jalan, bercocok tanam, dan membangun infrastruktur dasar.

Yang patut dijadikan sebagai inspirasi, bahkan dalam kondisi yang begitu berat, Pram tetap menulis. Di kala tidak diizinkan memiliki alat tulis, ia menyampaikan cerita-ceritanya secara lisan kepada sesama tahanan. 

Lalu barulah ia tulis ulang setelah mendapat izin menulis. Sejak itulah lahir karya Tetralogi Buru, empat novel berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Yang menjadi karya masterpiece Pram hingga dikenal di kancah sastra internasional.

Pram kemudian masih merasakan kembali dipenjara dua kali, sebelum akhirnya benar-benar bisa hidup bebas layaknya sebagai warga negara lainnya. Pada rentang tahun 1980-1988, ia mengalami masa penahanan yang panjang dan berat di Penjara Nirbaya. 

Lalu dalam rentang tahun 1995-1996, juga ditangkap dan ditahan di Penjara Cipinang atas tuduhan makar. Tuduhan ini dinilai sangat tidak berdasar dan mengundang kecaman dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. 

Namun yang pasti, penjara tidak pernah menghentikan Pram untuk terus berkarya. Justru senantiasa mewarnai karya-karya yang ditulisnya, sebagai lambang harapan, perlawanan, dan keberanian melawan ketidakadilan.

Menulis dan Keabadian

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Karena menulis adalah bekerja untuk keabadian,” begitulah kata Pram yang sangat popular di masyarakat dan biasa dijadikan inspirasi untuk menulis. 

Dalam diksi lain, Pram juga pernah berkata, “Karena kau menulis. Suaramu tak kan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari."

Dengan kepergian Pram telah memasuki 19 tahun di tahun 2025 ini, membuktikan apa yang dikatakan Pram, memang benar adanya. Karena Pram menulis, suaranya masih terdengar hingga sekarang. 

Apa yang dikatakan lewat tulisan-tulisannya tidak padam ditelan angin. Meski perjalanan karya-karya Pram, banyak diantaranya juga tidak langsung bisa dinikmati oleh pembaca. Karena dilarang beredar, dicekal, dan bahkan sebagian hingga dibakar.

Misalnya, novel Di Tepi Kali Bekasi, sejatinya merupakan sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947. Perburuan, sempat dicekal oleh pemerintah karena dinilai ada muatan komunisme. Hoakiau di Indonesia, dilarang beredar Pemerintah Indonesia di masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama). 

Panggil Aku Kartini Saja I dan II (1963), bagian III dan IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965. Kumpulan Karya Kartini, yang pernah dimuat di berbagai media; dan Wanita Sebelum Kartini, juga dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965.

Demikian halnya dengan novel Gadis Pantai sebagai cerita bersambung rubrik lembar kebudayaan Lentera dalam harian Bintang Timur (1962-1965), bagian pertama trilogi tentang keluarga Pram; terbit sebagai buku pada 1987, dilarang Jaksa Agung pada 1987. Jilid kedua dan ketiga dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965. Lalu Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964), juga ikut dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965.

Dan masih banyak lagi karya Pram yang tidak bisa beredar di pasaran. Termasuk Tetralogi Buru empat novel berjudul, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Buku-buku ini sempat dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung pada masa pemerintahan Orde Baru karena dianggap membawa paham kiri. 

Yang justru akhirnya menjadi karya Pram paling banyak pujian dan apresiasi pembaca dari dalam dan luar negeri. Bahkan pada 2019, Bumi Manusia kemudian difilmkan yang diproduksi oleh Falcon Pictures dan berhasil ditonton hingga 725.428 penonton.

Fenomena ini turut menunjukkan bahwa, setiap karya pasti akan mendapatkan pembacanya. Bisa jadi langsung ketika diterbitkan, atau bahkan di kemudian hari ketika penulis sendiri sudah tiada. Itulah kenapa, Helvy Tiana Rosa, pernah berkata, “ketika sebuah karya selesai ditulis, maka pengarang tak mati. Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi".

Pelajaran berharga yang bisa diambil dari Pram adalah, karya-karyanya, tidak sebatas mengantarkannya menjadi dikenal dan dikenang hingga saat ini. Tapi ide-ide gagasannya juga hidup dan banyak dikaji sampai sekarang. 

Selain itu, berkah dari karya-karya Pram, tidak bisa dipungkiri turut mengharumkan nama bangsa ini di kancah internasional. Bahkan Blora, sebagai kabupaten tempatnya dilahirkan, dikenal banyak orang, tidak sedikit melalui karya-karyanya.

Pungkas kata, Pram memang harus diakui benar. Meski telah tiada, karena menulis, ia abadi. Terus mengalirkan inspirasi bagi bangsa ini. 

***

*) Oleh : Rochmad Widodo, Founder Penerbit Biografi Indonesia, dan Aktif sebagai Penulis Biografi Tokoh-tokoh Nasional. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.