https://jatim.times.co.id/
Opini

Menggagas Ekosistem Pertanian yang Makmur

Minggu, 21 September 2025 - 15:05
Menggagas Ekosistem Pertanian yang Makmur Agus Purnomo, S,P., Alumni Universitas Islam Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Di negeri yang subur makmur ini, ironisnya, petani justru sering hidup di bawah garis sejahtera. Padahal pepatah lama mengatakan, “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. 

Namun hari ini, lahan luas, keringat bercucuran, dan hasil panen yang melimpah tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Mereka bekerja keras, tetapi keuntungan besar justru dinikmati tengkulak, pedagang besar, hingga korporasi pangan.

Dulu, di masa lalu, kehidupan petani jauh lebih sederhana dan makmur. Mereka menanam untuk kebutuhan sendiri, membagi hasil panen dengan tetangga, dan menjual ke pasar lokal tanpa terlalu bergantung pada rantai distribusi panjang. Pangan cukup, tanah terjaga, dan relasi sosial mereka harmonis. Pertanian kala itu bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga kebudayaan.

Kini keadaan berbalik. Petani bekerja di tanah yang sama, tetapi hasilnya dirasa semakin mengecil. Harga pupuk melambung, biaya produksi tinggi, sementara harga jual gabah ditekan serendah-rendahnya. 

Sistem distribusi panjang membuat petani menjual murah dan konsumen membeli mahal. Ironisnya, petani yang memberi makan bangsa malah kesulitan memenuhi kebutuhan dapurnya sendiri.

Inilah paradoks besar negeri agraris: tanah luas tapi pangan sering impor, petani melimpah tapi kesejahteraan tak berdaya. Modernisasi pertanian seakan tidak berpihak kepada petani kecil, tetapi lebih pada korporasi yang mampu membeli teknologi dan menguasai pasar.

Di masa lalu, pertanian bukan hanya kerja, tetapi gaya hidup. Petani hidup dalam ekosistem yang saling menopang: lahan dikelola bersama, air diatur melalui subak atau irigasi kolektif, dan hasil panen dibagi secara adil. 

Tidak ada monopoli, tidak ada tengkulak rakus yang menindas. Semua berjalan dengan rasa syukur dan kesadaran bahwa tanah adalah titipan untuk generasi mendatang.

Kearifan lama ini seharusnya tidak ditinggalkan, melainkan disinergikan dengan teknologi modern. Gotong royong bisa dipadukan dengan akses digital, musyawarah desa bisa bertransformasi menjadi koperasi modern, dan kearifan lokal bisa menjadi pagar terhadap praktik kapitalisme yang menghisap petani.

Membangun Ekosistem Pertanian Baru

Agar petani kembali makmur, kita harus membangun ekosistem pertanian yang adil dan berpihak pada mereka. Ada beberapa hal penting:

Pertama, Reformasi tata distribusi. Tengkulak tidak bisa dibiarkan menjadi raja kecil di desa. Harus ada sistem distribusi yang memangkas jalur panjang, sehingga petani bisa menjual langsung ke pasar atau konsumen. Teknologi digital bisa jadi solusi: aplikasi pemasaran hasil tani yang dikelola desa atau koperasi bisa memotong peran tengkulak.

Kedua, Koperasi petani sebagai tulang punggung. Koperasi harus kembali dimaknai sebagai rumah bersama. Di sinilah petani bisa membeli pupuk dengan harga lebih murah, memasarkan hasil panen dengan harga lebih tinggi, dan mengatur keuangan dengan lebih baik. Koperasi modern bisa menjadi perisai melawan monopoli perusahaan besar.

Ketiga, Kebijakan berpihak pada petani kecil. Pemerintah tidak boleh hanya memanjakan korporasi pangan. Subsidi harus benar-benar tepat sasaran, bukan bocor di tengah jalan. Petani kecil perlu akses modal yang mudah, harga pupuk terjangkau, dan jaminan harga gabah yang stabil.

Keempat, Inovasi dan regenerasi petani. Anak muda harus kembali melihat pertanian bukan sebagai pekerjaan kuno, tetapi sebagai masa depan. Dengan teknologi digital, mekanisasi, dan riset, pertanian bisa lebih produktif sekaligus ramah lingkungan. Petani muda harus diberi ruang untuk berinovasi.

Menolak Petani Menjadi Buruh di Tanah Sendiri

Banyak kasus menunjukkan, tanah pertanian beralih fungsi menjadi pabrik atau perumahan. Lahan yang tersisa pun banyak dikuasai perusahaan besar. 

Akibatnya, petani kecil hanya menjadi buruh tani, bekerja di tanah yang dulunya milik sendiri. Jika ini terus dibiarkan, petani akan hilang, dan bangsa ini akan kehilangan identitasnya sebagai negeri agraris.

Kita tidak boleh lupa, sejarah bangsa ini dibangun dari keringat petani. Tanpa pangan, tidak ada pendidikan, kesehatan, maupun pembangunan. Karena itu, memuliakan petani sama artinya dengan menjaga masa depan bangsa.

Kini saatnya kita menoleh kembali ke desa, belajar pada akar pertanian yang memberi kita hidup. Modernitas jangan sampai merampas humanisme pertanian. Petani harus diposisikan bukan sebagai objek belas kasihan, melainkan subjek utama pembangunan pangan.

Bayangkan jika ekosistem pertanian yang sehat terbangun: petani makmur, desa hidup, pangan cukup, dan kota pun tenang. Itulah jalan pulang kita, jalan pulang ke desa, ke kehidupan yang pernah makmur di masa lalu, yang kini harus kita wujudkan kembali dengan cara baru.

***

*) Oleh : Agus Purnomo, S,P., Alumni Universitas Islam Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.