TIMES JATIM, BANYUWANGI – Tanggal 22 Oktober setiap tahun, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional (HSN). Momentum ini bukan sekadar seremoni, tetapi refleksi atas peran besar santri dalam sejarah perjuangan bangsa.
Kini, peringatan HSN juga menandai babak baru: santri tidak hanya menjadi penjaga moral dan spiritual, tetapi juga pelaku aktif dalam dunia informasi dan media digital.
Tahun 2025, tema HSN mengusung semangat “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” Pesantren-pesantren di berbagai daerah menyambutnya dengan beragam kegiatan produktif: dari pelatihan literasi digital, seminar media, hingga kompetisi konten dakwah kreatif. Fenomena ini menandai pergeseran paradigma: santri kini melek media dan sadar pentingnya etika komunikasi.
Di sisi lain, muncul juga dinamika kritis. Publik sempat menyoroti tayangan Trans7 yang dinilai mem-framing kehidupan pesantren secara sempit dan sensasional. Isu ini menyulut perbincangan hangat tentang etika jurnalistik dalam pemberitaan lembaga keagamaan.
Dalam tradisi Islam, prinsip tabligh (menyampaikan kebenaran) dan amanah (menjaga kejujuran) adalah fondasi etika komunikasi. Saat nilai-nilai ini dihadirkan dalam dunia media, muncullah gagasan “jurnalistik santri” sebuah praktik penyiaran informasi berbasis adab dan tanggung jawab moral.
Seperti diungkap Ferry Hamid dalam opininya “Santri, Amplop, dan Luka Jurnalistik” (Times Indonesia, 2025), jurnalisme seharusnya tak hanya mengejar kecepatan, tetapi memelihara nilai kebenaran dan empati. Ia menilai banyak media kehilangan “ruh dakwah” karena terjebak dalam logika rating dan sensasi.
Sementara itu, KH. Ma’ruf Amin menekankan bahwa etika jurnalistik yang baik sejalan dengan maqashid syariah: menjaga akal, kehormatan, dan stabilitas sosial.
Pandangan ini menunjukkan bahwa santri progresif bukan hanya agen dakwah, tetapi juga agen komunikasi etis yang mengembalikan jurnalisme kepada fungsinya sebagai penjaga kebenaran dan akhlak publik.
Tantangan besar bagi santri hari ini adalah ledakan informasi digital. Dunia maya menjadi arena bebas, di mana hoaks, ujaran kebencian, dan framing negatif bertebaran. Pesantren, yang selama ini dikenal sebagai benteng moral bangsa, kini harus berhadapan langsung dengan dinamika dunia digital.
Dalam realitasnya, masih banyak pesantren yang menghadapi keterbatasan infrastruktur, sumber daya media, dan keterampilan komunikasi modern. Namun di tengah kekurangan itu, muncul gelombang santri progresif yang mulai beradaptasi.
Mereka mendirikan portal berita pesantren, media internal, hingga podcast dakwah digital. Pesantren Tebuireng, Nurul Jadid, dan Sidogiri misalnya, telah membangun kanal informasi yang dikelola langsung oleh santri. Hal ini menjadi wujud nyata kontribusi mereka terhadap peradaban informasi yang jujur dan berimbang.
Dengan demikian, kontribusi santri progresif tidak hanya sebatas dakwah konvensional, tetapi juga revolusi narasi meluruskan persepsi publik tentang pesantren, sekaligus menguatkan nilai keislaman dalam ranah media.
Implementasi jurnalisme etis di pesantren kini mulai terasa nyata. Banyak pesantren mengadakan workshop literasi media, pelatihan jurnalistik, dan pendampingan publikasi. Salah satu contoh adalah kegiatan “Ngaji Jurnalistik di Pesantren” yang digagas di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Dalam artikelnya (Times Indonesia, 2023), Wahdana Nafisatuz Zahra siswi MAK Pondok Pesantren Nurul Jadid menulis bahwa kegiatan tersebut mengajarkan santri “menyampaikan informasi dengan niat dakwah dan tanggung jawab sosial, bukan sekadar mencari sensasi.”
Program semacam ini menjadi contoh bagaimana pesantren dapat memadukan nilai-nilai tafaqquh fiddin dengan literasi media modern. Zahra menambahkan bahwa kegiatan ‘Ngaji Jurnalistik’ di pesantren menjadi pintu gerbang agar santri tidak hanya jadi objek berita, tetapi menjadi subjek yang menyampaikan narasi dengan adab dan tanggung jawab.
Zahra juga menegaskan bahwa “arus informasi tanpa filter” saat ini mengancam moral publik jika tidak diimbangi kesadaran etik. Karena itu, pesantren perlu memperkuat pendidikan jurnalistik berbasis nilai: bukan sekadar kemampuan menulis berita, tetapi membedakan antara fakta dan framing.
Kegiatan serupa juga diadakan di beberapa pesantren lain seperti Al-Madani Sumatera Selatan dan Al-Munawwir Yogyakarta, dengan menggandeng jurnalis profesional dan dosen komunikasi. Tujuannya bukan hanya meningkatkan keterampilan menulis berita, tetapi juga memahami kode etik jurnalistik, prinsip verifikasi, dan tanggung jawab sosial media.
Langkah-langkah ini membuktikan bahwa pesantren sedang bertransformasi menjadi laboratorium etika informasi. Santri tidak lagi pasif menghadapi arus media, melainkan menjadi produsen nilai dan makna dalam jagat informasi modern. Pertanyaannya kini: sejauh mana santri progresif dan jurnalisme etis mampu mengubah wajah media nasional?
Dominasi media arus utama masih kuat dengan logika pasar dan algoritma. Berita yang etis sering kali kalah cepat dari kabar sensasional. Artikel “Santri, Amplop, dan Luka Jurnalistik” (Times Indonesia, 2025) mengingatkan bahwa banyak media tergelincir dalam praktik pragmatis, melupakan tanggung jawab moral terhadap publik.
Namun, di sinilah santri progresif memiliki posisi strategis. Dengan modal adab, integritas, dan disiplin moral yang diajarkan pesantren, mereka bisa menjadi “filter etis” di tengah banjir informasi.”
Kehadiran program seperti “Ngaji Jurnalistik” menunjukkan kesadaran baru bahwa membangun peradaban digital bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal keadaban berpikir dan berkomunikasi. Oleh karena itu tak berlebihan jika dinyatakan bahwa ‘Ngaji Jurnalistik’ adalah bagian dari ‘jihad intelektual’ santri untuk menjaga kebenaran dan martabat manusia”.
Santri progresif berpotensi besar menjadi social corrector pengingat bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh mengorbankan kebenaran dan martabat manusia. Meski masih terbatas dalam jangkauan, kiprah santri di media alternatif dan komunitas lokal menjadi pondasi moral bagi demokrasi informasi di Indonesia.
Peringatan Hari Santri Nasional bukan hanya nostalgia sejarah, melainkan momentum reflektif bagi masa depan bangsa. Di tengah banjir informasi dan disrupsi digital, santri progresif dengan etika jurnalistiknya menjadi benteng terakhir keadaban publik.
Pesantren kini bukan hanya penjaga akidah, tetapi juga penjaga moral media. Dengan memadukan nilai Islam dan etika jurnalistik, santri progresif mampu menegakkan peradaban informasi yang beradab di mana kebenaran bukan hanya diberitakan, tetapi juga dijaga dengan niat, adab, dan tanggung jawab.
***
*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H., Dosen Filsafat Ilmu dan Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |