TIMES JATIM, MALANG – Optimisme adalah energi yang mampu mengubah cara seseorang memandang kehidupan. Pola pikir optimis bukan sekadar soal harapan, tetapi juga fondasi yang membentuk kesehatan mental, fisik, dan sosial.
Dalam kehidupan yang penuh tantangan, sikap optimis mampu menjadi benteng terhadap stres sekaligus menjadi sumber kekuatan untuk melangkah lebih jauh. Hidup sehat bukan hanya hasil dari pola makan atau olahraga, melainkan juga dari bagaimana seseorang mengelola pikirannya.
Berpikir optimis mengajarkan untuk melihat masalah bukan sebagai hambatan permanen, melainkan tantangan yang dapat diatasi. Pandangan ini secara langsung berpengaruh pada kesehatan mental.
Seseorang yang mampu melihat sisi terang dari setiap peristiwa akan lebih tangguh dalam menghadapi kegagalan, tidak mudah menyerah, dan tetap tenang dalam tekanan. Kondisi mental yang stabil ini menciptakan ketahanan jiwa, sehingga stres tidak berkembang menjadi penyakit yang lebih serius.
Optimisme juga terbukti berkaitan erat dengan kesehatan fisik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa individu dengan pola pikir positif memiliki sistem imun yang lebih kuat. Mereka lebih jarang terserang penyakit karena tubuh mereka merespons stres dengan cara yang lebih sehat.
Sebaliknya, pesimisme cenderung melemahkan daya tahan tubuh karena pikiran negatif memicu hormon stres yang berdampak pada organ vital. Dengan demikian, berpikir optimis secara tidak langsung adalah investasi jangka panjang untuk kesehatan tubuh.
Dalam aspek sosial, optimisme melahirkan hubungan yang lebih harmonis. Orang yang berpikiran positif lebih mudah membangun kepercayaan, menciptakan komunikasi yang hangat, dan memelihara empati.
Kehidupan sosial yang sehat merupakan bagian dari hidup sehat secara menyeluruh, karena dukungan sosial terbukti mampu memperkuat kondisi psikologis seseorang. Sebaliknya, individu yang larut dalam pesimisme cenderung terasing, sulit bekerja sama, dan rentan mengalami kesepian.
Hidup sehat dengan optimisme juga berarti melatih diri untuk selalu berfokus pada solusi, bukan sekadar terjebak dalam masalah. Sikap ini melatih otak untuk lebih kreatif, inovatif, dan produktif.
Orang yang optimis lebih berani mengambil peluang dan berusaha bangkit setelah terjatuh. Lingkungan kerja maupun pendidikan sangat membutuhkan energi seperti ini, karena produktivitas tinggi hanya dapat lahir dari pikiran yang penuh harapan.
Meski demikian, optimisme bukan berarti menutup mata dari realitas. Optimisme yang sehat adalah ketika seseorang mampu melihat kesulitan, tetapi tetap meyakini bahwa jalan keluar selalu ada. Inilah yang membedakan optimisme dengan angan-angan kosong.
Dalam konteks ini, optimisme justru melatih kesadaran untuk mengatur strategi hidup yang lebih baik, mengambil keputusan yang bijak, dan membangun kebiasaan positif yang mendukung kesehatan.
Menerapkan sikap optimis dalam keseharian dapat dimulai dari hal-hal sederhana. Mengawali hari dengan doa, senyum, atau menuliskan rasa syukur mampu membentuk energi positif yang memengaruhi sepanjang aktivitas.
Membatasi konsumsi berita negatif dan lebih banyak menyerap inspirasi juga membantu menyehatkan pikiran. Selain itu, menjaga pergaulan dengan lingkungan yang suportif akan memperkuat semangat optimisme dalam diri.
Penting pula untuk memahami bahwa optimisme tidak berarti hidup tanpa kegagalan. Justru melalui kegagalan, seseorang belajar mengasah daya juang. Sikap optimis membuat kegagalan tidak lagi menjadi akhir dari segalanya, tetapi bagian dari proses menuju keberhasilan.
Hal ini sejalan dengan pepatah yang menyebutkan bahwa "kegagalan adalah guru terbaik." Dengan pandangan seperti ini, hidup sehat tidak hanya dinikmati secara fisik, tetapi juga melalui ketenangan batin dan kedewasaan berpikir.
Dalam perspektif yang lebih luas, optimisme berperan penting bagi kehidupan berbangsa. Sebuah bangsa yang warganya berpikiran positif akan lebih mudah bangkit dari krisis, lebih cepat beradaptasi dengan perubahan, dan lebih kuat dalam menjaga persatuan.
Sebaliknya, bangsa yang larut dalam pesimisme akan terjebak pada narasi ketidakberdayaan. Karena itu, menanamkan optimisme sejak dini melalui pendidikan dan lingkungan keluarga merupakan langkah strategis untuk mencetak generasi sehat dan tangguh.
Berpikir optimis adalah seni menjaga kesehatan dari segala sisi: pikiran, tubuh, dan jiwa. Optimisme melahirkan semangat hidup yang lebih segar, relasi sosial yang lebih sehat, serta ketangguhan menghadapi badai kehidupan.
Hidup sehat tidak hanya ditentukan oleh apa yang dikonsumsi, tetapi juga oleh apa yang ditanamkan di dalam pikiran. Dengan memilih optimisme, seseorang sejatinya sedang memilih hidup yang lebih sehat, bahagia, dan penuh arti.
***
*) Oleh: Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |