TIMES JATIM, SURABAYA – Ketika para pendiri bangsa menulis Pembukaan UUD 1945, mereka menitipkan sebuah komitmen untuk melindungi segenap bangsa, menyejahterakan rakyat, dan menegakkan keadilan sosial. Delapan dekade kemudian, komitmen itu kerap terhalang oleh satu penyakit lama yang tak kunjung sembuh, korupsi.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang 2019–2023 kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp234,8 triliun. Ironisnya, hanya Rp32,8 triliun sekitar 13,9 persen yang berhasil dipulihkan. Sisanya lenyap entah ke mana: tersimpan di rekening luar negerikah, dialihkan ke properti, atau disamarkan lewat jejaring bisnis cangkang.
Tak mengherankan bila Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024 hanya bertengger di skor 37. Kita sejajar dengan Ethiopia dan Lesotho jauh di bawah Singapura (84), Malaysia (50), bahkan Timor Leste (44). Padahal, Indonesia kerap menyebut dirinya macan Asia.
Korupsi bukan hanya merampas uang rakyat, ia menciptakan efek domino dengan menggerus kepercayaan publik, menakutkan investor, dan mematikan inovasi. Survei World Economic Forum (2017) menempatkan korupsi sebagai hambatan utama berbisnis di Indonesia.
World Bank (2023) mengulang nada yang sama bahwa korupsi menjadi indikator serius lemahnya iklim usaha di negeri ini. Jika demikian adanya, maka lahirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset bukan sekadar agenda, melainkan kebutuhan mendesak bangsa.
Pasang Surut RUU Perampasan Aset
Sejak masuk Prolegnas 2025, RUU Perampasan Aset mendapat sorotan publik yang intens. Sebagian menilai ini menjadi momentum bersejarah untuk memutus mata rantai korupsi, sebagian lain khawatir aturan ini bisa jadi pedang bermata dua.
Di satu sisi dapat “merampas” aset hasil tindak pidana dan di sisi lain menjadi alat “memeras” oleh para pejabat secara semena-mena. Apa pun itu, perdebatan yang muncul menunjukkan bahwa isu ini tidak lagi bisa dihindari.
Jika ditarik ke belakang, nasib RUU Perampasan Aset mengalami pasang surut. Naskah akademik pertama kali lahir pada 2012, dengan desain sederhana, yakni hanya lima jenis aset yang bisa dirampas, dikelola oleh Lembaga Pemulihan Aset (LPA) di bawah Menteri Keuangan. Lalu pada 2015, drafnya berkembang menjadi 11 jenis aset, tapi masih menempatkan LPA sebagai pengelola.
Tahun 2022, konsepnya justru mengecil lagi, yakni hanya enam jenis aset yang bisa dirampas, dengan kewenangan pengelolaan digeser ke Kejaksaan. Bahkan dalam draft terkahir ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi kewenangan dapat menghentikan sementara transaksi.
Yang menarik, sejak awal hingga kini, ambang batas nilai aset yang bisa dirampas tak pernah bergeser: minimal Rp100 juta. Pertanyaan pun muncul: mengapa batas ini tidak disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi dan dinamika zaman? Padahal praktik pencucian uang justru sering dilakukan melalui transaksi pecah kecil-kecil agar lolos radar penegak hukum.
Jalan Terjal Pemulihan Aset Negara
RUU Perampasan Aset sendiri tidak berarti hadir tanpa jejak pengaturan sebelumnya. Instrumen hukum mengenai perampasan sebenarnya sudah ada di Indonesia, baik dalam KUHP maupun aturan teknis seperti di kejaksaan.
Pasal 10 huruf b angka 2 dan Pasal 39 KUHP telah mengatur perampasan barang hasil kejahatan sebagai pidana tambahan. Bahkan Kejaksaan lewat Peraturan No. PER-027/A/JA/10/2014 mendefinisikan perampasan aset sebagai tindakan hukum untuk mengambil alih penguasaan aset dari seseorang atau korporasi berdasarkan putusan pengadilan.
Persoalannya, bahwa konsep yang dianut tersebut masih terbatas pada Criminal for Forfeiture perampasan aset baru bisa dilakukan jika telah ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap bagi pelaku tindak pidana.
Hal ini menjadi jalan terjal bagi pemulihan aset negara. Bahwa selama ini penegakan hukum kita seperti berjalan pincang. Di satu sisi, aparat sudah tahu ada tumpukan uang haram, tanah, atau properti mewah hasil tindak pidana.
Tetapi di sisi lain, mereka tak bisa menyentuhnya sampai ada vonis berkekuatan hukum tetap. Prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun jika memilih konsep Criminal for Forfeiture.
Dalam rentang itu, aset yang semestinya kembali ke negara justru menyusut nilainya dijual diam-diam, dialihkan atas nama kerabat, atau sekadar dibiarkan rusak tak terurus. Inilah mengapa RUU Perampasan Aset merupakan instrumen mendesak untuk menyelamatkan harta kekayaan negara untuk di-recovery.
Hambatan inilah yang membuat banyak pihak menilai bahwa RUU Perampasan Aset membutuhkan lompatan konseptual, dengan berani membuka opsi model baru: civil forfeiture, atau perampasan aset melalui mekanisme perdata in rem.
Dalam hal ini, yang digugat bukanlah orang, melainkan benda. Bila ada kekayaan yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya (unexplained wealth), negara berhak menanyakannya, dan bila terbukti tak sah, maka negara boleh merampasnya.
Belajar dari pengalaman negara lain, terdapat beragam model perampasan aset yang bisa dijadikan rujukan. Kolumbia, sejak 2002, berhasil menyita lebih dari 17.000 aset hasil kejahatan, mulai dari perhiasan, kapal, hingga properti mewah.
Bahkan menyasar kekayaan yang mencurigakan baik karena jumlahnya tidak sebanding dengan penghasilan resmi (Illicit enrichment), maupun karena pemiliknya tidak bisa menjelaskan dari mana asal-usulnya (Unexplained wealth).
Di sisi lain, Australia melangkah lebih progresif melalui Criminal Property Confiscation Act (CPCA) di Western Australia yang memberi kewenangan penyitaan yang bisa dilakukan tanpa kehadiran tergugat hingga pemilik aset dibebankan untuk melakukan pembuktian bahwa aset yang dimiliki diperoleh secara sah.
Bahaya yang Mengintai
Tentu, hadirnya RUU Perampasan Aset bukan tanpa bahaya. Tanpa mekanisme kontrol yang ketat, Undang-undang ini dapat disalahgunakan sebagai alat politik untuk menyingkirkan oposisi atau pihak-pihak yang dianggap “mengganggu” status quo. Di titik ini, hukum berpotensi berubah menjadi instrumen kekuasaan, bukan keadilan.
Lebih jauh, keberadaan Undang-Undang Perampasan Aset pun tidak otomatis mampu menghapus akar budaya korupsi yang sudah lama bercokol. Kita jangan buru-buru berharap bahwa dengan hadirnya RUU Perampasan Aset, korupsi akan langsung musnah.
Di lapangan, yang membuat korupsi subur bukan cuma celah hukum, tapi nilai-nilai seperti patronase politik, birokrasi yang masih penuh feodalisme, dan relasi kuasa yang timpang. Kalau akar penyakit ini tidak dibenahi, perampasan aset hanya akan jadi semacam kosmetik hukum mempercantik wajah negara di atas kertas, tapi tidak menyentuh luka yang sebenarnya.
Selain itu, penyitaan aset bukanlah perkara sederhana. Negara harus menanggung biaya besar untuk mengamankan, mengelola, bahkan melelang aset yang dirampas. Kapasitas teknis aparat dalam mengelola aset juga masih menjadi tanda tanya.
Risiko lain adalah politicization of law enforcement penegakan hukum yang lebih dikendalikan oleh kepentingan politik ketimbang kepentingan publik. Bahkan, mekanisme pembalikan beban pembuktian berpotensi menekan pihak yang sebenarnya tak bersalah, jika tidak diatur dengan cermat dan hati-hati.
Karena itu, risiko RUU Perampasan Aset akan semakin besar apabila proses legislasi hanya terjebak pada praktik neo-autocratic legalism, yakni hukum dijalankan sekadar untuk melegitimasi kepentingan penguasa. Agar terhindar dari jebakan ini, pembahasan RUU dalam Prolegnas 2025 membutuhkan komitmen politik yang kuat sekaligus partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Keberhasilan legislasi tidak cukup hanya diukur dari terbentuknya undang-undang, melainkan harus ditentukan oleh substansi yang benar-benar pro-rakyat, komprehensif, dan berpihak pada keadilan sosial.
***
*) Oleh: Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |