https://jatim.times.co.id/
Opini

Ketika Ormas Agama Menjadi Alat Kekuasaan

Senin, 15 September 2025 - 23:44
Ketika Ormas Agama Menjadi Alat Kekuasaan Andriyady., SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

TIMES JATIM, MALANG – Gelombang demonstrasi yang merebak dalam beberapa pekan terakhir, termasuk amukan massa yang dipicu oleh meninggalnya Affan Kurniawan, menunjukkan betapa besar akumulasi kekecewaan publik terhadap pemerintah, DPR, dan aparat kepolisian. Jalanan kembali menjadi ruang artikulasi aspirasi yang tak tersalurkan lewat kanal formal. 

Namun, di tengah panasnya situasi itu, publik dikejutkan dengan kehadiran sejumlah pemimpin ormas agama yang mendatangi istana. Mereka mengusung narasi damai, menyerukan kesejukan, dan meminta publik menahan diri.

Pertanyaannya: apakah kedatangan mereka benar-benar lahir dari suara murni umat, atau justru menjadi instrumen pemerintah untuk meredam gelombang protes?

Kita perlu menelisik secara kritis. Dalam sejarah politik Indonesia, ormas agama sering menjadi pilar penting penyambung suara rakyat. Mereka hadir ketika negara gagal menghadirkan keadilan. 

Namun, sejarah yang sama juga mencatat bahwa ormas agama kerap masuk dalam orbit kekuasaan, dijadikan alat legitimasi politik, bahkan peredam potensi konflik yang mengancam stabilitas rezim. 

Kehadiran para pemimpin ormas agama di istana kali ini seolah menegaskan dilema itu: di antara kepentingan moral umat dan kepentingan politik penguasa.

Narasi damai yang mereka bawa terdengar manis di telinga, tetapi problemnya terletak pada substansi: damai untuk siapa? Damai dengan cara apa? 

Ketika rakyat marah atas kriminalisasi, ketidakadilan, dan brutalitas aparat, mengajak mereka “tenang” tanpa menyentuh akar persoalan sama saja dengan meminta rakyat menelan pahitnya realitas. Damai yang dimaksud bukanlah rekonsiliasi, melainkan penundukan.

Kita harus jujur mengakui, tindakan ini memberi kesan bahwa pemimpin ormas agama lebih peduli menjaga kenyamanan penguasa ketimbang memperjuangkan aspirasi masyarakat. 

Apa artinya datang ke istana dengan membawa doa dan pesan damai, sementara ribuan mahasiswa, buruh, dan aktivis dijerat pasal karet, dikriminalisasi, bahkan dipenjara? Apa artinya menenangkan publik bila mereka tidak bersuara lantang tentang luka Affan Kurniawan dan ketidakadilan yang menjadi bara kemarahan?

Suara damai yang diusung pemimpin ormas agama rawan direduksi menjadi alat depolitisasi. Alih-alih membuka kanal solusi, kehadiran mereka justru bisa dianggap sebagai “pengganjal” perlawanan publik. Bukannya menuntut negara memperbaiki diri, mereka justru menutupi borok rezim dengan retorika moralitas.

Situasi ini mengingatkan pada pola lama: ketika ketegangan sosial membesar, negara kerap memanggil tokoh agama untuk meredam, bukan menyelesaikan. Tokoh agama dijadikan “pagar api” agar protes rakyat tidak membakar fondasi kekuasaan. 

Padahal, fungsi sejati mereka bukanlah menjadi alat pendingin, melainkan suara yang lantang melawan ketidakadilan. Jika ormas agama terlalu larut dalam peran sebagai juru damai istana, maka mereka kehilangan legitimasi moral di mata umat.

Di sinilah publik layak bertanya: siapa yang sebenarnya diwakili oleh pemimpin ormas agama? Apakah mereka benar-benar menyuarakan keresahan jamaahnya, ataukah mereka kini lebih nyaman berdiri di samping penguasa dengan segala fasilitas dan akses politik yang menyertainya?

Publik tidak menolak damai. Semua orang ingin damai. Namun, damai yang hakiki hanya bisa lahir dari keadilan. Tidak ada damai di atas luka yang dibiarkan. Tidak ada damai di atas jeruji yang menelan aktivis. 

Tidak ada damai di atas tubuh-tubuh rakyat yang dikorbankan oleh kekerasan aparat. Damai semacam itu hanya ilusi, instrumen untuk meninabobokan masyarakat agar lupa pada masalah sesungguhnya.

Ke depan, ormas agama harus mengembalikan marwahnya. Mereka harus berani bersuara kritis, berdiri di sisi yang lemah, menegur yang zalim, dan menyuarakan aspirasi rakyat secara jujur. Jika mereka hanya menjadi corong “penyejuk” bagi istana, maka mereka bukan lagi pemimpin umat, melainkan sekadar peredam sosial yang dikendalikan penguasa.

Dalam momen genting seperti sekarang, kita perlu bertanya dengan lantang: di mana suara ormas agama ketika rakyat dipukul di jalanan? Di mana suara mereka ketika aktivis dikriminalisasi? Mengapa justru yang terdengar hanyalah narasi damai tanpa kritik, doa tanpa perlawanan, dan nasehat tanpa keberanian?

Rakyat membutuhkan pemimpin moral yang berani menatap mata penguasa, bukan sekadar menepuk pundaknya. Rakyat membutuhkan suara yang menggetarkan, bukan sekadar bisikan yang menenangkan. 

Jika tidak, publik akan perlahan kehilangan kepercayaan, dan ormas agama hanya akan dikenang sebagai instrumen kekuasaan yang melanggengkan ketidakadilan.

***

*) Oleh : Andriyady., SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.