TIMES JATIM, MALANG – Dunia kerja sedang berubah. Jika dulu kesuksesan identik dengan kantor besar dan jas rapi, kini banyak orang justru membangun kemandirian ekonomi dari ruang tamu, dapur, atau garasi rumah.
Ekonomi rumahan yang dulu dianggap sampingan kini menjelma menjadi kekuatan baru yang menggerakkan roda ekonomi nasional. Fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan bentuk perlawanan sunyi terhadap sistem ekonomi konvensional yang sering timpang dan eksploitatif.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, muncul generasi baru yang memilih “duduk anteng di rumah” tapi tetap produktif. Mereka menjahit, membuat kue, berjualan daring, mendesain grafis, menulis konten, hingga mengelola bisnis digital berbasis komunitas. Dari dapur kecil di kampung hingga kamar kos sempit di kota, lahir wirausaha mandiri yang tidak lagi menunggu kesempatan, tetapi menciptakannya.
Fenomena ini menandai lahirnya ekonomi berdaya dari bawah. Bukan konglomerasi, bukan korporasi besar, melainkan masyarakat biasa yang mengubah keterbatasan menjadi kekuatan.
Mereka tidak butuh gedung megah atau modal besar cukup ponsel, ide, dan jaringan sosial. Di sinilah wajah baru ekonomi Indonesia muncul: ekonomi yang humanis, inklusif, dan berbasis rumah tangga.
Di balik geliat itu, ada kritik yang perlu diajukan. Negara sering kali hanya melihat sektor formal, sementara ekonomi rumahan yang menopang jutaan keluarga masih diperlakukan seperti “ekonomi pinggiran.” Padahal, menurut data BPS, lebih dari 60% pelaku UMKM di Indonesia beroperasi dari rumah.
Mereka menyumbang hampir separuh Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Tapi sayangnya, banyak dari mereka masih terjebak dalam sistem yang tidak memberi perlindungan hukum, jaminan sosial, atau akses permodalan yang adil.
Kebijakan ekonomi kita masih bias kota dan bias industri besar. Padahal, di balik setiap toko online kecil, ada cerita perjuangan ibu rumah tangga yang menyeimbangkan urusan dapur dan bisnis.
Di balik setiap produk rumahan, ada kerja keras yang tidak tercatat oleh sistem pajak atau statistik resmi. Mereka bekerja dalam senyap, tanpa fasilitas, tanpa gaji tetap tapi dengan dedikasi dan kreativitas luar biasa.
Inilah saatnya negara mengakui bahwa ekonomi rumahan adalah tulang punggung ekonomi rakyat. Pemerintah daerah dan pusat harus mengubah cara pandang: dari sekadar memberi bantuan sosial menjadi membangun ekosistem produktif.
Artinya, bukan hanya memberikan modal, tapi juga akses pelatihan digital, pemasaran daring, dan perlindungan hukum bagi pelaku ekonomi rumah tangga.
Ekonomi rumahan juga menantang paradigma lama tentang ruang kerja dan peran gender. Dulu, perempuan dianggap hanya berperan di ranah domestik. Kini, mereka menjadi motor utama ekonomi keluarga.
Di banyak desa, ibu-ibu yang dulu menggantungkan pendapatan pada suami, kini menjadi produsen, distributor, sekaligus pemimpin komunitas ekonomi. Mereka membuktikan bahwa kemandirian tidak butuh kantor, cukup niat, ketekunan, dan sedikit literasi digital.
Dalam kacamata sosiologi ekonomi, ini adalah bentuk transformasi struktur sosial. Rumah bukan lagi ruang privat yang pasif, tapi arena produktif yang melahirkan nilai ekonomi baru.
Relasi kerja bergeser dari hierarki menjadi kolaborasi, dari kontrol menjadi kepercayaan. Ketika digitalisasi memudahkan transaksi, batas antara rumah dan dunia kerja pun memudar. Kita memasuki era di mana ruang produktif tidak lagi dibatasi oleh tembok.
Namun, ada bahaya baru yang mengintai: eksploitasi digital dan komersialisasi kerja rumahan. Banyak platform daring yang memanfaatkan tenaga kerja rumah tangga tanpa perlindungan yang jelas. Mereka bekerja dari rumah, tapi dikontrol oleh algoritma.
Ini menuntut kehadiran regulasi baru yang melindungi pekerja rumahan digital baik dari segi pendapatan yang layak, jam kerja manusiawi, maupun hak cipta produk kreatif.
Ekonomi rumahan sejatinya adalah simbol kedaulatan ekonomi rakyat. Ia tumbuh dari bawah, berakar pada solidaritas sosial, dan membuktikan bahwa pembangunan tidak selalu harus dimulai dari pusat.
Jika pemerintah mampu menjadikannya bagian dari strategi nasional, maka Indonesia tidak hanya memiliki ekonomi yang tangguh, tapi juga adil dan berkeadaban.
Duduk anteng di rumah hari ini bukan berarti pasif. Justru di sanalah revolusi ekonomi berlangsung sunyi tapi nyata. Dari tangan-tangan ibu rumah tangga, pemuda kreatif, hingga komunitas kecil di desa, lahir kekuatan ekonomi baru yang menolak tunduk pada ketimpangan struktural. Inilah bentuk kemandirian sejati: bekerja dengan integritas, berkarya dari rumah, dan berkontribusi untuk bangsa.
***
*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |