TIMES JATIM, MALANG – Rakyat dalam demokrasi selalu disebut sebagai pemilik kekuasaan tertinggi. Konstitusi menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang. Namun, yang tak pernah selesai adalah sejauh mana rakyat benar-benar berkuasa dalam praktik politik kita?
Di ruang-ruang kampanye, jargon “kekuasaan rakyat” dielu-elukan, tetapi dalam praktiknya, rakyat sering kali diposisikan sebagai objek yang hanya dibutuhkan suaranya setiap lima tahun sekali.
Realitas politik hari ini justru menunjukkan jurang yang lebar antara legitimasi yang diberikan rakyat dan pengkhianatan yang dilakukan oleh elite. Kemenangan dalam pemilu tidak jarang dipahami sebagai “cek kosong” bagi politisi untuk menjalankan kekuasaan tanpa akuntabilitas yang memadai. Padahal, mandat rakyat semestinya diikuti dengan kewajiban moral dan politik untuk mewujudkan kepentingan publik, bukan melanggengkan kepentingan oligarki.
Fenomena ini bisa dilihat dari kebijakan publik yang sering kali tidak berpihak pada rakyat kecil. Contohnya, kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus terjadi tanpa solusi komprehensif. Pemerintah kerap menjanjikan subsidi, tetapi implementasinya sering bocor karena korupsi atau salah sasaran. Petani, buruh, dan nelayan masih terpinggirkan, padahal merekalah tulang punggung ekonomi bangsa.
Di sisi lain, kebijakan ekonomi lebih sering menguntungkan pemilik modal besar dengan dalih investasi. Ini membuktikan bahwa suara rakyat sering kali hanya menjadi formalitas demokrasi, sementara kepentingan mereka dipinggirkan.
Ironi terbesar adalah ketika rakyat bersuara lewat demonstrasi, kritik, atau aksi kolektif, respons yang datang justru berupa represi. Aparat keamanan sering dikerahkan untuk meredam gerakan rakyat yang seharusnya dilindungi oleh konstitusi.
Ruang kebebasan berekspresi yang dijanjikan dalam demokrasi kerap disempitkan, bahkan dikriminalisasi. Kasus kriminalisasi terhadap aktivis dan mahasiswa yang memperjuangkan aspirasi rakyat menjadi bukti bahwa kekuasaan rakyat sedang direduksi menjadi sekadar mitos.
Kekuasaan rakyat juga semakin terdistorsi oleh hegemoni media sosial. Di satu sisi, platform digital membuka ruang baru bagi rakyat untuk bersuara, membentuk opini, bahkan mengkritisi kebijakan. Namun di sisi lain, media sosial juga menjadi arena manipulasi, hoaks, dan polarisasi yang justru menguntungkan elite.
Buzzer dan propaganda digital sering kali mengalihkan perhatian publik dari isu-isu substantif menuju perdebatan semu. Kekuasaan rakyat dalam ruang digital pun dibajak oleh algoritma dan uang.
Meski demikian, kita tidak boleh menyerah pada pesimisme. Kekuasaan rakyat harus diletakkan kembali pada posisi sejatinya: sebagai sumber legitimasi sekaligus pengawas yang kritis terhadap pemerintah.
Demokrasi tidak bisa hanya diukur dari ada atau tidaknya pemilu, tetapi dari sejauh mana rakyat berdaya untuk mengontrol jalannya kekuasaan. Mekanisme partisipasi publik harus diperkuat, baik melalui forum musyawarah desa, transparansi anggaran, maupun kanal aspirasi digital yang akuntabel.
Lebih dari itu, rakyat sendiri harus bertransformasi dari sekadar pemilih pasif menjadi warga negara aktif. Kesadaran politik masyarakat perlu dibangun agar tidak mudah terjebak dalam politik uang atau janji kosong elit.
Pendidikan politik harus masuk ke ruang-ruang publik, kampus, hingga komunitas akar rumput. Tanpa kesadaran kritis, rakyat hanya akan menjadi objek demokrasi yang bisa dimobilisasi setiap musim pemilu.
Kita juga perlu menata ulang relasi antara rakyat, negara, dan pasar. Selama ini, kebijakan publik sering tunduk pada logika pasar yang menempatkan rakyat sebagai konsumen, bukan warga negara yang berhak atas kesejahteraan.
Negara semestinya hadir sebagai pelindung dan pengatur, bukan sekadar fasilitator bagi kepentingan modal. Keseimbangan inilah yang menentukan sejauh mana kekuasaan rakyat dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di tengah disrupsi teknologi dan krisis global, kekuasaan rakyat juga harus dimaknai lebih luas dari sekadar hak politik. Hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, dan lingkungan hidup yang bersih adalah wujud konkret kedaulatan rakyat. Pemerintah yang mengabaikan hal-hal tersebut sejatinya sedang mengkhianati mandat rakyat.
Kekuasaan rakyat bukanlah konsep abstrak yang hanya indah dalam pidato, melainkan realitas yang harus diperjuangkan terus-menerus. Demokrasi yang sehat menuntut rakyat yang berdaya, elit yang bertanggung jawab, dan institusi negara yang transparan. Jika salah satu unsur ini rapuh, maka kekuasaan rakyat hanya akan menjadi jargon kosong.
Apakah kita akan terus membiarkan rakyat diposisikan sebagai penonton dalam panggung demokrasi, ataukah kita berani merebut kembali ruang-ruang kuasa yang memang menjadi hak kita? Kekuasaan rakyat hanya akan hidup jika rakyat sendiri berani melawan pengkhianatan atas kedaulatan mereka.
***
*) Oleh : Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |