https://jatim.times.co.id/
Forum Mahasiswa

Natal dan Gereja dalam Konstelasi Moderasi Beragama

Jumat, 27 Desember 2024 - 17:26
Natal dan Gereja dalam Konstelasi Moderasi Beragama Ronven Apriani, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN KH. Achmad Siddiq

TIMES JATIM, JEMBERMASYARAKAT Kristiani pasti tidak asing dengan tanggal 25 Desember. Sebuah tanggal momentum di mana peringatan Hari Natal dirayakan. Perayaan ini ramai akan tradisi tukar kado, hiasan lampu, dan cosplay menjadi tokoh fiksi Sinterklas.

Meskipun, perayaan tersebut terkadang harus dipenuhi dengan kajian yang membahas tentang boleh dan tidaknya umat Islam mengucapkan selamat Hari Natal. Polemik musiman yang gencar di setiap Hari Natal.

Alih-alih jadi perdebatan gagasan yang panjang lebar dan saling unjuk gigi pamer keilmuan. Padahal justru dengan adanya perayaan Natal, telah memantik nalar toleransi umat beragama. 

Begitu pun, kehadiran diskursus moderasi beragama di Indonesia belum tergambarkan secara nyata. Sebab, konstelasi yang terjadi pada umat Kristen untuk beribadah dan pembangunan gereja masih saja mengalami gejolak di akar rumput.

Historisitas Hari Natal

Secara bahasa kata ‘Natal’ yang kita gunakan hingga hari ini, itu bersumber dari bahasa Latin, ‘Dies Natalis’ yang memiliki arti hari lahir (Sembiring, 2024). Oleh karena itu, perayaan Natal dikenal sebagai hari kelahiran Yesus Kristus dan dipercaya oleh banyak masyarakat Kristen.

Penetapan Hari Natal pada tanggal 25 Desember merupakan sesuatu yang otentik karena telah dilakukan oleh gereja sejak akhir abad pertama. Perayaan Natal juga pengaruh dari tradisi yang digandrungi oleh bangsa Romawi untuk merayakan kelahiran Dewa Matahari.

Agama Kristen diklaim sebagai agama resmi kekaisaran Romawi pada tahun 300 M akhir. Natal menjadi perayaan keagamaan paling berharga di tahun 1100 tepatnya di Eropa. Perayaan tersebut berkembang dengan adanya tradisi menghiasi rumah, pohon, gereja dengan lampu dan aksesoris Natal pada tahun 1800-an.

Gereja dan Dinamika Ibadah Umat Kristen 

Menyoal umat beragama, khususnya umat Kristen, sudah seharusnya merasakan kenyamanan tempat ibadah. Karena gereja sebagai tempat ibadah perannya sangat besar dalam spiritual umat Kristen.

Melihat Indonesia sebagai negara yang memiliki diskursus moderasi beragama yang mana ada enam agama resmi. Sudah pasti soal pendirian tempat ibadah dapat dipermudah dengan prosedur yang sederhana. 

Namun, ternyata pendirian gereja masih mengalami kesulitan dalam hal prosedur perizinan. Seperti yang pernah terjadi, di Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, yang mendapat penolakan dari sejumlah warga setempat (detik.com, 2/11/2024).

Padahal penolakan terhadap didirikannya rumah ibadah merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional bagi setiap warga negara. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dari kedua ketentuan itu, negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk dan beribadah menurut agamanya.

Melihat laporan SETARA Institute, di tahun 2023 saja, ada 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Laporan tersebut menyebutkan mayoritas yang menolak pendirian rumah ibadah dikarenakan tidak terpenuhinya syarat pendirian.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006. Peraturan yang mensyaratkan adanya 90 pengguna rumah ibadah dan 60 dukungan dari warga setempat.

Jika meminjam nalar Grand Syekh Al-Azhar, Islam sebagai agama mayoritas seharusnya tidak anti Gereja. Karena tidak ada ayat Al-Quran yang melarang pembangunan gereja. Bahkan dalam hal pembangunan gereja, tidak perlu lagi dibentuk regulasi khusus yang dapat membatasi pendirian rumah ibadah lainnya.

Peran Pemerintah, Tokoh Agama dan Masyarakat

Dengan adanya peristiwa penolakan pembangunan rumah ibadah. Kehadiran peran pemerintah, masyarakat dan tokoh agama sangat penting, guna menjaga nilai-nilai persatuan dan hak konstitusional setiap warga.

Pemerintah perlu mengkaji kembali peraturan yang dinilai memberatkan, seperti jumlah minimal pengikut dan dukungan masyarakat. Tentu tujuannya tidak lain, untuk menghindari konflik yang berkelanjutan dan memastikan dapat adil dan tidak diskriminatif.

Selain pemerintah, tokoh agama dan masyarakat juga harus bersinergi mendorong dialog lintas agama, yang bertujuan untuk memperkuat toleransi.
Dengan begitu, bisa tercipta satu frekuensi pemahaman moderasi agama yang tidak hanya getol di forum kajian. Namun dapat dipraktekkan oleh masyarakat secara masif.

***

*) Oleh : Ronven Apriani, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN KH. Achmad Siddiq.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.