TIMES JATIM, MALANG – Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 12 persen. Kebijakan ini menjadi kontroversial karena dianggap akan menambah beban masyarakat di tengah pemulihan ekonomi yang belum stabil.
Langkah ini membawa dampak luas, memengaruhi hampir semua sektor ekonomi dan lapisan masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah. Kenaikan tarif ini secara langsung menyebabkan harga barang dan jasa naik, sehingga daya beli masyarakat semakin tergerus. Situasi ini memunculkan banyak pertanyaan tentang keadilan dan urgensi kebijakan tersebut.
Harga barang dan kebutuhan pokok memang dikecualikan dari PPN, tetapi dampak domino tetap tidak dapat dihindari. Produsen dan distributor akan menyesuaikan harga produk lain yang terkait, sehingga efeknya meluas ke seluruh rantai pasokan. Biaya hidup yang sebelumnya sudah meningkat akibat inflasi kini menjadi lebih berat dengan tambahan beban ini.
Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka akan semakin tertekan. Kebijakan ini tampak mengabaikan realitas bahwa banyak rakyat masih bergelut dengan pemulihan pascapandemi, di mana banyak pekerjaan belum kembali stabil dan pengangguran masih menjadi tantangan besar.
Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga menghadapi pukulan telak akibat kenaikan PPN. Sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, UMKM selama ini menjadi sektor yang paling tangguh menghadapi krisis. Namun, kenaikan tarif PPN memaksa mereka untuk menaikkan harga produk atau jasa, yang dapat berdampak langsung pada penurunan daya beli konsumen.
Selain itu, mereka juga menghadapi tantangan administratif karena harus menyesuaikan sistem akuntansi dan pelaporan pajak. Banyak UMKM tidak memiliki kapasitas untuk menanggung biaya tambahan ini, sehingga berisiko mengalami penurunan profitabilitas atau bahkan gulung tikar.
Klaim pemerintah bahwa kenaikan PPN ini untuk meningkatkan penerimaan negara demi mendanai proyek-proyek pembangunan besar menimbulkan keraguan. Proyek strategis seperti pembangunan infrastruktur memang penting, tetapi hasilnya sering kali tidak langsung dirasakan oleh rakyat kecil.
Fokus pembangunan yang terlalu berat pada infrastruktur fisik cenderung mengabaikan kebutuhan mendesak masyarakat, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan. Dengan kondisi ini, kebijakan PPN 12 persen tampak lebih mengutamakan ambisi pembangunan daripada kesejahteraan rakyat.
Masalah lain yang muncul adalah minimnya transparansi dalam pengelolaan dana pajak. Masyarakat sering kali tidak melihat manfaat langsung dari pajak yang mereka bayarkan.
Kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan anggaran semakin memperburuk kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. Tanpa adanya komitmen yang kuat untuk mengelola dana dengan transparan, kenaikan PPN hanya akan memperkuat pandangan bahwa kebijakan ini lebih menguntungkan segelintir pihak daripada masyarakat luas.
Inflasi menjadi ancaman nyata akibat kenaikan tarif PPN. Dengan meningkatnya harga barang dan jasa, daya beli masyarakat menurun, yang pada gilirannya dapat memperlambat konsumsi domestik.
Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Penurunan konsumsi dapat memicu efek berantai yang merugikan, seperti penurunan produksi, peningkatan pengangguran, dan pelemahan investasi.
Pemerintah seharusnya mempertimbangkan alternatif lain yang lebih adil untuk meningkatkan penerimaan negara. Pengenaan pajak progresif pada barang konsumsi mewah dan jasa sekunder, misalnya, dapat menjadi solusi yang lebih tepat. Pendekatan ini memungkinkan pemerintah untuk memungut pajak lebih tinggi dari kelompok masyarakat yang memiliki daya beli lebih besar, tanpa memberatkan kelompok berpenghasilan rendah.
Selain itu, pengawasan terhadap wajib pajak besar, termasuk perusahaan multinasional, juga perlu ditingkatkan untuk meminimalkan potensi penghindaran pajak
Peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran seharusnya menjadi prioritas sebelum memberlakukan kenaikan tarif pajak.
Optimalisasi penerimaan dari sektor lain, seperti cukai atau pajak ekspor, dapat memberikan tambahan pendapatan tanpa menekan rakyat kecil. Kebijakan fiskal yang memberatkan masyarakat bawah hanya akan memperlebar kesenjangan sosial yang sudah ada.
Minimnya sosialisasi mengenai kenaikan PPN juga menjadi masalah tersendiri. Masyarakat merasa kebijakan ini dipaksakan tanpa dialog atau penjelasan yang memadai. Ketidakjelasan mengenai manfaat konkret dari kebijakan ini menciptakan ketidakpuasan di kalangan masyarakat.
Pemerintah seharusnya melibatkan berbagai pihak, termasuk perwakilan masyarakat dan pelaku usaha, dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi publik dapat meningkatkan legitimasi kebijakan sekaligus memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan.
Menolak kenaikan PPN bukan berarti menolak pajak sebagai instrumen pembangunan. Pajak adalah tulang punggung pembiayaan negara, tetapi penerapannya harus adil dan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat.
Kritik ini adalah bentuk aspirasi rakyat yang menginginkan kebijakan yang berpihak pada mereka. Pemerintah harus memahami bahwa keadilan sosial adalah prinsip utama dalam setiap kebijakan perpajakan.
Kenaikan PPN 12 persen berisiko memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada. Masyarakat kelas atas tidak terlalu terdampak oleh kenaikan ini, sementara masyarakat kelas bawah menghadapi tekanan ekonomi yang semakin besar. Jika ketimpangan ini dibiarkan, stabilitas sosial dan ekonomi negara akan terancam. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih bijaksana dalam merancang kebijakan yang berdampak luas seperti ini.
Reformasi perpajakan yang menyasar kelompok dengan kapasitas ekonomi lebih besar dapat menjadi solusi jangka panjang. Pendekatan ini tidak hanya lebih adil tetapi juga mampu meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Pemerintah juga harus memperkuat sistem pengawasan untuk mencegah kebocoran anggaran dan memastikan dana publik digunakan secara optimal.
Kebijakan PPN 12 persen seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah untuk lebih peka terhadap kondisi masyarakat. Keputusan besar seperti ini membutuhkan analisis mendalam dan dialog yang melibatkan berbagai pihak. Rakyat membutuhkan kebijakan yang mendukung pemulihan ekonomi, bukan yang justru menambah beban mereka.
Pajak adalah kontribusi penting untuk membangun negara, tetapi penerapannya harus mempertimbangkan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan.
Kenaikan PPN ini hanya akan berhasil jika didukung oleh transparansi, akuntabilitas, dan kebijakan pendukung yang berpihak pada rakyat kecil. Tanpa itu, kebijakan ini hanya akan memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi, merugikan mereka yang seharusnya paling dilindungi.
***
*) Oleh : Erwin Saputra, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |