TIMES JATIM, SURABAYA – Dunia memperingati hari Kesehatan Mental setiap tanggal 10 Oktober. Tema hari kesehatan mental tahun 2022 ini adalah ‘Make Mental Health for All a Global Priority’. Tema tersebut kurang lebih memiliki makna kesehatan mental untuk semua (tanpa terkecuali) sebagai prioritas global.
Pada titik ini, isu kesehatan mental mulai banyak disuarakan. Kesadaran masyarakat tentang mental yang sehat sudah semakin meningkat. Masyarakat mulai memahami bahwa kualitas hidup yang baik, memegang peranan penting dalam menjalankan kehidupan pada segala aspek.
Kualitas hidup yang memadai dapat dicapai dalam kondisi mental yang sehat. Meski disisi lain, tekanan hidup semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hubungan antar generasi kian kompleks, interaksi dan relasi didalamnya juga rentan mengalami konflik yang berdampak pada kondisi mental individu.
Kehidupan ekonomi tak selalu stabil. Kondisi pandemik tahun 2020-2021, merupakan masa tersulit pada semua aspek kehidupan masyarakat, terutama dalam hal ekonomi. Pengurangan tenaga kerja menyebabkan pengangguran yang berdampak pada stabilitas kehidupan keluarga. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh orang dewasa, namun juga anak dan remaja sebagai kelompok dengan kerentanan tinggi mengalami problem mental. Setiap individu diminta beradaptasi cepat dengan situasi bencana non alam tersebut.
Permasalahan mental masyarakat, disebabkan oleh banyak faktor lainnya. Kondisi mental yang kurang menguntungkan akan semakin buruk ketika dukungan sosial tidak terbangun. Kesempatan untuk mendapatkan akses kesehatan dan perawatan semakin sulit, ketika mereka terstigma dan menerima diskriminasi atas masalah mental yang dialami.
Di dalam masyarakat Indonesia yang plural, ‘perbedaan’ merupakan faktor yang tidak bisa dihindari dan selalu berpeluang terjadi perbedaan perlakuan. Dalam konteks kesehatan mental, stigma lahir dari kesalahpahaman tentang penyakit mental itu sendiri, yang berujung pada diskriminasi.
Akibatnya, orang dengan penyakit mental kehilangan kesempatan yang menentukan kehidupan yang berkualitas: pekerjaan yang baik, perumahan yang aman, perawatan kesehatan yang memuaskan, dan afiliasi dengan kelompok orang yang beragam (Corrigan&Watson, 2002).
Stigma membuat individu dengan masalah mental mengalami ketakutan dan penolakan (Barnes&Wills, 2019). Banyak individu yang takut untuk terbuka tentang kondisi kesehatan mental mereka karena khawatir dengan respon yang akan diterima. ‘Apakah keluarga saya akan paham jika saya menceritakan gangguan yang saya rasakan?’ ; ‘Apakah teman-teman saya masih mau berteman dengan saya kalau saya ada masalah ini? ; atau ‘Apakah tempat saya bekerja masih dapat menerima saya dengan kondisi mental yang saya miliki sekarang?’.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu muncul berulang-ulang, sehingga menghambat keputusan individu dalam mencari bantuan/pertolongan.
Cara mengelola Stigma Tentang Gangguan Mental
Corrigan&Watson (2002) menjelaskan beberapa strategi mengelola stigma. Strategi tersebut ditujukan kepada media dan publik. Bagi media, Stop! Melaporkan representasi penyakit mental yang tidak akurat. Masyarakat perlu diedukasi dengan konten isu kesehatan mental yang faktual dan dapat dipercaya. Bagi publik, Stop! Mempercayai pandangan negatif tentang penyakit mental.
Edukasi memegang peranan penting dalam memberikan informasi sehingga masyarakat dapat membuat keputusan yang lebih tepat tentang penyakit mental yang dialami. Masyarakat yang memiliki pemahaman yang baik tentang masalah mental cenderung tidak mudah mengembangkan stigma dan diskrimnasi. Stigma juga akan berkurang ketika kita familiar dengan kehidupan orang dengan masalah mental, baik dalam kehidupan bermasyarakat atau kehidupan di tempat kerja/sekolah.
Bertemu dengan individu yang memiliki masalah mental membuat kita mampu berempati dan memiliki sikap yang lebih positif. Kualitas relasi interpersonal dapat lebih ditingkatkan ketika masyarakat umum dapat secara teratur berinteraksi dengan individu yang memiliki masalah mental.
Masalah mental sama sekali bukan lelucon. Disadari atau tidak, seringkali kita menggunakan istilah-istilah yang mengacu pada kondisi mental seseorang dalam humor sosial kita. Hal ini bisa sangat menyakitkan untuk mereka, sehingga berhati-hatilah dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Disisi lain, mengenal mereka dengan baik juga akan mengembangkan dukungan, sehingga individu (dan keluarga mereka) dapat memperoleh dukungan yang layak mereka terima. Barnes&Wills (2019) menjelaskan pentingnya informasi ilmiah yang akurat untuk menggantikan banyak mitos dan pengetahuan tentang penyakit mental di masyarakat.
Menjadi sadar dan terinformasi adalah langkah pertama dalam membantu orang yang kita cintai atau anggota keluarga mendapatkan perawatan tepat yang dibutuhkan untuk pulih dan sehat secara emosional. Berempati, menyayangi, mencintai dan menghargai setiap yang mereka rasakan akan membantu mereka untuk merasa diterima.
Seringkali kita menghindari orang dengan masalah mental, mengabaikan atau menghindari karena merasa tidak nyaman. Respon seperti itulah yang justru akan melanggengkan stigma dan diskriminasi. Stigma dan diskriminasi terus menjadi penghalang bagi penderita kesehatan mental untuk mendapatkan dukungan sosial dan perawatan yang tepat.
Oleh karena itu, besar harapan kita semua bahwa hari Kesehatan Mental Sedunia 2022 ini mampu menjadi pengingat bahwa setiap orang, tanpa terkecuali, berhak mengakses perawatan kesehatan mental yang mereka butuhkan dan menjalani kehidupan dengan lebih baik.
Indonesia harus mulai membangun layanan kesehatan mental inklusif, karena setiap warga negara, dalam kondisi apapun dan latar belakang apapun, memiliki hak untuk hidup lebih bahagia dan sejahtera melalui kemudahan akses terhadap layanan kesehatan mental, sebaik layanan kesehatan fisik.
***
*) Oleh: Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |