TIMES JATIM, PACITAN – Hari Arafah selalu punya tempat istimewa bagi umat Islam. Bagi para jamaah haji, ini adalah puncak ibadah wukuf di Padang Arafah. Tapi bagi KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha, Hari Arafah tetap sakral meski tidak sedang berhaji.
Ulama asal Narukan, Rembang, itu punya caranya sendiri dalam menyambut yaumu ‘arafah. Tirakat. Bukan dengan ritual yang muluk, melainkan sederhana tapi penuh makna: iktikaf, belajar, dan membaca Alquran.
“Berdasarkan kebiasaan orang saleh, menurut saya Arafah adalah hari yang semua doa dikabulkan oleh Allah, maka tidak enak hati kalau tidak ibadah, seperti iktikaf dan baca Alquran. Tirakat saya kalau tidak belajar, ya baca Alquran,” ujar Gus Baha, dikutip dari kanal YouTube Kiaiku Ngaji, Selasa (3/6/2025).
Hari Arafah jatuh pada 9 Zulhijah. Di Tanah Suci, wukuf dimulai selepas dzuhur waktu setempat. Sementara di Indonesia, itu bertepatan dengan waktu ashar. Tapi Gus Baha menegaskan bahwa Allah tak dibatasi oleh waktu dan tempat.
“Ya nyaman saja. Ketika di Arafah itu (jamaah haji) wukuf habis dzuhur mulainya. Kita di Indonesia selisih waktu dengan Mekah, kita di sisi ashar. Bagi Allah semua bumi itu tidak luput dari pengawasan Allah,” imbuhnya.
Yang menarik, Gus Baha juga menyebut tradisi para wali dalam memperingati Hari Arafah. Mereka yang tidak berangkat haji, tetap berdoa dan tirakat di tanah kelahirannya. Ini dikenal sebagai adat ta’rif, hari pengenalan diri kepada Allah.
“Saya baca-baca kitab para wali, mereka tidak ikut haji tapi di Hari Arafah ikut memperingati yaumu ta’rif. Saat itu wali aqthaf dan abdal berdoa,” ungkapnya.
Tak ketinggalan, Gus Baha juga menyinggung soal keutamaan puasa Arafah. Bagi umat Islam yang tidak berhaji, puasa pada 9 Zulhijah sangat dianjurkan. Pahalanya disebut mampu menghapus dosa setahun lalu dan setahun yang akan datang.
“Puasa tanggal 9 pahalanya melebur dosa. Kalau puasanya menurut waktu Saudi, bukanya kita di sini jam 9 malam,” ucap Gus Baha, sambil tertawa kecil.
Ia menambahkan, tirakat yang dijalaninya adalah bagian dari insting kesalehan yang diwarisi dari para ulama terdahulu. Tidak ada paksaan. Semua dijalani dengan ringan tapi penuh kesadaran.
Hal ini juga menjadi pengingat, bahwa Hari Arafah bukan hanya tentang fisik di Arafah, tapi juga tentang hati yang hadir kepada Allah. Tak harus naik pesawat ke Makkah, cukup hadir sepenuhnya di hadapan-Nya—dengan doa, dzikir, dan perenungan.
Arafah, Waktu Mustajab
Gus Baha tak sendiri. Banyak ulama terdahulu menjadikan Hari Arafah sebagai momentum penting untuk menumpahkan doa. Dikenal sebagai hari paling mustajab, setiap kata yang terucap bisa saja menjadi kunci terkabulnya harapan.
“Hal-hal seperti ini sebenarnya bukan perintah formal, tapi warisan rasa,” kata Gus Baha dalam pengajiannya yang penuh tawa, santai, tapi menusuk hati.
Bagi Gus Baha, spiritualitas tak harus ribet. Yang penting hadir, sadar, dan berserah. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Inilah Tirakat Gus Baha di Hari Arafah
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Deasy Mayasari |