TIMES JATIM, BLITAR – Binti Masruroh adalah pembuat jamu tradisional asal Dusun Depok Desa Ngadirenggo Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar Jawa timur. Ia mengaku bahwa saat ini penjualan jamu buatannya telah kembali bergeliat meskipun pandemi Covid-19 masih melanda.
Bahkan sekarang, omzet penjualan jamunya telah kembali pulih sebagaimana sebelum pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia.
Macam macam Jamu tradisional buatan Binti Masruroh (Foto: Sholeh/TIMES Indonesia)
"Awal Pandemi sangat menurun karena banyak gang jalan tutup akibat PSBB, malah saya sempat tidak jualan," kisahnya mengawali perbincangan dengan TIMES Indonesia, Rabu (17/3/2021).
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sangat berdampak pada omzet penjualan jamu tradisional buatan Binti, sapaan akrabnya. Itu karena, ia menjajakan jamu dengan sebuah sepeda motor keliling satu kampung ke kampung lainnya.
Penutupan gang jalan tentu membuatnya tidak leluasa berjualan keliling kampung. Apalagi pada awal pandemi mobilitas sosial sangat dibatasi.
"Pada awal PSBB kan interaksi sosial juga dibatasi. Perekonomian masyarakat juga menurun kan. Jadi jualan jamu saya juga kena imbasnya," jelas perempuan ramah itu.
Hampir setahun lebih Binti mengalami dampak pandemi Covid-19. Ia bersyukur, sekarang ia kembali banyak menerima pesanan jamu. Di samping, ia berjualan jamu keliling kampung.
Perempuan 30 tahun tersebut mengatakan, saat ini dalam sehari ia membuat jamu yang dikemas dalam 50 botol plastik berukuran 500 ml dan 35 botol plastik berukuran 1500 ml. Keduanya ia jual dengan harga Rp 6 ribu untuk botol kecil dan Rp 14 ribu untuk botol besar.
"Kalau jamu Cabe Puyang Satu botol ukuran 1500 ml saya jual Rp 20 ribu. Harganya beda dengan yang lain Karena bahan bakunya mahal. Alhamdulillah, sekarang sudah kembali seperti semula yaitu Rp 800 ribu perhari. Waktu awal pandemi hanya mendapatkan Rp 400," urai Binti.
Binti mengemukakan, usaha jamu yang ia lakoni merupakan usaha turun temurun dari almarhum neneknya. Almarhum neneknya dulu berjualan jamu di pasar Wlingi Blitar kabupaten Blitar. Kemudian diteruskan sang ibu yang juga berjualan jamu di pasar.
"Saya sempat bantu jualan di pasar cuma ga lama. Kemudian kakak saya berinisiatif untuk jualan keliling ya untuk menaikkan penjualan. Nah saya meneruskan jualan keliling karena kakak saya menikah dan tinggal di luar kota," jelasnya.
Berbagai jamu dibuat oleh perempuan yang memiliki dua anak tersebut. Mulai Beras kencur, Kunyit asam, Temulawak, Sirih kunci, Beluntas, Pahitan, Cabe Puyang, Macan kerah, Gepyokan hingga jamu campuran temulawak, jahe, kunyit, sereh, kapulaga, cengkeh atau Temujakunser.
Semua jamu yang Binti buat menggunakan pemanis asli gula Jawa dan tanpa bahan pengawet. Oleh karena itu, ia membuat jamu di hari yang sama dan harus menjual habis jamunya di hari yang sama pula.
"Tapi yang saya daftarkan BPOM masih beras kencur dan kunyit asam saja, yang lain belum. Semua jamu tradisional saya buat secara alami. Kalau pingin awet harus disimpan di kulkas mas. Insyalloh bisa bertahan sampai 15 hari," urai Binti Masruroh. (*)
Pewarta | : Muhammad Sholeh |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |