TIMES JATIM, BANYUWANGI – Siapa tak kenal dengan alat musik perkusi dari tabung-tabung bambu yang telah mendunia ini? Ya angklung namanya. Alat musik yang memiliki suara khas dan unik ini kian ditinggalkan karena dianggap kuno dan tak keren. Namun, di balik itu, terdapat sesosok renta yang masih teguh berharap hasil tangan tuanya dapat menarik pembeli untuk kembali melestarikan alat musik warisan budaya itu.
Suara angklung menciptakan ciri khas tersendiri yang tak dapat dihasilkan oleh alat musik lain. Nada yang mendayu sendu seolah menjadi pengiring ternyaman untuk berlama lama tak beranjak menikmati alunan gending yang dimainkan. Mirisnya, seiring dengan perkembangan, dunia musik pun ikut berevolusi. Genre musik kini kian bertambah seperti Hip Hop, rock, blues, hingga Electronic Dance Music (EDM).
Sutoyo, pengrajin angklung tradisional khas Banyuwangi. (FOTO: Fazar Dimas/TIMES Indonesia)
Oleh karena hal itu, angklung menjadi salah satu alat musik dengan penikmat tersegmentasi. Tak semua rela mengocek kantong demi mendapatkan satu set alat musik yang pernah dipertunjukkan dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955 ini.
Pembeli angklung, biasanya tergolong memang pecinta seni, baik untuk dimainkan maupun kolektor untuk sebatas dijadikan koleksi di plataran rumah.
Indonesia memiliki luas daerah yang tak terhingga, sehingga kebudayaannya pun beragam. Hal itu membuat alat musik tradisional seperti angklung terdapat di beberapa daerah. Dengan ciri khas yang berbeda, angklung yang berasal dari Jawa Barat itu diadopsi untuk dapat mengiringi lagu tradisional khas daerah tersebut. Contohnya saja Banyuwangi. Kabupaten yang terkenal dengan tari Gandrungnya itu memilih angklung sebagai salah satu alat musik pengiring andalan.
Sutoyo, pengrajin angklung tradision (FOTO: Fazar Dimas/TIMES Indonesia)
Salah satu pengrajin angklung di Banyuwangi yang masih bertahan hingga saat ini adalah Sutoyo. Pria renta itu menceritakan bahwa profesi sebagai pembuat angklung semata ia tekuni hingga kini bertujuan untuk menguri-uri tradisi. Mengapa begitu? Karena ia pun merasakan saat ini pendapatan dari hasil penjualan alat musik yang telah di tetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia milik Indonesia itu tak lagi banyak.
Tempat tinggal sekaligus tempatnya menjajakan barang dagangan itu berada di Jalan. Letkol Istiqlal, no.36, Singomayan, Banyuwangi. Sejak tahun 2009 ia menjadi seniman sekaligus pengrajin angklung.
"Awal saya merintis membuat angklung ini pada tahun 2009, kemudian tahun 2010 itu sudah mulai berjalan," ujar Sutoyo kepada TIMES Indonesia, Sabtu (03/09/2022).
Alasan beliau tetap teguh untuk menjadi pengrajin angklung meskipun sepi peminat semata hanya untuk melestarikan dan mengenalkan kepada generasi saat ini bahwa ada alat musik yang bernama angklung.
"Hal ini, semata-mata agar alat musik tradisional itu tidak punah. Mengingat saat ini sudah banyak alat-alat musik modern yang jenisnya beragam," katanya.
Laki-laki yang dulu sempat menjadi seniman jalanan itu memiliki motto hidup “Jangan cari hidup di seni. Tetapi, kita yang menghidupi seni”. Ya. Hal itu selaras dengan apa yang ia jalani hingga kini.
"Seni yang kita hidupkan, bukan kita yang mencari hidup melalui seni," tegasnya.
Bahan baku angklung, lanjut Sutoyo, sudah mulai susah untuk dicari. Bambu yang bagus untuk dijadikan angklung adalah bambu batik.
"Namun, bambu biasa pada umumnya juga tetap bisa digunakan," urainya.
Pria kelahiran tahun 1961 ini berpesan, supaya kesenian dan alat musik khas Banyuwangi harus tetap dihidupkan hingga anak cucu nanti yang meneruskan.
Untuk diketahui, angklung Banyuwangi memiliki nada yang berbeda dengan daerah lain. Dikenal dengan laras selendro, angklung Blambangan itu hanya bernada do re mi so la do. Karena hanya nada itu saja yang cocok.
"Bisa saja pakai nada do, re, mi, fa, so, la, si, do tapi tidak enak kalau digabung dengan musik Banyuwangi," katanya.
Hingga saat ini beliau masih terus memproduksi angklung. Harga yang dibandrol kisaran Rp450.000 untuk angklung biasa dan Rp850.000 untuk angklung ukiran. Ia juga membuat genta dan kincir angin yang di jual seharga Rp50.000 – Rp.70.000.
Tak hanya itu, Sutoyo juga melatih murid-murid SD dan ibu-ibu PKK di lingkungan Singomayan Barat untuk memainkan angklung.
Suyoto berharap, kesenian dan alat musik tradisional Banyuwangi seperti angklung Banyuwangi ini dapat tetap lestari dan lebih dikenal oleh khalayak banyak tak hanya di Indonesia namun juga di dunia. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Nguri-uri Tradisi, Pengrajin Angklung Banyuwangi Tetap Produksi Meski Sepi Pembeli
Pewarta | : Fazar Dimas Priyatna |
Editor | : Deasy Mayasari |