TIMES JATIM, JAKARTA – Hidup bahagia adalah impian semua insan. Tapi tak sedikit yang menderita karena tak mampu menggapai hal tersebut. Namun menurut Aidh al-Qarni, seorang penulis buku La Tahzan itu mengatakan, sebenarnya kebahagiaan sangat mudah didapat dan dekat dengan manusia.
Hal tersebut ia paparkan di bukunya berjudul La Tahzan yang artinya Jangan Bersedih. Diketahui, buku tersebut termasuk salah satu karya terlaris di dunia.
"Berikut ini buku La Tahzan. Semoga Anda senang membacanya dan dapat mengambil manfaat darinya. Namun sebelum membaca, telitilah dahulu buku ini dengan nalar yang sehat, logika yang jernih dan, di atas itu semua, dengan ayat-ayat Allah yang senantiasa terjaga dari kekeliruan," tulis Aidh al-Qarni, dalam sambutan buku tersebut dikutip Minggu (9/10/2022).
Ia menjelaskan, dirinya menulis buku ini untuk siapa saja yang senantiasa merasa hidup dalam bayang-bayang kegelisahan, kesedihan dan kecemasan, atau orang yang selalu sulit tidur dikarenakan beban duka dan kegundahan yang semakin berat menerpa. "Dan tentu saja, siapa di antara kita yang tidak pernah mengalami semua itu," katanya.
"Dalam buku ini saya sengaja menukil ayat-ayat Allah, bait-bait syair, pengalaman dan 'ibrah, catatan peristiwa dan hikmah, serta pelbagai perumpamaan dan kisah-kisah," jelasnya.
Dari semua itu, ia mengaku sengaja mengambil kesimpulan dari orang-orang shaleh sebagai penawar hati yang lara, penghibur jiwa tercabik, dan pelipur diri yang sedang dirundung duka cita.
"Buku ini akan mengatakan kepada Anda, 'Bergembiralah dan ber bahagialah!' atau 'Optimislah dan tenanglah!' Bahkan, mungkin pula ia akan berkata, 'Jalani hidup ini apa adanya dengan penuh ketulusan dan keriangan!" katanya.
Aidh al-Qarni, seorang penulis buku La Tahzan. (FOTO: umma)
Ia menjelaskan, buku ini berusaha meluruskan berbagai kesalahan yang terjadi akibat penyimpangan terhadap fitrah saat berinteraksi dengan sunnah-sunnah Allah, sesama manusia, benda, waktu dan tempat.
Pria asal Arab Saudi itu mengatakan, buku ini mencegah agar tidak terus-menerus melawan arus kehidupan, menentang takdir, mendebat manhaj yang telah digariskan dan mengingkari bukti-bukti. Lebih dari itu, buku ini mengajak untuk mengenal lebih dekat jiwa dan ruh agar senantiasa tenang menatap perjalanan masa depan.
"Buku ini mengajak Anda agar merasa yakin dengan semua potensi dalam diri Anda dan menyimpan semua energi positif yang ada. Buku ini menggiring Anda untuk melupakan tekanan hidup, sesaknya perjalanan usia dan beban perjalanan hidup," jelasnya.
Kata dia, ada beberapa hal penting dari buku ini yang perlu diingatkan oleh pembaca. Pertama, buku ini ditulis untuk mendatangkan kebahagiaan, ke tenangan, kedamaian, kelapangan hati, membuka pintu optimisme dan me nyingkirkan segala kesulitan demi meraih masa depan yang lebih indah.
"Buku ini merupakan pengetuk hati agar selalu ingat akan rahmat dan ampunan Allah, bertawakal dan berbaik sangka kepada-Nya, mengimani qadha dan qadar-Nya, menjalani hidup sesuai apa adanya, melepaskan ke gundahan tentang masa depan, dan mengingat nikmat Allah," katanya.
Kedua, buku ini mencoba memberikan resep-resep bagaimana meng usir rasa duka, cemas, sedih, tertekan, dan putus asa.
"Ketiga, saya berusaha menyertakan dalil-dalil dari al-Qur'an dan hadits yang sesuai dengan tema setiap bahasan. Selain itu, tak jarang saya nukilkan pula pelbagai permisalan yang bagus, kisah yang penuh 'ibrah dan mengandung pelajaran berharga, serta bait-bait syair yang memiliki kekuatan. Dalam banyak tempat, para pembaca juga akan menjumpai kutipan-kutipan dari perkataan para bijak bestari, dokter dan sastrawan. Demikianlah, semua hal yang ada dalam buku ini hanya ingin mengajak Anda untuk senantiasa berbahagia," jelasnya.
Keempat, lanjut dia, buku ini bersifat umum, alias untuk siapa saja. Singkatnya, untuk kaum muslim maupun non-muslim. Pasalnya, pembicaraan dalam buku ini secara umum adalah berkaitan watak dan sifat naluriah dan per soalan-persoalan umum kejiwaan manusia. "Namun begitu, buku ini tetap menempatkan Manhaj Rabbani sebagai penyuluh. Karena memang manhaj itulah yang menjadi agama fitrah kita," ucapnya.
Kelima, dalam buku ini pembaca tidak akan hanya menjumpai kutipan kutipan pernyataan dari orang-orang Timur, tetapi juga dari orang Barat. "Namun demikian, saya berharap tidak ada tudingan negatif terhadap diri saya berkaitan dengan hal ini. Karena, bagaimanapun saya yakin bahwa hikmah itu adalah laksana barang yang hilang dari kaum muslim. Artinya, maka di mana pun barang itu ada masih berhak kita ambil kembali," jelasnya.
Keenam, kata dia, dia sengaja tidak menggunakan catatan kaki dalam buku ini. Ini tak lebih hanya untuk meringankan dan memudahkan pembaca.
Karena, kata dia, dengan begitu paling tidak buku ini akan menjadi bacaan yang berkesinambungan dan memberikan pemahaman yang tidak terpotong potong. Dan untuk itu, setiap referensi dari masing-masing kutipan selalu dirinya sebut langsung dalam setiap paragraph yang menyebutnya.
"Ketujuh, dalam mengutip, saya tidak mencatat nomor halaman dan volume sumbernya. Mengapa? Karena hal seperti itu sudah lazim dilakukan oleh orang-orang sebelum saya, dan saya mengikuti mereka. Saya kira ini lebih bermanfaat dan lebih memudahkan. Kadang kala saya menuliskan nya sesuai dengan teks yang ada di dalam buku sumbernya, dan kadang kala ada sedikit penyuntingan atau penyesuaian dengan pemahaman saya terhadap buku ataupun artikel yang pernah saya baca," katanya.
Kedelapan, lanjut dia, dirinya tidak menyusun buku dalam sistematika bab-bab dan pasal-pasal yang banyak. Yang dia lakukan adalah menulis dengan gaya yang sangat variatif.
"Adakalanya saya membeberkan beberapa permasalahan dalam beberapa paragraf, kemudian saya berpindah dari satu permasalahan ke permasalahan lain, dan kembali lagi pada bahasan yang sama setelah beberapa halaman pembahasan yang berbeda. Ini saya tujukan agar lebih sedap dibaca, lebih enak dan tidak membosankan," katanya lagi.
Kesembilan, Aidh al-Qarni tidak memberi nomor surat dan ayat serta tidak pernah menyebutkan perawi hadits. Meski demikian, bila hadits yang sebutkan itu lemah, maka ia selalu mengingatkannya.
"Adapun bila hadits itu shahih, maka saya hanya akan menyebutnya hadits shahih dan kadangkala tak memberi catatan apapun.. Semua ini saya lakukan agar tulisan ini ringkas, terhindar dari banyaknya pengulangan, penjelasan yang bertele-tele, dan tidak menjemukan. "Orang yang berpura-pura puas dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang memakai dua pakaian palsu."
Kesepuluh, mungkin pembaca melihat ada beberapa pengulangan pada sejumlah materi. Meski demikian, kata dia, dirinya selalu berusaha mengemasnya dalam metode dan struktur pembahasan yang berbeda. Ini memang sengaja ia lakukan untuk semakin menguatkan pemahaman kita dengan cara menyajikannya lebih sering.
"Inilah sepuluh hal yang perlu saya sampaikan kepada pembaca terlebih dahulu. Saya berharap buku ini akan membawa kabar yang benar dan jujur, adil dalam memberi penilaian, obyektif dalam ungkapan, meyakinkan dalam materi-materi pengetahuan, lurus dalam sudut pandangan dan argumentasi, dan menjadi cahaya dalam hati," ujar Aidh al-Qarni, penulis buku La Tahzan. (*)
Pewarta | : Moh Ramli |
Editor | : Deasy Mayasari |