TIMES JATIM, MALANG – Indonesia masih menghadapi kekurangan tenaga dokter spesialis jantung. Saat ini, jumlah dokter jantung yang aktif di seluruh Indonesia baru 1.963 orang, padahal kebutuhan ideal mencapai 3.000 dokter. Hal ini diungkapkan oleh Presiden Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), dr. Ade Meidian Ambari, SpJP (K), dalam gelaran 24th Malang Cardiovascular Update (MCVU) 2025 di Malang.
Menurut dr. Ade, rasio ideal dokter spesialis jantung adalah 1 dokter untuk setiap 100 ribu penduduk. Dengan populasi Indonesia yang mendekati 300 juta jiwa, jumlah dokter jantung saat ini masih jauh dari target.
“Saat ini jumlah dokter jantung yang aktif 1.963 orang. Padahal kalau target kita 1 banding 100 ribu penduduk, kita butuh sekitar 3 ribu dokter jantung,” ujarnya.
dr. Ade menjelaskan, setiap tahun Indonesia hanya mampu mencetak 130–150 dokter jantung baru. Proses pendidikan spesialis jantung juga memerlukan waktu yang panjang dan kompleks karena berbasis praktik langsung, bukan sekadar teori.
“Pendidikan spesialis berbeda dengan S2 atau S3. Seorang calon dokter jantung harus menangani jumlah kasus tertentu, misalnya 150 prosedur echocardiography untuk dewasa. Untuk memenuhi target itu, mereka harus banyak praktik, bahkan sering menambah jadwal jaga,” jelasnya.
Saat ini, Indonesia memiliki 13 pusat pendidikan spesialis jantung dan sedang mempersiapkan pembukaan pusat ke-14. Selain itu, sistem hospital-based training juga tengah dikembangkan untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan dokter jantung.
Isu Bullying Tak Pengaruhi Minat Pendidikan Spesialis Jantung
Menanggapi isu bullying yang sempat viral di pendidikan dokter spesialis, dr. Ade menegaskan bahwa hal tersebut merupakan tindakan oknum, bukan budaya di seluruh sistem pendidikan.
“Kasus bullying itu dilakukan oknum. Tidak bisa digeneralisasi ke semua pendidikan spesialis. Sebagian besar pendidikan dilakukan dengan menanamkan etika, ilmu, dan tata laksana pasien,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa proses pendidikan yang panjang dan berat tidak boleh diartikan sebagai perundungan, melainkan bagian dari tuntutan profesionalisme.
“Kita tetap mengajarkan etika, bagaimana menghadapi pasien, dan tata laksana yang baik. Pendidikan spesialis itu berbeda dengan akademik biasa karena berbasis kompetensi klinis,” tambahnya.
PERKI bersama Kementerian Kesehatan terus berupaya meningkatkan jumlah dokter spesialis jantung melalui penambahan pusat pendidikan, program beasiswa, dan integrasi layanan kardiovaskular di berbagai daerah.
“Kita membutuhkan lebih banyak dokter jantung agar pelayanan merata. Harapannya ke depan semua daerah bisa punya akses layanan kardiovaskular sesuai standar,” pungkas dr. Ade. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Imadudin Muhammad |