TIMES JATIM, SURABAYA – Konflik internal di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memasuki babak penting setelah Forum Sesepuh NU di Pondok Pesantren Al Falah Ploso, Kediri, pada 29 November 2025, mengeluarkan seruan moral untuk islah atau rekonsiliasi.
Seruan tersebut dinilai sebagai sebuah panggilan mulia para kiai sepuh untuk meredakan ketegangan pascakeputusan Syuriyah PBNU yang bersifat final dan mengikat.
Menanggapi dinamika tersebut, tokoh NU dan Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia di Cirebon, KH Imam Jazuli, Lc., MA, memberikan pandangan komprehensif terkait posisi seruan moral para sesepuh dan mekanisme formal organisasi.
Menurutnya, langkah para kiai sepuh ini sangat penting dalam menjaga marwah dan harmoni jam’iyah, namun tetap harus dikaitkan dengan koridor konstitusi organisasi sebagaimana diatur dalam AD/ART NU.
KH Imam Jazuli menjelaskan, bahwa seruan islah dari para sesepuh memiliki kekuatan moral besar dalam tradisi Nahdliyin, di mana nasihat para kiai sepuh adalah suluh yang menjaga persatuan umat.
“Seruan itu adalah panggilan untuk kembali ke khittah NU, menjaga persatuan, serta menghindari perpecahan yang berpotensi muncul di ruang publik,” ujarnya, Senin (1/12/2025).
Ia menegaskan, bahwa pesan islah tersebut bersifat etis dan ukhuwah, mengingatkan para pihak agar mengedepankan kemaslahatan jam’iyah di atas ego personal maupun kelompok. Dengan sikap legowo, para pihak diharapkan menurunkan tensi konflik demi kepentingan bersama.
Namun, KH Imam Jazuli mengingatkan, bahwa seruan moral tidak berada pada ranah tanzhim (hukum organisasi), sehingga tidak dapat menggantikan mekanisme formal yang telah disepakati dalam konstitusi organisasi.
Dalam analisisnya, KH Imam Jazuli menekankan bahwa keputusan Syuriyah PBNU memiliki kedudukan tertinggi dalam struktur organisasi.
“Peraturan Perkumpulan NU secara tegas menempatkan keputusan keagamaan pada Syuriyah. Keputusan yang dihasilkan melalui rapat sah bersifat mengikat seluruh jajaran organisasi,” tegasnya.
Ia mengingatkan, bahwa mengabaikan keputusan Syuriyah tidak hanya berpotensi mencederai tatanan organisasi, tetapi juga menciptakan preseden buruk yang dapat menggangu soliditas jam’iyah.
“Keamanan struktural organisasi hanya dapat dijaga melalui kepatuhan terhadap AD/ART,” lanjutnya.
Islah Konstitusional Lewat Muktamar Luar Biasa
Untuk mengharmonikan seruan moral dengan keputusan konstitusional, KH Imam Jazuli menawarkan solusi melalui jalur yang diatur AD/ART, yaitu Muktamar Percepatan atau Muktamar Luar Biasa (MLB).
“Islah tidak boleh membatalkan keputusan Syuriyah secara sepihak. Ia perlu diinternalisasi melalui mekanisme konstitusional dan itu dilakukan melalui Muktamar Luar Biasa,” jelasnya.
Bila kekisruhan ini belum segera mereda, kata dia, maka MLB sebagai opsi akhir kedua pihak yang bersengketa agar dapat menyampaikan pandangannya dalam forum yang sah, mengevaluasi keputusan Syuriyah-Tanfidziyah PBNU secara kolektif-kolegial, dan menghasilkan keputusan final yang memiliki legal standing kuat.
"Dengan demikian, seruan moral para sesepuh terpenuhi tanpa mengabaikan supremasi konstitusional organisasi,” tambahnya.
Integrasi Jalan Moral dan Jalan Formal sebagai Solusi Ideal
KH Imam Jazuli menutup pandangannya dengan menegaskan, bahwa solusi terbaik bukanlah memilih salah satu antara seruan moral atau keputusan Syuriyah, tetapi mengintegrasikan keduanya.
“Islah adalah seruan luhur untuk meredakan konflik, sementara AD/ART menjaga ketertiban organisasi. Muktamar Luar Biasa adalah jalan kearifan yang menggabungkan keduanya,” ujarnya.
Menurutnya, langkah tersebut akan menjaga marwah para sesepuh, menghormati otoritas Syuriyah, serta memastikan keutuhan organisasi dari sisi struktural maupun ukhuwah.
“Dengan jalur itu, NU akan kembali utuh secara tanzhim maupun persaudaraan,” ucapnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Jalan Tengah Antara Seruan Moral dan Keputusan Konstitusional PBNU
| Pewarta | : Lely Yuana |
| Editor | : Deasy Mayasari |