TIMES JATIM, GRESIK – Pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Desa Randuboto, Kecamatan Sidayu, Gresik, Jawa Timur dilirik sebagai studi banding dari 4 desa di Pulau Bawean yakni Desa Pudakit Barat, Desa Gunungteguh, Desa Kumalasa dan Sidogedungbatu.
Mereka mengunjungi Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, dan Recycle (TPS3R) Desa Randuboto. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini menjadi contoh. Rombongan heran TPS3R tak tercium bau dari sampah.
Kepala Desa Randuboto Andhi Sulandra mengatakan, pihaknya memberdayakan warga dalam pengelolaan sampah. “Kami ada 4 petugas pengambilan sampah yang berkeliling ke rumah-rumah warga dan dibawa ke TPS3R. Selanjutnya ada 10 orang yang bertugas memilah sampah,” katanya, Rabu (7/5/2025).
Meski penanganan sampah tak mudah, lanjut Andhi, namun pihaknya terus berkomitmen dalam mengatasi persoalan sampah. Salah satunya dengan membangun TPS3R. “Awalnya gak ada yang mau menjadi petugas pemilah sampah karena bau,” kenangnya.
Setelah ditelusuri ternyata sumber bau tersebut berasal dari sampah sisa-sisa makanan yang dibuang. Kemudian terpikirkan untuk mengatasi sampah sejak dari rumah.
“Waktu itu saya mulai sendiri di rumah dengan membuat lubang biopori organik dari timba bekas untuk membuang sisa-sisa makanan. Alhamdulillah berhasil terurai di tanah,” ungkapnya.
Kesuksesan ini yang kemudian oleh Andhi diterapkan perangkat desa, BPD hingga warga. Mereka membuat biopori organik di rumah masing-masing.
“Awalnya banyak yang sambat karena timbul bau dan keluar belatung. Namun kini mereka sudah terbiasa,” ujarnya.
Tak sampai disitu, agar warga taat, maka Pemerintah Desa Randuboto membuat peraturan desa (Perdes) berisikan tentang kewajiban setiap warga yang mau mengurus berkas atau surat harus membuat 2 biopori organik dan menanam pohon dengan dibuktikan mendapatkan keterangan dari RT/RW.
“Dari tahun 2024 hingga kini total sudah ada 1000 lebih biopori organik yang ada di Desa Randuboto,” terangnya.
Berkat penanganan sampah organik sejak dari rumah inilah akhirnya bisa mengatasi persoalan bau di TPS3R.
“Sekarang di TPS3R Randuboto sudah tidak bau lagi. Kami juga buat kompos organik untuk tanaman. Sementara sampah kering dipilah. Ada yang bisa dijual seperti botol minuman, kardus dan besi. Sedangkan untuk plastik dan kresek di bakar di alat khusus,” tegasnya.
Berbagai inovasi juga dilakukan Kelompok Pemelihara dan Pemanfaat (KPP) TPS3R Randuboto. Termasuk pembuatan kompor berbahan bakar oli bekas dan minyak jelantah.
“Untuk kompor berbahan bakar minyak jelantah ini sudah kami produksi dan jual ke warga seharga Rp225 ribu. Semua kami lakukan demi bisa memanfaatkan limbah sisa penggorengan sekaligus sebagai antisipasi kelangkaan gas elpiji,” ucap Andhi.
“Yang terpenting dalam mengolah sampah itu jangan memikirkan untung dulu. Tetapi bagaimana sampah bisa teratasi,” pesannya.
Sementara, Kepala Desa Pudakit Barat Tobron mengaku berterima kasih kepada Pemdes Randuboto yang sudah berbagi ilmu dalam mengelola sampah.
“Kaget tadi sampai sini (TPS3R Randuboto) tidak bau,” bebernya.
Dia menyampaikan banyak hal penting yang didapati selama berkunjung ke TPS3R. Termasuk sistem yang dijalankan sehingga orang betah saat berkunjung.
“Bagi kami yang menarik diterapkan adalah biopori organik di rumah-rumah warga. Soalnya tempat pemilahan sampah yang tidak bau sangat penting. Karena kalau bau orang tidak akan betah memilah,” kata Tobron bersemangat.
Senada, Kades Kumalasa Idham Kholik menyebut pihaknya sudah studi banding ke banyak tempat. Namun baru ditempat Desa Randuboto yang bagus untuk diterapkan di wilayahnya.
“Pembuatan Perdes soal kewajiban membuat biopori organik di setiap rumah warga akan kami bahas. Mudah-mudahan bisa diterapkan,” harapnya. (*)
Pewarta | : Akmalul Azmi |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |