TIMES JATIM, MALANG – Kementerian Kebudayaan berkolaborasi dengan Universitas Brawijaya (UB) menggelar diskusi publik bertajuk “Dapur Urban: Antara Tradisi dan Inovasi” di Kampung Ketawanggede Malang, Kamis (6/11/2025). Kegiatan itu masuk dalam rangkaian acara Nguri-nguri Budoyo Pawon Kampung Ketawanggede yang dilaksana selama 2 hari.
Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber, yakni Titis Sari Kusuma, dosen Departemen Ilmu Gizi UB, dan Trie Utami, musisi sekaligus pelaku budaya yang dikenal dengan pemikirannya tentang harmoni antara tradisi dan kehidupan modern.

Diskusi publik tersebut mengajak masyarakat untuk menengok kembali peran pawon, dapur tradisional Jawa, sebagai ruang kebersamaan, simbol keseimbangan hidup, sekaligus sumber inspirasi bagi pembangunan budaya pangan yang berkelanjutan.
Dalam pemaparannya, Trie Utami menegaskan bahwa pawon bukan sekadar tempat memasak, melainkan ruang kehidupan yang sarat makna sosial dan spiritual.
“Di dalam pawon ada api yang melambangkan semangat, ada ibu yang menjaga keseimbangan keluarga, dan ada aroma masakan yang menjadi perekat antaranggota keluarga,” ujarnya.

Penampilan tari Bapang yang dibawakan oleh para siswi SD Ketawanggede dalam rangkaian acara Nguri-nguri Budoyo Pawon Kampung Ketawanggede.
Trie mengenang masa kecilnya ketika pawon menjadi tempat penuh tawa dan cerita. “Zaman dulu, pawon itu besar. Ada tempat untuk masak, amben untuk duduk, dan meja panjang tempat keluarga berkumpul. Di sana kita bisa bercerita dan tertawa bersama tanpa gangguan teknologi,” kenangnya.
Namun, seiring waktu, makna itu kian memudar. Dapur kini lebih sering menjadi sudut kecil yang rapi, dingin, dan nyaris tanpa interaksi.
“Sekarang dapur hanya jadi pelengkap. Orang masak sekadarnya, tanpa ada interaksi hangat seperti dulu,” ujarnya lagi dengan nada prihatin.
Trie Utami juga menyinggung persoalan stunting yang menurutnya tidak semata disebabkan oleh faktor ekonomi, melainkan karena pola konsumsi yang keliru. “Stunting itu berangkat bukan dari ekonomi, tapi dari kesalahan kita memilih makanan. Konsepnya masih, yang penting kenyang dulu,” katanya.
Dia menambahkan, kebiasaan tersebut sering terbawa hingga dewasa, membuat banyak orang baru sadar pentingnya gizi setelah terlambat. Karena itu, ia mendorong masyarakat untuk kembali mengenali pangan lokal yang kaya nilai gizi dan budaya.
“Kalau kita kembali melihat produk budaya warisan nenek moyang, di situlah kita menemukan harta karun: ratusan resep, ratusan jenis sambal, tidak hanya digoreng atau ditumis,” ungkapnya.
Selain itu, Trie menekankan pentingnya aktivitas fisik sederhana, seperti berjalan kaki setiap hari, sebagai bagian dari gaya hidup sehat yang dapat dilakukan siapa pun.
Trie Utami mengajak masyarakat, terutama para ibu, untuk tidak hanya mengagumi resep dari bangsa lain, tetapi kembali mempopulerkan resep dan bahan pangan lokal Indonesia.
“Padahal kita punya produk lokal yang luar biasa banyak. Bangsa ini kaya bahan alam, sumbernya ada di mana-mana, dan variasinya sangat banyak. Maka resep yang muncul pun sangat beragam,” katanya.
Menurutnya, kebanggaan terhadap kuliner lokal bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal kedaulatan pangan dan identitas budaya. “Kalau kita kembali ke dapur, kita menemukan jati diri bangsa. Dari sanalah kekuatan sosial itu lahir,” tambahnya.
Lebih jauh, Trie menegaskan bahwa dapur adalah ruang lahirnya keberdayaan perempuan dan sumber perubahan sosial. “Kekuatan-kekuatan sosial akan muncul. Bermula dari mana? Dari dapur. Siapa pelakunya? Hidup para ibu-ibu mafia dapur,” ucapnya.
“Keberdayaan ibu-ibu dari dapur, kalau kita merevolusi pikiran kita tentang dapur, maka kedaulatan pangan dunia bisa terwujud dari mana pun. Bisa saja dari Ketawanggede muncul kedaulatan pangan,” ucapnya. (*)
| Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |