TIMES JATIM, MOJOKERTO – Siapa yang tak kenal dawet ayu? Sajian khas asal Bojonegoro ini rasanya tak lekang oleh usia. Bahkan di Taman Ganjaran, Desa Ketapanrame, Kabupaten Mojokerto. Lapak-lapak yang menyajikan aneka kuliner kekinian mulai dari Boba, Kopi Machiato, Es Kepal, cappucino, dan aneka olahan minuman modern lain dawet ayu ini masih bertahan dengan peminatnya.

Ibu Seni (47) satu-satunya warga Ketapanrame yang memilih bertahan dengan menu andalan dawet ayu ini.

Kuali, serok, mangkuk, sendok, sampai telenan semuanya menggunakan bahan dasar tanah liat.

"Ini untuk menjaga kualitas rasa baik dari santan, gula jawa, dan dawetnya juga," terang Seni kepada TIMES Indonesia, Minggu (13/6/2021).

Mendapat fasilitas dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Ketapanrame, Seni mengaku cukup terbantu.

Selain suasana yang disediakan cukup ramah terhadap keluarga dan kalangan milenial, juga mudah dan terjangkau.

Dimana setiap lapak difasilitasi dengan Watt Meter sendiri-sendiri.

"Sewa tempatnya Rp 200 ribu per bulannya. Kalau soal listrik bayar sendiri-sendiri. Per kenaikan angka puluhan di pengukur wattnya (Watt meter red) bayar Rp 2 ribu," jelas Seni.

Sekali produksi Seni mengaku hampir menyiapkan hampir 150 - 200 porsi mangkuk dawet ayu.

Untuk membuat 100 porsi saja Seni kira-kira menghabiskan 4 kg gula aren, 10 liter air santan.

"Tidak tentu Kak, kalau Minggu bahkan bisa 200 lebih," jelasnya.

Dawet ayu ini dapat dirogoh dengan harga yang ekonomis dan terjangkau.

Cukup merogoh kocek Rp 5 ribu Anda bisa menikmati dawet ayu ini di tempat maupun di bawa pulang. "Satu porsinya Rp 5 ribu, bisa di bawa pulang," pungkas Seni. (*)