Kopi TIMES

Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak Sekolah

Senin, 01 Agustus 2022 - 15:37
Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak Sekolah Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.

TIMES JATIM, SURABAYA – Kejahatan seksual menunjukkan angka kasus yang meningkat secara signifikan hingga saat ini. Kejahatan seksual terjadi di banyak setting, bahkan akhir-akhir ini banyak terjadi di lingkungan sekolah, yang kita ketahui sebagai tempat individu menuntut ilmu dan menjadi pribadi yang lebih baik. Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual pada anak sekolah, sehingga mendorong  pentingnya implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar kasus-kasus ini mendapatkan payung hukum yang jelas dan keberpihakan pada korban anak.

Banyaknya data dan bukti di lapangan, terutama pada lingkup pendidikan, seharusnya  menjadi motivasi tersendiri bahwa sudah waktunya sekolah memiliki SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Anak-anak harus mendapatkan perlindungan agar aman dari segala bentuk praktik kekerasan seksual di sekolah. Mengapa hal tersebut penting diwujudkan?  

Anak-anak korban kekerasan seksual  rentan mengalami kondisi psikologis yang kurang menguntungkan. Korban bisa jatuh dalam kondisi depresi, trauma, cemas dan ketakutan yang amat sangat sehingga mendorong keinginan bunuh diri, memiliki konsep diri yang negatif, hancur harga dirinya, menyalahkan diri sendiri dan berdampak negatif juga bagi kehidupan akademisnya. Lebih jauh, Secara sosial korban anak-anak yang lebih besar/remaja juga berisiko menerima stigma negatif dan victim blaming dari masyarakat. 

Mengapa seorang guru, yang merupakan pendidik, tega melakukan kejahatan seksual pada anak didiknya? Banyak faktor yang mendorong individu melakukan kekerasan seksual, salah satunya adalah kepribadian anti sosial pelaku; pengaruh lingkungan karena bergabung dalam kelompok yang membenarkan kekerasan; penggunaan alkohol dan obat terlarang; karena pelaku sering menerima kekerasan sejak kecil dari orangtuanya, sehingga mampu melakukan kekerasan di masa mendatang; pelaku merupakan anak dari orangtua yang tidak harmonis; pelaku adalah korban kekerasan dari pasangan; pelaku sering berganti pasangan atau hubungan tidak harmonis bersama pasangan; dan pelaku memiliki cara pandang yang salah dan kurang sensitif gender.

Faktor lingkunganpun tidak selalu menjadi faktor pendukung, namun juga penghambat misalnya dampak negatif dari kultur patriarki, ketidaksetaraan gender, komunitas yang lemah menerapkan sanksi, atau aturan dan kebijakan yang tidak pro terhadap kasus kekerasan, dan relasi kuasa yang tidak sehat dapat terjadi di lingkungan pendidikan.

Korban kekerasan seksual anak sekolah, tidak banyak yang mampu bersuara. Sekolah, secara struktural menempatkan anak-anak murid pada posisi subordinate, sehingga rentan mengalami dampak negatif dari relasi kuasa yang membuat anak-anak mudah menjadi korban. Keputusan korban anak untuk diam dan tidak melapor lebih banyak didorong oleh rasa takut, ketidak berdayaan, dan ketidaktahuan bagaimana menindaklanjuti pengalaman kekerasan seksual tersebut.

Lingkungan seringkali juga tidak berpihak pada korban. Tindakan kekerasan seksual  seringkali dilanggengkan oleh anggapan lingkungan bahwa tindakan tersebut ‘wajar’ atau ‘biasa saja’. Padahal jika anak mau melapor, maka bukti-bukti adanya tindakan kekerasan seksual yang diterima akan mudah teridentifikasi. Guru harus peka terhadap tanda-tanda tidak biasa dari anak didiknya, dan memberikan perlindungan yang membuat anak nyaman untuk menyampaikan apa yang dialaminya.

Mengungkapkan pengalaman kekerasan seksual tidaklah mudah. Anak-anak bahkan belum memahami bahwa mereka menjadi obyek seksual orang dewasa. Disinilah peran orangtua menjadi penting. Orangtua harus menjelaskan bahwa kekerasan seksual di sekolah dapat anak-anak alami dalam bentuk tindakan sentuhan atau ciuman; lontaran komentar atau lelucon yang bersifat seksual; melihat tampilan atau menerima kiriman gambar porno, email, teks atau pesan lain dengan konten seksual; ajakan bertemu di luar sekolah; dan menerima pertanyaan atau komentar tentang aktivitas seksual seseorang.

Orang tua boleh mengajarkan  anak untuk melapor kepada orangtua atau guru yang mereka percaya jika mengalami kondisi-kondisi tersebut. Adapun pihak sekolah sudah harus memiliki kebijakan tertulis sebagai sebuah SOP yang berisi tentang batasan kekerasan seksual di lingkup sekolah; aturan dan solusi jika kejadian tersebut dialami oleh siswa mereka; batasan perilaku pelecehan di sekolah; penegasan tentang siapa saja yang dapat menjadi korban dan pelaku; pernyataan kepada siswa bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan illegal dan tidak dapat ditoleransi; dan pernyataan yang akan membantu anak-anak memahami apa yang harus dilakukan jika mereka mengalami kekerasan seksual di sekolah. Jika sekolah anak tidak memiliki kebijakan tersebut, sebagai orangtua kita sebaiknya mendorong agar pihak sekolah menyusunnya. Kita dapat menawarkan untuk mengumpulkan sekelompok orang tua, guru, dan siswa untuk membentuk kebijakan tersebut.

Setelah disusun, sekolah perlu membuat komitmen untuk mengedukasi siswa dan guru tentang kebijakan tersebut untuk memastikan kebijakan tersebut ditegakkan. Dengan demikian, peran orangtua dan sekolah terintegrasi dengan baik, untuk memberikan rasa aman pada anak-anak selama di sekolah dan juga menjadi warning bagi pelaku yang awalnya berpikir dapat menjadikan anak-anak sebagai sasaran seksualitas mereka.

***

*) Oleh: Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.