Kopi TIMES

Makna Sosial Kerbau Belang dalam Ritual Kematian Masyarakat Tana Toraja

Selasa, 14 Juni 2022 - 11:55
Makna Sosial Kerbau Belang dalam Ritual Kematian Masyarakat Tana Toraja Ferdy Kusno, Mahasiswa Program Studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Setiap suku bangsa di dunia memiliki tradisi ritual pemakaman yang berbeda-beda. Masyarakat Tana Toraja dalam kehidupan sehari-hari terikat dengan sistem adat yang berlaku, sehingga berdampak pada keberadaan ritual adat sebagai ritual adat. Ritual adat dihadirkan mulai dari prosesi kelahiran hingga kematian. Salah satu ritual yang dijadikan pedoman hidup masyarakat Tana Toraja adalah ritual dalam prosesi kematian. Ritual adat dalam prosesi kematian masyarakat adat Tana Toraja merupakan sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan. 

Rasa penasaran akan bagaimana masyarakat Tana Toraja memaknai akan ritual kemamatian tersebut membuat Ferdy Kusno, salah satu mahasiswa Program Studi Doktor Sosiologi ini meneliti akan ritual tersebut. Penelitian yang berusaha mengungkap pemaknaan ritual tersebut rencananya akan dipertahankan pada ujian siding terbuka rabu, 15 Juni 2022.

Ritual rambu solo merupakan ritual kompleks yang melibatkan penguburan rumit. Kompleksitas ini mencerminkan filosofi hidup orang Toraja dan pandangan mereka tentang kematian, almarhum dan akhirat. Pada awalnya rambu solo dikaitkan dengan kepercayaan tradisional yang berkaitan dengan AlukToDolo. Masyarakat Tana Toraja telah lama melakukan ritual kematian yang sangat unik, yang disebut rambu solo. Rambu solo merupakan ritual pemakaman sebagai perwujudan falsafah hidup dan peribadatan masyarakat Tana Toraja, selain sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orang tua yang telah meninggal dunia atas jasa-jasanya selama hidup. Masyarakat Toraja yang tinggal di daerah pegunungan masih mempertahankan tradisi dan budaya yang diwarisi dari nenek moyang secara turun temurun. Meski telah melalui proses dan asimilasi budaya, kini banyak agama Protestan, Katolik dan Islam, namun ritual dengan kepercayaan lama (AlukToDolo) masyarakat  Tana Toraja.

Ferdy mengungkapkan bahwa ritual rambu solo didasari pada kepercayaan yang sangat kuat dari Aluk To Dolo. Dasar kepercayaan bahwa arwah seseorang yang telah meninggal akan menuju alam keabadian. Kehidupan baru akan dimulai, sehingga sesuatu yang dipersembahkan baik berupa pakaian, tedong (kerbau) dan babi yang disembelih menjadi bekal kehidupan baru setelah kematian. Anggota keluarga yang telah meninggal tidak dinyatakan meninggal sebelum ritual tanda solo dilakukan.

“Tubuh dianggap sebagai individu yang sakit, sehingga tetap harus diperlakukan seperti individu yang hidup dan membutuhkan perawatan. Jenazah ditempatkan di rumah adat Tongkonan yang biasanya dibangun oleh keluarga di depan rumah tempat mereka tinggal” ujar mahasiswa asal Sulawesi Selatan tersebut.

Ritual rambu solo sebenarnya merupakan ritual yang dimaknai sebagai penghormatan terakhir kepada orang yang dicintai yang telah meninggal, juga tidak terlepas dari makna simbol-simbol dalam proses dan tahapan pelaksanaan upacara rambu solo. Simbol ini dapat berupa doa yang diucapkan oleh To Minaa yang berarti ibadah, penyembahan, dan permohonan. Lambang lainnya juga dapat berupa perlengkapan upacara yang berarti sesajen kepada leluhur dan merupakan penghormatan terakhir kepada almarhum dari seluruh keluarga, kerabat dan kepada ma'rapu (masyarakat keluarga besar).

Selain itu Ferdy juga menemukan bahwa masyarakat Tana Toraja memiliki kepercayaan bahwa ritual rambu solo dapat menyempurnakan kematian. Orang- orang memiliki firasat bahwa seseorang yang telah meninggal dan belum melakukan ritual rambu solo, diyakini orang tersebut tidak mati. Bagi merka orang yang sudah meninggal diperlakukan sebagai orang sakit. Keluarga percaya bahwa kerabat mereka masih hidup, karena orang-orang diistirahatkan di tempat tidur, ditawari makanan dan minuman, dan diminta untuk bercerita dan bercanda seperti biasa, seperti kebiasaan orang itu selama hidup.

Ritual tanda solo sendiri yang bagi masyarakat Toraja merupakan budaya yang memiliki nilai paling tinggi dibandingkan dengan unsur budaya lainnya. Bagi orang Toraja, berbicara tentang pemakaman bukan hanya tentang ritual, status sosial, jumlah tedong (kerbau belang) yang dipotong, tetapi lebih pada harga diri, rasa malu (siri'). 

Rambu solo sendiri adalah "Gerbang" bagi mayat untuk memasuki dunia baru. Banyaknya tedong dan babi yang dikorbankan menambah derajat badan saat puya. Ritual ini dimaknai masyarakat Tana Toraja merupakan bentuk cinta dan bakti kepada orang tua serta mempererat tali silaturrahmi keluarga.

Makna lain dari tedong bonga (kerbau belang) sebagai simbol adat yang disakralkan dan dibentuk berdasarkan makna yang dimiliki manusia serta kesepakatan bersama melalui interaksionisme simbolik, dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisi, agama, prestise dan ekonomi. Makna ritual kematian yang penuh arti (meaningful) membuat manusia yang memahami bahwa dalam pengorbanan yang besar kepada leluhur dan Sang Pencipta membawa kedamaian dan ketentraman. Sehingga manusia yang memahami makna ritual kematian yang penuh arti akan berlomba-lomba melakukanya. Namun, simbol-simbol adat yang disakralkan diterapkan seuai dengan kesepakatan bersama, bahwa simbol yang digunakan dalam ritual kematian yang penuh arti tidak mendobrak tatanan adat. Semakin banyak tedong bonga yang dikorbankan menentukan status sosial seseorang. 

Pada tulisan disertasinya Ferdy menyimpulkan bahwa Simbol tedong bonga yang awalnya sebagai kendaraan menuju nirwana untuk memuli kehidupan baru dan berkumpul dengan roh para leluhur. Sejalan dengan interpretasi manusia yang dipengaruhi oleh perubahan keyakinan yang dimilikinya, tedong bonga sebagai simbol tertinggi dalam ritual kematian dipersembahkan sebagai wujud kasih sayang terhadap orang tua atau keluarga yang meninggal. 

Dirinya juga memberikan saran kepada Dinas pariwisata bersama pemuka adat di Tana Toraja mensosialisasikan bahwa dalam ritual Rambu Solo keberadaan kasta tetap harus dipertahankan. Meskipun masyarakat yang tergolong makmur, tapi berasal dari kasta yang bukan bangsawan tidak mendobrak ketentuan adat.

Tak hanya itu saja, diharapkan bagi peneliti selanjutnya agar dapat meneliti tentang pengaruh pergeseran makna Tedong Bonga dalam ritual Rambu Solo dikarenakan perpindahan kepercayaan masyarakat Tana Toraja yaitu kepercayaan Aluk Todolo ke agama Kristen.

***

*) Oleh: Ferdy Kusno, Mahasiswa Program Studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

________
**)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Irfan Anshori
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.