TIMES JATIM, MALANG – Membicarakan cita-cita adalah antitesis pertama yang dimunculkan seseorang terhadap segala kemungkinan buruk tentang hidup. Walaupun sebenarnya, cita-cita awalnya hanya bahasa yang seolah menjadi bentuk kebahagiaan berangan-angan. Cita-cita akhirnya mengandung pengertian bahwa ada situasi dan posisi yang perlu dimiliki untuk mengentaskan persoalan dalam diri maupun realitas kehidupan.
Dalam rentetan pengertian tersebut. Seseorang secara tidak sadar juga sudah mengawali keterdidikan dalam pikirannya. Materi pertama adalah pembacaan isu. Materi kedua adalah penentuan preferensi. Materi ketiga adalah problem solving. Pada materi ketiga, setiap kita pasti akan bermuara pada upaya peningkatan SDM.
Persoalannya, terdapat kondisi yang menjelaskan bahwa tidak semua orang memiliki keberanian bercita-cita pada standar yang sama. Dengan demikian keterdidikan itu tetap berjalan, namun terlalu dangkal dan sederhana. Sehingga, mereka kian tumbuh sebagai masyarakat yang pasif.
Anda boleh saja tidak percaya kalau ada orang yang mempersiapkan diri menjadi kuli bangunan, supir angkot, atau buruh tani saja. Namun kenyataannya fenomena itu benar-benar terjadi. Mereka meyakini inilah ketetapan Tuhan atas dirinya dan akan tetap berkecukupan dengan itu. Sementara, kita sendiri menyadari bahwa profesi demikian cenderung menjadi ciri masyarakat prasejarah.
Pernyataan ini tidak dalam konteks mendiskreditkan profesi di atas. Pernyataan ini juga tidak dalam kapasitas merasa tahu tentang standar kebahagiaan seseorang. Tapi kita mesti peduli bahwa orientasi demikian adalah kerangkeng dari sistem yang belum benar-benar tepat. Kita harus berpikir jika Kuli Bangunan berorientasi menjadi Pengusaha Properti, ia akan dapat menyumbang pajak besar pada negara. Bahkan ia akan mampu membuka lapangan pekerjaan.
Hal serupa juga akan didapatkan jika seorang Sopir berorientasi menjadi Pengusaha Transportasi, dan Buruh Tani berambisi menjadi Pengusaha Pertanian. Setiap motivasi besar akan berdampak positif pada kemajuan masyarakat. Pikirkan inilah yang perlu untuk terus ditumbuhkan dalam perkaderan bangsa kita.
Hari ini Pemerintah telah berupaya untuk menghadirkan kurikulum pendidikan yang lebih konfrehensip dan fleksibel bagi peserta didiknya. Media pembelajaran juga diperkaya untuk menunjang kebutuhan tersebut. Ada yang berupa instrumen fisik, ada pula yang berupa platform digital.
Dalam strategi pendidikan saat ini, tampak bahwa kebebasan berekspresi dan berfikir menjadi acuan. Poin ini menjadi metode agar peserta didik mampu menentukan preferensi sebagaimana yang penulis terangkan dalam premis sebelumnya tentang cita-cita. Di titik inilah terdapat persamaan tujuan penyelenggara negara dengan rakyatnya. Hanya saja, gerakan ini belum benar-benar bisa mengubah pendidikan Indonesia.
Pendidikan perlu menyentuh masyarakat secara utuh. Karena boleh jadi, seseorang berorientasi menjadi Kuli, Buruh Tani, atau Sopir tadi karena mereka berada pada lingkungan dengan asumsi serupa. Mereka adalah orang-orang dengan keterbatasan referensi untuk mengerti tujuan hidup apalagi bermasyarakat dan bernegara.
Karenanya persoalan pendidikan tidak boleh menjadi upaya tunggal Kemendikbud Ristek. Pemerintah dalam berbagai regulasi harus mempertimbangkan aspek edukatif didalamnya. Misal, kewajiban penyertaan porsi beasiswa dalam penggunaan dana desa. Kelurahan, kota, hingga provinsi menyediakan titik akses internet positif, serta regulasi kreatif lainnya.
Pada ranah Kemdikbud Ristek, Kuliah Kerja Nyata (KKN) mesti dijadikan pengabdian yang lebih konkret. Misal bersosial tentang apa yang mestinya dihasilkan mahasiswa teknik untuk mesin pertanian atau saluran irigasi. Apa yang bisa diberikan Mahasiswa Fakultas Pertanian, Peternakan dan Perikanan dalam penyelenggaraan ketahanan pangan. Demikian juga pertanyaan untuk bidang keilmuan lainnya.
Tentunya diperlukan beberapa indikator penilaian yang menjadi alat ukur kelulusan. Dengan demikian gerakan perubahan akan lebih tampak. Meski demikian, kita juga harus tetap mengingat segalanya memerlukan proses. Pemerintah telah bergerak dalam proses itu. Kita pula semestinya mampu memotori proses pemajuan di sisi yang lain.
Rata rata anak di India ingin menjadi Aktor, Dancer, atau segala sesuatu yang bergelut di dunia seni. Pemikiran serupa juga berkembang di Korea Selatan. Di Jepang, rata-rata mereka cenderung kepada bidang teknis.
Semua tergantung kepada bagaimana lingkungan dan fasilitas yang membentuk mereka. Dengan upaya yang dilakukan Indonesia hari ini, semoga setiap anak lahir dengan keberanian bercita-cita sebagaimana bangsa maju lainnya.
***
*) Oleh: Galan Rezki Waskita, Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Malang bidang Kemahasiswaan dan Kepemudaan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |