https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Matinya Demokrasi

Minggu, 29 September 2024 - 18:32
Matinya Demokrasi Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan

TIMES JATIM, LAMONGAN – Peristiwa pembubaran diskusi oleh sekelompok masyarakat atas nama demokrasi sesungguh bertentangan dengan Demokrasi itu sendiri. Diskusi yang diadakan oleh diaspora lima benua, yang dihadiri Prof. Din Syamsudin, dan sejumlah tokoh termasuk Rafli Harun baru akan mulai, tiba-tiba dikejutkan dengan hadirnya beberapa orang yang memaksa agar diskusi tersebut dihentikan.

Demokrasi, yang sering dipuji sebagai bentuk pemerintahan terbaik, bergantung pada prinsip sederhana namun mendalam: kebebasan untuk mengekspresikan, berdebat, dan terlibat dalam diskursus publik tanpa takut dianiaya. Prinsip dasar ini memungkinkan masyarakat berkembang dengan mendorong keragaman ide, mendorong kritik yang sehat, dan memastikan bahwa warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. 

Namun, demokrasi bisa goyah ketika kebebasan-kebebasan ini dibungkam, seperti yang terlihat pada semakin banyaknya kasus di mana diskusi, terutama yang dianggap kontroversial, secara paksa dibubarkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Salah satu contoh yang mencolok adalah kasus terbaru di mana diskusi secara paksa dibubarkan oleh sekelompok individu. Insiden ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah kita sedang menyaksikan kematian perlahan demokrasi ketika dialog publik dibungkam dengan kekerasan?

Dalam masyarakat demokratis mana pun, kebebasan berekspresi bukan hanya hak, tetapi juga mekanisme untuk kemajuan. Kebebasan ini memungkinkan orang untuk berbagi pendapat, mengkritik otoritas, dan berkontribusi pada kumpulan pengetahuan kolektif. 

Ketika orang-orang terlibat dalam diskusi, mereka menuntut pertanggungjawaban dari pemerintah, lembaga, dan individu. Selain itu, diskusi terbuka mendorong berbagi perspektif yang beragam, yang menghasilkan pengambilan keputusan dan kebijakan yang lebih baik dan mencerminkan kehendak rakyat.

Namun, kebebasan ini rapuh. Begitu suatu kelompok atau lembaga menindasnya, jalinan demokrasi mulai terurai. Dalam kasus di mana individu atau kelompok mengambil alih untuk memutuskan apa yang boleh atau tidak boleh didiskusikan, prinsip-prinsip demokrasi terancam. Hal ini sangat memprihatinkan di negara-negara di mana demokrasi masih muda atau rapuh, karena insiden-insiden semacam ini dapat menciptakan preseden yang berbahaya.

Meningkatnya Intoleransi

Insiden di mana sekelompok orang secara paksa membubarkan diskusi mencerminkan tren yang lebih besar: meningkatnya intoleransi. Intoleransi ini tidak hanya bersifat ideologis tetapi juga fisik. Alih-alih terlibat dalam perdebatan atau mengizinkan diskusi berlanjut, kelompok-kelompok ini menggunakan taktik agresif untuk menutup apa yang mereka anggap mengancam pandangan mereka. 

Alasan di balik tindakan semacam itu bisa beragam-mulai dari afiliasi politik dan keyakinan agama hingga semangat nasionalisme atau bahkan disinformasi. Namun, hasil akhirnya tetap sama: ranah publik, yang seharusnya menjadi tempat pertukaran dan dialog, menjadi medan pertempuran di mana kekuatan mengalahkan nalar.

Tren ini mencerminkan perubahan yang mengkhawatirkan dalam cara masyarakat menghadapi perbedaan pendapat. Alih-alih mendorong debat, di mana pandangan yang berlawanan dapat ditimbang dan didiskusikan, ada kecenderungan yang meningkat untuk membungkam oposisi secara keseluruhan. 

Hal ini tidak hanya berdampak pada mereka yang suaranya dibungkam tetapi juga mempengaruhi masyarakat yang lebih luas. Ketika diskursus ditekan, semua orang kehilangan kesempatan untuk mendengar perspektif yang beragam, belajar darinya, dan berkembang sebagai kolektif.

Nir-Peran Negara

Dalam demokrasi yang sehat, negara memainkan peran penting dalam melindungi hak-hak warganya, termasuk hak kebebasan berekspresi. Ketika suatu kelompok secara paksa membubarkan diskusi, negara harus turun tangan untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan memastikan bahwa insiden-insiden semacam itu tidak menjadi hal yang biasa. Sayangnya, dalam banyak kasus, negara gagal bertindak atau, lebih buruk lagi, menjadi terlibat dalam penindasan kebebasan berbicara.

Ada banyak contoh di mana pemerintah menutup mata terhadap insiden-insiden semacam itu atau, dalam beberapa kasus, secara tidak langsung mendukungnya. Hal ini dapat terjadi ketika diskusi yang dibubarkan dianggap kritis terhadap rezim yang berkuasa atau ketika diskusi tersebut menyentuh isu-isu sensitif yang ingin dihindari oleh pemerintah. 

Dengan gagal melindungi hak kebebasan berekspresi, negara secara efektif memberikan sinyal bahwa kekerasan dan intimidasi adalah alat yang dapat diterima untuk membungkam perbedaan pendapat, sehingga merusak proses demokrasi.

Konsekuensi dari membungkam diskursus publik sangat luas. Pertama, hal ini menciptakan budaya ketakutan, di mana individu ragu-ragu untuk berbicara tentang isu-isu penting karena takut akan serangan balik atau kekerasan. Ini, pada gilirannya, menyebabkan menyusutnya ruang publik, di mana hanya pandangan-pandangan tertentu yang dianggap dapat diterima, sementara yang lain dianggap terlalu berbahaya untuk didiskusikan.

Kedua, ketika diskusi secara paksa dibubarkan, tercipta konsensus palsu. Dengan menekan suara-suara yang berbeda, kesan yang diberikan adalah bahwa tidak ada oposisi terhadap pandangan yang berlaku, bahkan ketika kenyataannya jauh dari itu. Hal ini dapat menyebabkan penerapan kebijakan atau ideologi yang tidak mencerminkan kehendak rakyat sebenarnya, melainkan kehendak mereka yang paling vokal atau paling kuat dalam pendapat mereka.

Ketiga, membungkam diskursus publik sering kali mengarah pada radikalisasi mereka yang suaranya dibungkam. Ketika orang merasa bahwa mereka tidak dapat mengekspresikan pandangan mereka melalui cara damai dan legal, mereka mungkin beralih ke metode yang lebih ekstrem untuk membuat suara mereka didengar. Hal ini dapat menyebabkan siklus kekerasan dan penindasan, yang semakin merusak proses demokrasi.

Jalan ke Depan

Untuk mencegah matinya demokrasi, penting untuk mengatasi akar penyebab intoleransi dan penindasan kebebasan berbicara. Pendidikan memainkan peran penting dalam hal ini. Warga negara harus diajarkan nilai debat dan pentingnya mendengarkan pandangan yang berbeda. Mereka juga harus dibekali dengan alat-alat untuk terlibat dalam diskusi secara santun dan produktif, daripada menggunakan kekerasan.

Selain itu, negara harus mengambil peran aktif dalam melindungi hak individu untuk berbicara dengan bebas. Ini berarti tidak hanya mencegah kelompok-kelompok untuk membubarkan diskusi, tetapi juga menciptakan lingkungan di mana dialog didorong. Undang-undang yang melindungi kebebasan berbicara harus kuat dan diterapkan tanpa bias, dan mereka yang mencoba menekan diskursus melalui kekerasan harus dimintai pertanggungjawaban.

Terakhir, masyarakat secara keseluruhan harus menolak gagasan bahwa perbedaan pendapat adalah sesuatu yang harus ditakuti atau ditekan. Sebaliknya, hal tersebut harus diterima sebagai komponen penting dari demokrasi. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi di mana semua suara, tidak peduli seberapa kontroversial atau tidak nyaman, dapat didengar dan diperdebatkan.

Kasus terbaru tersebut, di mana diskusi secara paksa dibubarkan oleh sekelompok orang merupakan pengingat yang jelas tentang betapa rapuhnya demokrasi. Ketika diskursus publik dibungkam, demokrasi itu sendiri berada dalam bahaya. 

Untuk menjaga proses demokrasi tetap hidup, kita harus memperjuangkan hak individu untuk mengekspresikan pandangan mereka dengan bebas dan melindungi ruang di mana diskusi semacam itu dapat berlangsung. Hanya dengan cara inilah kita dapat memastikan bahwa demokrasi tidak mati, tetapi terus berkembang di dunia yang terus berubah.

***

*) Oleh : Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.