TIMES JATIM, JAKARTA – Kemenangan kotak kosong dalam Pilkada 2024 di Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka raport merah dalam pelaksanaan Pilkada 2024. Dengan perolehan suara masing-masing 57,98% dan 57,25%, kotak kosong berhasil mengalahkan pasangan calon tunggal yang didukung oleh koalisi besar partai politik.
Fenomena ini tidak hanya menggambarkan anomali politik, tetapi juga menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat mulai menunjukkan resistensi terhadap praktik politik yang dianggap tidak demokratis.
Kemenangan kotak kosong tidak bisa dilepaskan dari konteks ketidakpuasan masyarakat terhadap dominasi oligarki dalam politik lokal. Kotak kosong menjadi simbol penolakan terhadap sistem politik yang terjebak dalam dinamika elite, di mana kekuatan partai politik lebih mendominasi dibandingkan partisipasi masyarakat.
Seperti yang disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Rendy NS Umboh, keberadaan calon tunggal dalam pilkada merupakan anomali yang bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi. Kehadiran kotak kosong memberikan ruang bagi pemilih untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka secara formal.
Dalam teori demokrasi deliberatif yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas, ruang publik menjadi esensial untuk memastikan dialog yang sehat dalam proses politik. Ketika partai politik gagal menghadirkan kandidat alternatif yang berkualitas, ruang publik itu terdistorsi oleh dominasi oligarki. Maka jangan salahkan, jika kotak kosong menjadi medium bagi masyarakat untuk menegaskan keinginan mereka akan demokrasi yang lebih substantif.
Fenomena kotak kosong di Indonesia memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan negara-negara lain. Di Amerika Serikat, misalnya, sistem write-in candidate memungkinkan pemilih untuk menuliskan nama kandidat alternatif jika tidak puas dengan kandidat yang tersedia.
Sistem ini memberikan lebih banyak pilihan kepada pemilih, tetapi Indonesia tidak memiliki mekanisme serupa. Kotak kosong menjadi satu-satunya jalan formal untuk menyampaikan penolakan terhadap pasangan calon tunggal. Dengan demikian, kotak kosong tidak hanya menjadi alat protes, tetapi juga menjadi indikator kesadaran politik masyarakat yang semakin matang.
Yang menarik, kemenangan kotak kosong ini terjadi di daerah-daerah yang pasangan calon tunggalnya didukung oleh koalisi besar partai politik. Di Pangkalpinang, misalnya, pasangan calon tunggal didukung oleh sembilan partai politik besar.
Dukungan sebesar itu seharusnya memberikan legitimasi politik yang kuat, tetapi hasil pilkada menunjukkan hal sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa legitimasi politik tidak lagi dapat dijamin hanya dengan dukungan partai, tetapi harus mencerminkan aspirasi masyarakat secara lebih nyata.
Kemenangan kotak kosong juga mengungkapkan paradoks dalam sistem demokrasi lokal Indonesia. Di satu sisi, regulasi mencalonkan kepala daerah mensyaratkan dukungan minimal 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen suara pemilih. Aturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa hanya kandidat yang memiliki basis dukungan yang cukup yang bisa maju.
Di sisi lain, persyaratan ini justru mendorong praktik “borong partai”, di mana kandidat tunggal mengumpulkan dukungan dari sebagian besar partai politik untuk memastikan kemenangan mereka. Akibatnya, kompetisi politik yang menjadi esensi demokrasi tereduksi menjadi sekadar formalitas.
Dalam sistem seperti ini, masyarakat sering kali dihadapkan pada pilihan yang sangat terbatas, bahkan tidak memiliki alternatif selain memilih pasangan calon tunggal. Kotak kosong menjadi simbol resistensi terhadap struktur politik yang dianggap tidak inklusif.
Fenomena kotak kosong juga menggambarkan kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi kaderisasi dan rekrutmen politik. Sebagaimana disampaikan Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, pilkada kali ini mencatat jumlah kotak kosong terbanyak sepanjang sejarah demokrasi Indonesia.
Partai politik, yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi, justru terjebak dalam dinamika oligarki. Alih-alih menjadi jembatan antara rakyat dan kekuasaan, partai politik lebih sering berfungsi sebagai kendaraan politik bagi segelintir elite untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Kemenangan kotak kosong harus menjadi alarm bagi sistem politik kita, dimana masyarakat tidak lagi dapat menerima praktik politik transaksional yang hanya menguntungkan elite. Justru masayarakat menuntut kontestasi yang lebih sehat, di mana kandidat yang maju tidak hanya memenuhi syarat formal, tetapi juga memiliki kapasitas untuk merepresentasikan aspirasi rakyat.
Momentum kemenangan kotak kosong harus dimanfaatkan untuk melakukan evaluasi terhadap regulasi pencalonan kepala daerah. Sistem politik yang ada saat ini perlu diubah untuk mencegah praktik "borong partai" yang menciptakan pasangan calon tunggal.
Partai politik juga perlu kembali ke khittahnya sebagai institusi yang mampu merekrut dan mengkader pemimpin yang berkualitas. Tanpa reformasi sistemik, fenomena kotak kosong akan terus berulang, dan ini akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Waba’du, fenomena kotak kosong adalah alarm tanda bahaya bahwa demokrasi bukan sekadar ritual lima tahunan. Demokrasi adalah tentang memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan nasib mereka.
***
*) Oleh : Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |