https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Kesalahan dalam Memahami Kata Kafir

Senin, 11 Maret 2024 - 15:37
Kesalahan dalam Memahami Kata Kafir Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur

TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Kita tahu, bahwa paham takfiri adalah satu paham yang sangat berbahaya jika dipahami dengan pemahaman secara literal atau apa adanya. Maka dari itu, setiap muslim harus memahami makna takfiri yang sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga tidak sporadis dalam men-takfiri muslim lainnya yang pada kenyataannya masih melaksanakan ibadah lima waktu, taat terhadap perintah Tuhan, juga masih mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang berhak disembah dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Tentu saja, pembahasan takfir menjadi penting ketika muncul berbagai gerakan anti takfir yang mengklaim bahwa takfiri sepenuhnya merupakan doktrin Khawarij, ditambah lagi dengan munculnya golongan Liberalis Sekularis yang cenderung seolah-olah memerangi sebagian umat Islam yang dianggap menentang pemahaman yang diusung, bahkan disebut teroris dan saling hujat menghujat padahal sesama beragama Islam. Hal ini berimbas kepada kaburnya konsep keimanan dan kekafiran.

Makna Kafir 

Ada beberapa penjelasan tentang makna kafir yang sesuai dengan terjadinya perkembangan zaman yang ada dalam al-Qur’an sehingga dapat memberikan pencerahan bahwa, ternyata tidak sembarangan orang muslim mengatakan kepada muslim lainnya sebagai orang yang telah keluar dari agama Islam. Dalam al-Qur’an terdapat banyak penjelasan mengenai takfiri baik yang tersirat maupun yang tersurat. Di antaranya:

Pertama, surat Al-Ahzab (33) ayat 36 tentang kewajiban terhadap apa yang telah disyariatkan. Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa, seorang mukmin tidak pantas memilih mengerjakan atau meninggalkan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia dikatakan sesat jika durhaka. Dan dalam ayat ini juga, menjelaskan kata takfiri yaitu menganggap seorang muslim sebagaimana orang kafir tidak lagi memiliki keimanan, mentakfirkan tanpa kriteria khusus merupakan sikap berlebihan dalam beragama.

Sikap berlebihan lebih cenderung merusak dan berbahaya. Imam Ahmad Ibn Hanbal meskipun melakukan pengkafiran mutlak kepada ajaran tertentu yang menyimpang, pada umumnya beliau tidak mau mengkafirkan secara personal bagi yang menganut ajaran tersebut. Menurut Ibn Taimiyyah sikap Ibn Hanbal ini didasarkan pada dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan i’tibar.

Kedua, surat Al-Maidah (5) ayat 44 menjelaskan tentang contoh perbuatan yang dapat dihukumi sebagai kekafiran dalam ayat ini dijelaskan bahwa, seseorang dikatakan kafir jika ia memutuskan suatu hukum tidak sejalan dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Juga kata takfiri adalah mengkafirkan orang yang telah masuk Islam secara sah yang dibuktikan dengan ucapan syahadatain.

Orang yang telah masuk Islam dengan lafaz tersebut secara zahir maka ia berkewajiban menjalankan hukum Islam (taklif), ini tidak berlaku bagi seseorang yang belum masuk Islam (kafir). Mengucapkan syahadat adalah syarat minimal untuk menjadi seorang muslim, lalu dengan kewajiban menjalankan syariat ia bisa tetap dikatakan muslim. Dalam hal ini Syahadat-lah yang menjadi acuan sehingga beban sebagai berlaku baginya.

Ketiga, surat An-Nur (24) ayat 51 menjelaskan tentang sifat orang mukmin yang seharusnya patuh dengan apa yang diperintahkan. Ayat ini menjelaskan bahwa seorang mukmin selalu patuh dengan mengatakan sami’na wa ata’na terhadap perintah untuk menentukan suatu hukum (mengadili) sesamanya jika dikaji lebih dalam, terdapat di dalam al-Qur’an, tema-tema kekafiran cukup banyak ditemukan.

Di antaranya adalah kafir karena tidak beraqidahkan agama Islam. Dalam surat Al-Kafirun (109):1 menyebutkan adanya panggilan kepada orang kafir dengan panggilan “Hai orang-orang kafir”. Pada ayat di atas tampak bahwa sebutan kafir kepada orang yang tidak beragama Islam adalah sesuatu yang wajar dan tidak diperdebatkan. Namun bagaimana jika itu ditujukan kepada orang yang mengaku beragama Islam?

Hal ini akan menjadi masalah jika terjadi dan membutuhkan kaidah-kaidah yang menjadi landasan dalam menghukumi seseorang dengan kafir, sebagaimana halnya terjadi pada periode awal berkembangnya pemikiran-pemikiran yang cenderung kepada keekstriman dalam beragama, khususnya dalam mentakfirkan orang lain.

Keempat, surat Al-Baqarah (2): 217 tentang akibat dari kekafiran. Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang murtad dan meninggal dalam keadaan kufur maka amalannya di dunia dan akhirat menjadi sia-sia dan diganjar dengan azab yang kekal di neraka. Arti kafir dari sisi bahasa adalah yang menutupi.

Dari beberapa definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa orang yang kafir adalah orang yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul, menyembunyikan kebaikan yang telah diterima dan tidak berterima kasih. Dalam al-Qur’an, perkataan kafir mengacu kepada perbuatan yang ada hubungannya dengan tuhan seperti mengkufuri nikmat Allah atau tidak mensyukuri pemberian-Nya.

Jika demikian, berarti kekafiran memiliki makna yang sangat luas sebagaimana yang tersebut dalam surat An-Nahl (16): 55, Allah Swt, berfirman “Biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka; bersenang-senanglah kamu. Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya).” 

Ada pula yang berarti lari dari tanggung jawab, sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrahim (14): 22, Allah Swt berfirman “Dan setan berkata ketika perkara (hisab) telah diselesaikan, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku tidak dapat menolong mu, dan kamu pun tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu menyekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.” Sungguh, orang yang zalim akan mendapat siksaan yang pedih.” 

Ada pula yang berarti menolak hukum Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah (5): 44, Allah Swt berfirman “Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” 

Dan ada pula konsekuensi lain berupa kehinaan di dunia dan azab di akhirat, sebagaimana firman Allah dalam al-qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 85, Allah Swt. berfirman “Kemudian, kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (sesamamu) dan mengusir segolongan dari kamu dari kampung halamannya. Kamu saling membantu (menghadapi) mereka dalam kejahatan dan permusuhan. Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal kamu dilarang mengusir mereka. Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” 

Kelima, surat An-Nisa’ (4): 94 tentang adanya penilaian secara zahir apa yang tampak dari seseorang. Ayat tersebut memberi peringatan bagi orang yang beriman ketika berperang di jalan Allah dengan tidak mengatakan ia adalah kafir sementara ia telah mengucapkan syahadat.

Berawal dari orang-orang Khawarij 

Kalau dirujuk kepada sejarah lebih rinci, bahwa penakfiran secara umum bermula dari sikap orang-orang Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah setelah peristiwa tahkim (arbitrase), walaupun pada awalnya cara penakfiran mereka berbeda-beda. Peristiwa tersebut dianggap tidak sah dan kesepakatannya merupakan perbuatan dosa besar yang berujung dengan kekafiran.

Ibn Taimiyyah sebagaimana yang sebut oleh Muhammad Ibn Salih al-Utsaimain dalam kitabnya Taqrib at-Tadmuriyyah mengatakan, bahwa bid’ah yang terkait dengan keilmuan dan ibadah secara umum terjadi pada akhir masa Khulafa’ ar-Rasyidin. Setelah masa itu muncullah kerajaan yang lemah pemahaman terhadap Islam sehingga muncul orang-orang yang paham (Ahl al-Ilm) yang pada masa itu timbul bid’ah kelompok Khawarij dan Rafidah yang berkaitan dengan kepemimpinan dan pemerintahan lalu meluas kepada masalah amal dan hukum syariat.

Jadi dari penjelasan di atas, bahwa ada sebagian orang dari kalangan Islam terlalu berlebihan dalam masalah penyebutan kata kafir, yang ditujukan kepada pemimpin suatu negara, atau Islam lainnya yang benar-benar masih menjalankan perintah Allah. Contohnya masih membayar zakat, masih melaksanakan ibadah lima waktu, yang tentunya tidak mudah bagi seseorang untuk menghukuminya sebagai orang kafir. Padahal Islam sendiri memiliki kriteria yang juga telah dijelaskan para ulama tentang seseorang keluar dari Islam. Penulis hanya membahas secara singkat saja, mengenai kata kafir dalam al-Qur’an dengan menggunakan tiga ayat saja, yaitu bahwa seorang muslim dianggap keluar dari agamanya ada kriterianya. 

Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, Allah Swt. berfirman “Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” 

Hemat penulis, dari ketiga ayat al-Qur’an di atas menjelaskan bahwa tidak mudah seorang muslim mengatakan kafir dan murtad kepada muslim lainnya. Seorang muslim dikatakan kafir dan telah keluar dari Islam sebagai agamanya, jika tidak lagi meyakini kitab al-Qur’an sebagai firman Allah Swt., dan tidak lagi meyakini Allah Swt. sebagai Tuhan semesta alam yang tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan hanya Allah Swt., serta tidak lagi menganggap agam Islam sebagai agama yang benar. 

***

*) Oleh : Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id


_____
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta :
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.