TIMES JATIM, MALANG – Pemilihan kepala daerah serentak 2024 semakin dekat, banyak cara yang dilakukan para calon kepala daerah untuk menarik simpatisan pemilih, mulai dari tampilan baliho yang menarik, singkatan masing masing nama paslon, dan beberapa simbol unik lainnya. Termasuk di platform media sosial seperti facebook, Instagram, Twitter, dan Tiktok, hampir setiap pasangan calon memiliki akun media sosial.
Strategi ini menurut hemat saya hal yang harus di lakukan ditengah kondisi masyarakat yang sudah melek digital, tentunya hal ini sangat berdampak pada branding politik masing masing calon pemimpin daerah. Beberapa hari terakhir telah berlangsung debat pilkada oleh KPU dan disiarkan langsung baik youtube maupun TV nasional, dan banyak hal menarik bahkan terkesan lucu yang terjadi selama debat berlangsung yang bisa dengan mudah kita dapatkan lewat potongan video singkat di media sosial.
Beberapa video viral setiap hari muncul di beranda pengguna, bahkan mencapai jutaan viewer, dan dengan cepat video tersebut tersebar, Fenomena ini sangat menarik perhatian pengguna media sosial sehingga algoritma video dengan tema politik di ruang digital menjadi salah satu hal yang menarik di diskusikan.
Algoritma media sosial sangat berpengaruh pada pilihan politik di era sekarang, tanpa kita sadari, hal ini semakin berkembang dengan adanya ruang digital yang menjadi media interaksi yang sangat efektif, apalagi menjelang pemilu atau pilkada. Salah satu platfom paling digemari terutama generasi “z” adalah TikTok.
Di Indonesia, video kampanye yang viral sering mendapat dorongan dari algoritma Tiktok, dimana video tersebut didesain untuk menampilkan konten sesuai minat pengguna melalui halaman For You Page (FYP). Fenomena diatas menunjukkan bahwa konten tertentu seperti video dengan tema politik yang berisi informasi terkait paslon yang dikemas dengan kreatifitas tertentu seperti vlog, humor bahkan aksi joged semakin mendorong video tertentu untuk viral.
Kita mungkin masih ingat dengan aksi gemoy pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan mas Gibran pada pemilu kemarin, dan juga pasangan Anies dan Cak Imin dengan aksi “Desak Anies” adalah salah satu contoh konkret bagaimana branding di media sosial sangat mempengaruhi antusias pemilih pemula.
Baru baru ini salah satu universitas di kota Malang mengadakan mimbar akademik calon pilkada Malang Raya dengan tema sinergi pembangunan Malang raya yang di hadiri Sebagian besar mahasiswa dari kalangan gen z, salah satu calon yang paling menarik perhatian adalah yang memiliki background selebriti yang tentunya secara branding akan lebih mudah dikenal di bandingkan calon lain, sekalipun paslon yang lain sudah sangat senior di dunia politik.
Salah satu filsuf bernama Marshall McLuhan mengemukakan bahwa media itu sendiri adalah sebuah pesan. Marshall berpendapat bahwa pesan bukan hanya sekedar konten yang disampaikan oleh media sosial, tapi media itu sndiri justru membentuk cara berpikir, bagaimana merasakan, dan bagaimana seorang individu berinteraksi dengan segala sesuatu yang ada disekitarnya.
Dalam konteks Media sosial “Algoritma itu sndiri adalah Medium yang memiliki peran yang begitu signifikan dalam membentuk pengalaman individu. Pemilih pemula dalam konteks ruang digital adalah sasaran utama dalam branding politik pilkada beberapa tahun belakangan ini.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan informasi, jumlah pemilih pemula di Indonesia diperkirakan mencapai 81% dari total pemilih. Data Ini menunjukkan bahwa pemilih pemula akan memainkan peran yang sangat signifikan dalam pesta pemilihan kepala daerah tahun ini.
Jika melihat data yang lebih spesifik, dari total daftar pemilih tetap (DPT) yang mencapai 204.807.222 orang, proporsi pemilih dari generasi milenial dan generasi Z (yang dianggap sebagai pemilih muda) diprediksi mencapai 56%. Generasi milenial sendiri berkontribusi sekitar 33,6% dari total pemilih, sementara generasi Z menyumbang sekitar 22,85%.
Dengan demikian, pemilih muda yang berusia antara 17 hingga 39 tahun akan menjadi kelompok pemilih dominan, dengan jumlah sekitar 113 juta pemilih. Data ini memberikan kita gambaran bahwa terjadi peningkatan partisipasi dari kelompok pemilih muda yang tentunya diharapkan dapat mempengaruhi hasil pemilu secara signifikan.
Data di atas menunjukkan bahwa secara tidak langsung, apabila ada salah satu pasangan calon pemimpin kepala daerah yang berhasil menarik simpati pemilih pemula maka potensi untuk menang akan semakin besar, dan salah satu cara paling efektif adalah dengan branding politik dalam ruang digital dalam hal ini platfom media sosial.
Algoritma dan Filter Bubble
Salah satu fenomena yang akan muncul dalam ruang digital adalah “filter bubble” atau gelembung informasi, fenomena ini akan berpengaruh pada pengguna (gen-z) sebagai pengguna paling aktif akan lebih banyak melihat konten yang mendukung pandangan politik mereka. Hal ini dapat berpengaruh pada keputusan pemilih pemula dengan menguatkan prasangka mereka,dan mengurangi keterbukaan terhadap sudut pandang alternatif mereka.
Fenomena Filter bubble bekerja dengan menyajikan kepada pengguna berdasarkan riwayat pencarian preferensi, dan interaksi sebelumnya yang ada di gadget mereka, sehingga hal ini menciptakan ruang informasi yang terkesan terisolasi, sehingga pengguna hanya terpapar sesuai dengan keyakinan dan minat mereka sendiri, dan tentunya ini sangat rentan terjadi pada Gen Z yang begitu sangat akrab dengan ruang digital.
Dalam kontek politik ruang digital, Fenomena ini akan sangat mudah terjadi ditambah dengan algoritma yang semakin memperkuat narasi-narasi politik paslon tertentu dengan cara membanjiri layar pengguna dengan konten yang bersifat emosional bahkan manipulatif seperti konten deepfake, humor, dan lainnya yang menampilkan kandidat tertentu secara tidak autentik bahkan jauh dari kenyataan, bahkan dengan potongan video yang hanya menampilkan sisi negative paslon.
Hal ini tentunya akan menjadi tantangan pemilih pemula dalam menyaring informasi secara lebih kritis. Ini adalah contoh konkret bagaimana algoritma TikTok bukan hanya menampilkan konten politik semata, tetapi juga membangun persepsi publik dengan menyajikan video yang bisa memperkuat citra positif atau negatif kandidat tertentu.
Dengan adanya fenomena ini maka akan berpotensi memperkuat bias dan polarisasi politik pada generasi Z dalam ruang digital, algoritma yang terbentuk akan terus menyajikan berbagai macam informasi yang konsisten sesuai dengan pengalaman dan keyakinan penggunanya atau biasa disebut sebagai “pengalaman personal” pengguna, hal ini tentunya akan semakin memperkuat pandangan yang sudah ada pada kelompok gen Z.
Fenomena Filter Bubble membuat individu semakin mengukuhkan identitas sosial dan pandangan politik mereka yang membuat semakin nyaman berada dalam lingkungan yang homogen, hal ini diistilahkan sebagai “pengukuhan identitas”.
Adanya fenomena tersebut selanjutnya akan terbentuk semacam penolakan informasi yang bertentangan, dimana pengguna cendrung mengabaikan atau bahkan menolak segala bentuk informasi yang bertolak belakang atau bertentangan dengan sudut pandang politik mereka, karena algoritma sangat jarang menampilkan hal tersebut di ruang digital mereka, sehingga ketika ada hal yang baru maka kecenderungan untuk menerima bahkan mengkritisi informasi tersebut sangatlah kecil.
Selebritas dan Opini Public
Salah satu aspek yang paling berpengaruh dalam kontestasi pemilihan umum adalah popularitas, banyak cara yang dilakukan untuk mendongkrak popularitas tersebut salah satu nya adalah menggandeng salah seorang yang sudah terkenal sebelumnya di media. Dalam hal ini bukan berasal dari kader partai atau politikus, tapi berasal dari kalangan influencer atau selebriti, dikutip dari (www.cnnindonesia.com) ada 8 artis populer yang dipastikan maju dalam pilkada serentak 2024, namun data tersebut masih terus bertambah sampai saat ini.
Kenapa hal demikian belakangan ini trend dalam dunia politik? jawabannya adalah, karena semua sadar bahwa popularitas di media memiliki kekuatan untuk menentukan isu-isu apa yang dianggap penting oleh publik. Artinya, media tidak hanya menyampaikan sebuah informasi, tetapi juga membentuk persepsi dan prioritas public di ruang digital.
Salah seorang pencetus teori “agenda setting" bernama Maxwell McCombs dan Donald Shaw, keduanya adalah ilmuwan komunikasi yang pernah meneliti tentang pemilihan presiden di Chapel Hill, North Carolina, dimana dalam penelitian ini, mereka menemukan korelasi yang kuat antara isu-isu yang diutamakan oleh media dengan isu-isu yang dianggap penting oleh public.
Jika kita melihat fenomena banyaknya selebriti atau influencer masuk dalam dunia politik atau menggunakan influencer terlibat dalam kampanye calon kepala daerah, tidak lain karena kepentingan branding dan pembentukan opini untuk menentukan pilihan. Teori agenda setting ini sangat relevan dalam konteks saat ini, terutama dengan maraknya media sosial dan pengaruh influencer. Kenapa demikian?
Influencer dengan jangkauan audiens yang sangat luas, tentunya dapat berperan sebagai "media" yang sangat efektif dalam mengatur agenda publik, terutama pada kelompok penggemar mereka termasuk kalangan Gen-Z. Influencer dan selebritas di media sosial begitu efektif dalam mempengaruhi opini publik dan pandangan politik pemilih muda.
Dengan jutaan pengikut, mereka dapat menjangkau audiens yang luas dan beragam. Melalui konten yang mereka bagikan, baik itu tentang gaya hidup, produk, atau isu sosial, apalagi isu politik, mereka sering kali membentuk persepsi masyarakat terhadap berbagai topik.
Selain itu Influencer juga sering terlibat dalam kampanye sosial, menggunakan platform medsos mereka untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah politik dan sosial, serta mendorong tindakan dari pengikut mereka. Harapan kita adalah semoga isu atau opini yang mereka sampaikan semakin mengedukasi pemilih pemula dalam pandangan politik ruang digital.
Tantangan Pilihan Politik di Kalangan Gen Z
Kekuatan algoritma yang sangat besar di ruang digital tentu akan menimbulkan dampak dan tantangan yang tidak kalah signifikan, Media sosial adalah sebuah lingkungan yang sangat subur akan penyebaran hoaks dan disinformasi, berbagai bentuk informasi yang salah dapat menyebar dengan sangat cepat dari pada fakta yang sebenarnya, kesempatan ini digunakan para buzzer untuk menggunakan black campaign untuk sebuah opini politik tertentu yang akan merugikan paslon lain.
Penyebaran hoax tersebut akan semakin cepat jika dibagikan oleh tokoh public yang mempunyai pengaruh besar. Hal ini terjadi dikarenakan audiens hanya cenderung mempercayai informasi dari sumber yang mereka anggap kredibel seperti influencer atau selebritas,dan ini akan sangat rentan terjadi dikalangan pemilih pemula yang kebanyakan mempunyai idola. Fenomena filter bubble dan echo chamber merupakan dua fenomena yang akan semakin memperburuk masalah ini.
Maka dari itu tantangan seperti hoaks dan disinformasi menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam mengkonsumsi informasi di era digital ini. Pengguna harus memiliki kemampuan berpikir kritis untuk bagaimana bisa mengevaluasi informasi yang mereka terima di ruang digital sebelum membagikan informasi tersebut.
Generasi Z merupakan kelompok yang tumbuh di era digital dan informasi yang serba melimpah,mereka memiliki karakteristik unik tersendiri yang dapat membentuk pandangan politik nya. Namun, mereka juga tentunya menghadapi sejumlah tantangan dalam membuat pilihan politik yang rasional dan bermakna.
Beberapa tantangan selain hoaks dan disinformasi adalah adanya polarisasi politik, media sosial dan algoritma yang mempersonalisasi konten dapat memperkuat polarisasi politik, hal ini membuat generasi Z terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif dalam ruang ruang media sosial dan ini sering kita temui di berbagai komentar pada konten politik tertentu.
Selain itu juga terjadi apatisme politik, hal ini muncul karena adanya rasa ketidakpercayaan kalangan generasi z terhadap institusi pemerintah dan muncul perasaan bahwa suara mereka tidak didengar, hal inilah yang menyebabkan apatisme politik di kalangan generasi Z itu bisa terjadi. Selanjutnya adalah Tekanan Teman Sebaya, tekanan dari teman sebaya dan komunitas online pada ruang digital dapat mempengaruhi pilihan politik generasi Z, bahkan hal ini bisa semakin menguat jika pilihan tersebut bertentangan dengan keyakinan pribadi mereka.
Beberapa tantangan di atas tentunya dapat diminimalisir dengan berbagai cara diantaranya adalah penguatan literasi digital untuk kalangan generasi Z, hal ini sangatlah penting untuk bagaimana mereka bisa mengidentifikasi, mengkritisi berbagai bentuk informasi yang mereka terima dalam ruang digital, selain itu perlu dilakukan dialog antar atau lintas generasi, ini bertujuan untuk membangun consensus dan cara berpikir yang lebih terbuka pada kalangan Gen-z terutama pandangan politik mereka.
Selanjutnya adalah perlu adanya inovasi dalam partisipasi politik, hal ini bertujuan untuk menghindari apatisme politik pada generasi Z, dengan adanya inovasi dalam partisipasi politik, generasi Z akan bisa berkontribusi lebih dalam dunia politik yang tentunya dengan cara yang lebih menarik dan relevan untuk kelompok mereka. Beberapa poin di atas tidak akan maksimal tanpa dukungan pemerintah dan stakeholder, perlu kolaborasi untuk menciptakan iklim politik yang sehat terutama pada ruang digital.
Kita semua sadar bahwa pilihan politik generasi Z banyak dipengaruhi oleh berbagai factor yang begitu sangatlah kompleks, beberapa hal tersebut termasuk paparan informasi, identitas digital, nilai-nilai, dan kepercayaan.
Maka dari itu, dengan memahami tantangan yang mereka hadapi, hal ini akan menjadi sangatlah penting untuk bagaimana bisa merancang sebuah strategi yang efektif dalam melibatkan mereka pada proses politik yang lebih sehat, dan juga tentunya hal ini dapat membantu membangun masyarakat yang lebih demokratis dan inklusif. Salam Literasi.
***
*) Oleh : Mauliadi Ramli, Mahasiswa S3 Fisip UB.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |