https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Santri Zaman Now: Mondok di Instagram, Lulusan TikTok

Selasa, 22 Oktober 2024 - 08:24
Santri Zaman Now: Mondok di Instagram, Lulusan TikTok Yusuf Arifai, Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan

TIMES JATIM, PACITAN – Hari Santri Nasional sejak 2015, kalau kita jujur-jujuran, kadang terasa seperti hajatan besar tanpa isi. Bendera berkibar, pawai jalan, dan puisi-puisi sakral tentang pengabdian santri dilantunkan. Tapi sesungguhnya, apa kabar santri-santri kita di era disrupsi dan digital ini? 

Dunia berubah serba cepat, dan santri yang dulunya setia mengabdi di pesantren, kini lebih sering menghabiskan waktu di timeline media sosial. Kalau dulu santri mondok di pesantren, sekarang cukup mondok di Instagram, sambil sesekali "mengaji" lewat TikTok. Pemandangan yang bikin kening berkerut, bukan?

Fenomena santri karbitan mulai merajalela. Ada yang mengaku-ngaku santri, padahal satu malam pun tak pernah tidur di asrama pesantren. Mereka lihai dalam mengambil foto di depan rak kitab, tapi jujur saja, entah kitab apa yang dibacanya. Yang penting tampil bak santri, lengkap dengan sarung, peci, dan pose khusyuk seolah sedang merenungkan kitab kuning. Inilah era baru santri yang lebih sibuk membangun citra di media sosial ketimbang memperdalam ilmu agama dan akhlak.

Zaman sekarang, semuanya serba instan. Mi instan, kopi instan, bahkan jadi santri pun bisa instan. Santri karbitan tak perlu bersusah payah mondok bertahun-tahun, cukup mainkan jempol di smartphone, unggah konten, dan voila! Jadilah santri yang diidolakan banyak pengikut. Tapi, jadi santri bukan cuma soal simbol. Ini tentang perjalanan panjang mencari ilmu, tentang pengorbanan tidur nyenyak demi mengejar hikmah, tentang kesabaran menahan lapar ilmu dan dahaga rohani. Santri karbitan tak paham soal ini, yang mereka tahu hanya algoritma dan "engagement rate."

Namun, apa yang sebenarnya kita harapkan dari santri di zaman ini? Di tengah arus disrupsi yang tak terbendung, kaum santri harus tetap ingat bahwa peran mereka tak sekadar menjaga tradisi, tetapi juga membangun peradaban. Bukan sekadar peradaban digital di dunia maya, tetapi peradaban nyata yang melibatkan moral, etika, dan tanggung jawab sosial.

Sejarah telah membuktikan bahwa santri memiliki andil besar dalam membangun negeri ini. Mereka berjuang di garis depan saat kemerdekaan dipertaruhkan. Tapi kini, peran santri tidak boleh berhenti di situ. Tantangan zaman telah berubah, dan santri harus ikut berubah tanpa kehilangan esensi mereka. Di dunia yang serba cepat ini, santri harus mampu menjadi agen perubahan, bukan hanya di kampung-kampung, tapi juga di jagat maya.

Santri zaman now perlu beradaptasi dengan teknologi, tapi jangan sampai kehilangan jati diri. Jadikan teknologi alat, bukan tujuan. Media sosial boleh digunakan, tetapi bukan untuk pencitraan belaka. Gunakanlah untuk menyebarkan kebaikan, dakwah, dan ilmu yang bermanfaat bagi umat. Santri harus tampil sebagai penjaga moral di tengah kebingungan digital.

Santri Sejati: Kembali ke Nilai, Bukan Gimmick

Saat semua berlomba-lomba menjadi terkenal di media sosial, santri sejati harus tetap fokus pada esensi. Mereka adalah penjaga moral dan akhlak, bukan selebriti dadakan di TikTok. Santri adalah mereka yang memiliki kedalaman ilmu, bukan hanya yang tampil memikat di depan kamera.

Hari Santri Nasional seharusnya menjadi momentum refleksi bagi santri zaman now. Kita harus merenung, apakah peran santri masih sebesar dulu, ataukah mereka terjebak dalam euforia digital? Jangan sampai peran besar santri dalam membangun peradaban hanya tinggal cerita di buku sejarah. Santri harus kembali kepada hakikat mereka, sebagai pembawa cahaya di tengah kegelapan zaman, sebagai penjaga nilai-nilai luhur yang tak bisa ditukar dengan popularitas sesaat di media sosial.

Jadi, wahai santri zaman now, apakah kamu siap kembali pada hakikatmu? Atau cukup puas mondok di Instagram?

Santri Era Digital: Berperan atau Terpinggirkan?

Perubahan zaman membawa tantangan yang harus dijawab oleh para santri. Pertanyaannya, apakah santri era digital ini mampu membawa obor perubahan, atau justru terjebak dalam arus yang menggiring mereka ke tepi peradaban? Di era di mana batas antara dunia nyata dan maya semakin tipis, santri sejati harus mampu menjaga integritas mereka tanpa terseret menjadi sekadar "konten viral."

Seorang santri sejati memahami bahwa peran mereka lebih dari sekadar melafalkan kitab-kitab klasik atau mengenakan simbol keislaman. Mereka adalah pilar-pilar moralitas, yang menjaga nilai-nilai luhur di tengah zaman yang semakin permisif. Ketika informasi beredar tanpa kendali, ketika hoaks merajalela, dan ketika dunia sibuk mengejar tren sesaat, santri harus tampil sebagai benteng terakhir akhlak dan kebenaran.

Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Di tengah fenomena santri karbitan yang lebih banyak pamer di media sosial daripada berdakwah dengan hati, muncul pertanyaan: di mana posisi santri dalam era disrupsi ini? Jangan sampai Hari Santri hanya menjadi seremoni tahunan yang kosong makna. Lebih dari itu, harus ada upaya untuk mengembalikan esensi santri sebagai agen perubahan, bukan sekadar penjaga tradisi yang pasif.

Sekarang, mari kita bicara soal disrupsi digital. Dunia bergerak cepat, dan teknologi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Santri, sebagai kelompok yang seharusnya paling peka terhadap perubahan, harus mampu beradaptasi tanpa kehilangan identitas. Disrupsi ini memang membawa banyak tantangan, tetapi juga peluang besar bagi santri untuk memperluas pengaruhnya.

Bayangkan jika para santri dapat memanfaatkan platform digital untuk berdakwah, menyebarkan nilai-nilai Islam yang moderat, dan memperkenalkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih relevan dengan kehidupan modern. Santri zaman now tak perlu takut dengan teknologi; justru, mereka harus memanfaatkannya sebagai alat untuk menyiarkan kebenaran.

Namun, tentu saja ini tidak berarti bahwa santri harus menanggalkan identitas tradisional mereka. Nilai-nilai pesantren-seperti keikhlasan, tawadhu, dan istiqamah-tetap harus menjadi fondasi, meskipun mereka berada di dunia maya. Jika tidak, maka santri hanya akan menjadi bagian dari gelombang besar manusia digital yang tenggelam dalam euforia popularitas sesaat.

Kini, kita kembali kepada fenomena santri karbitan-mereka yang sibuk berpose, namun kosong substansi. Mereka yang mondok hanya di ruang komentar Instagram, bukan di langgar atau pesantren. Di sinilah ironi terbesar Hari Santri: ketika perayaan ini hanya menjadi panggung bagi mereka yang haus akan sorotan, bukan mereka yang benar-benar mengabdi untuk ilmu dan agama.

Santri karbitan adalah produk zaman yang serba instan. Mereka lupa bahwa menjadi santri adalah sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan pengorbanan. Kesabaran dalam menimba ilmu, kedalaman dalam memahami ajaran agama, dan ketekunan dalam mengamalkannya-semua itu tak bisa dipalsukan oleh pencitraan digital. Santri sejati tak butuh pengakuan dari "followers" atau "likes" pengakuan mereka berasal dari Allah dan gurunya.

Dalam dunia yang semakin materialistis ini, tantangan terbesar bagi santri adalah bagaimana tetap berpegang pada nilai-nilai luhur tanpa tergoda oleh gemerlap dunia digital. Jangan sampai istilah "santri" menjadi sekadar label kosong yang bisa diklaim siapa saja tanpa tanggung jawab.

Membangun Peradaban dengan Ilmu dan Akhlak

Dunia butuh lebih banyak santri sejati. Bukan sekadar untuk menjaga tradisi atau mempertahankan simbol-simbol keislaman, tetapi untuk membangun peradaban baru yang berbasis pada ilmu dan akhlak. Sejarah telah mencatat, santri adalah pionir dalam membangun bangsa ini. Mereka tak hanya berjuang di medan perang, tapi juga di medan pendidikan dan pemikiran.

Di tengah gempuran arus globalisasi dan digitalisasi, santri harus tetap menjadi mercusuar peradaban. Bukan hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Santri yang paham betul tentang agama, tetapi juga melek teknologi dan peka terhadap isu-isu global, akan menjadi agen perubahan yang sangat dibutuhkan di era ini.

Hari Santri seharusnya menjadi momentum untuk mengingat kembali peran besar santri dalam membangun peradaban. Ini bukan sekadar nostalgia, tapi sebuah panggilan untuk terus bergerak maju. Santri harus siap menghadapi tantangan zaman dengan bekal ilmu yang kuat dan akhlak yang mulia.

Santri, Jangan Sampai Kehilangan Arah

Pada akhirnya, era disrupsi ini adalah ujian bagi santri. Apakah mereka akan tetap setia pada jalan ilmu dan pengabdian, atau tersesat dalam hiruk-pikuk dunia digital yang penuh godaan? Santri zaman now harus paham, peran mereka jauh lebih besar dari sekadar menjadi tokoh di media sosial. Mereka adalah penjaga moralitas, agen perubahan, dan pembawa obor peradaban.

Santri sejati tidak sibuk dengan pencitraan, tapi sibuk memperdalam ilmu. Mereka tak hanya mondok di Instagram, tapi benar-benar menjalani hidup sebagai santri di dunia nyata. Jangan sampai Hari Santri hanya menjadi perayaan semu, di mana esensi santri hilang di tengah kemeriahan seremonial.

Santri harus kembali kepada hakikat mereka. Bukan sebagai karbitan yang hanya menumpang popularitas, tapi sebagai pelopor peradaban yang siap menghadapi tantangan zaman. Maka dari itu, wahai santri zaman now, bangkitlah dari kenyamanan digitalmu. Dunia membutuhkanmu, bukan sebagai selebriti, tapi sebagai pembawa perubahan sejati. (*) 

***

*) Oleh : Yusuf Arifai, Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.