https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Gus Dur Bukan Pahlawan Siapa-siapa

Kamis, 30 Juni 2022 - 19:17
Gus Dur Bukan Pahlawan Siapa-siapa Muhammad Ali Dzulfikar, Santri Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi, dan mahasiswa di IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

TIMES JATIM, BANYUWANGI – Kiai Haji Abdurrahman Wahid, atau yang biasa dipanggil Gus Dur merupakan sosok  yang dihormati dan dikagumi oleh semua kalangan. Baik yang bermata sipit hingga lebar, berkulit cerah maupun legam, semua sama-sama respect kepada Presiden Republik Indonesia yang ke-4 ini.

Membahas achievement atau pencapaian ini, perlu rasanya menyinggung sedikit perihal kausalitas (hukum sebab-akibat), mengingat penghormatan yang beliau dapatkan, tak ujug-ujug dengan mantra bim salabim langsung datang begitu saja ke atas pangkuan. Hal ini patut saya sampaikan, karena kerap kali kita terpukau dengan indahnya puncak, tapi enggan merasakan pahit getirnya ketika beranjak.

Perhatian dan pembelaan Gus Dur terhadap kelompok-kelompok minoritas-lah, musabab utama yang menjadikan beliau mendapatkan julukan Bapak Tionghoa Indonesia, Bapak Pluralisme, bahkan Nabi! Beliau menganggap semua manusia yang sejajar di muka bumi ini sebagai saudara-saudaranya, tak membeda-bedakan sedikitpun dalam membela kaum minoritas yang ditindas. 

Kendati demikian, saya kurang setuju jika ada yang mengatakan, Gus dur adalah pahlawan etnis ini, pahlawan suku itu. Karena, ungkapan tersebut hanya akan memunculkan konklusi, seolah-olah Gus Dur memposisikan orang-orang selain yang beliau bela sebagai musuhnya. Misalkan ada yang mengatakan bahwa Gus Dur adalah pahlawan etnis Tionghoa, pasti akan menyeruak pemahaman, kalau beliau menganggap selain etnis Tionghoa sebagai musuh beliau. Padahal tak seperti itu konsepnya. 

Yang perlu ditegaskan di sini adalah, Gus Dur tidak punya musuh yang berwujud manusia. Seseorang yang memperjuangkan nilai kemanusiaan, akan tampak lucu jika memiliki musuh berwujud manusia. Musuh beliau hanyalah sebuah makhluk bernama ideologi, berupa: politik apartheid, diskriminasi sosial atau pembedaan-pembedaan primordial yang mencabik-cabik kesamaan dan keutuhan kemanusiaan. 

Gus Dur dijuluki sebagai Bapak Tionghoa Indonesia, karena pembelaanya kepada warga Tionghoa, dalam menentang pemerintahan pada masa Orde Baru. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2006, beliau mencabut larangan merayakan Imlek bagi warga Tionghoa.

Keppres yang dibuat Gus Dur, menumbangkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China yang dikeluarkan Presiden Soeharto di masa Orde Baru.

Sebelumnya, warga Tionghoa di Indonesia tak diperkenankan melakukan tradisi atau kegiatan peribadatan secara terang-terangan. Kalau boleh, itu pun hanya dalam lingkup keluarga saja. 32 tahun lamanya aturan ini berjalan di masa Orde Baru. Alasan Pemerintah mengeluarkan aturan tersebut, karena menganggap aktivitas warga Tionghoa menghambat proses asimilasi dengan penduduk pribumi. Lebih parahnya, saat itu etnis Tionghoa juga disuruh untuk mengganti identitas menggunakan nama Indonesia. Seperti inikah realita di negara yang katanya menjunjung tinggi nilai demokrasi?

Gus Dur yang tak sepakat dengan pemikiran pemerintahan sebelumnya, saat menjadi Presiden usai Orde Baru tumbang, dengan satsetsatset beliau langsung menghapus aturan diskriminasi terhadap warga Tionghoa. Beliau menegaskan, bahwa etnis Tionghoa juga merupakan bagian dari bangsa Indonesia, sehingga harus mendapatkan hak-hak yang setara, termasuk dalam menjalankan ibadah dan tradisi keagamaan. 

Pun sama  dengan Gus Dur yang populer sebagai sosok sangat melekat di hati warga Papua, Gus Dur yang terkenal sebagai pembela aliran Ahmadiyah, dan Gus Dur yang masyhur sebagai penenang hati seorang Dorce Gamalama.

Gus Dur tak peduli, apa yang akan terjadi jika warga Tionghoa beribadah dengan terang-terangan. Gus Dur tak peduli, apa dampak setelah warga Papua mengibarkan bendera bintang kejora, dan menyanyikan lagu ‘Hai Tanahku Papua’ dengan lantang. Gus Dur tak peduli dengan isi ajaran Ahmadiyah, apakah bertentangan dengan akidah Islam atau bahkan menyesatkan. Gus dur tak peduli perihal status kepribadian Dorce Gamalama yang banyak menuai hujatan.  Karena, dampak yang diberikan dari tindakan kaum minoritas, tak sebanding dengan balasan yang dilontarkan kaum mayoritas, baik berupa cacian, pengucilan, bahkan pembunuhan yang jelas-jelas jauh dari nilai kemanusiaan. 

Pasang badan, rela menjadi tameng atas tindakan diskriminatif yang diterima etnis Tionghoa, warga Papua, aliran Ahmadiyah, dan Dorce Gamalama itu, tak berarti beliau dan seluruh yang beliau bela, akan bersama-sama dalam satu kubu membabat serta menyikat habis orang-orang yang telah menyakiti hati mereka, dan menghalangi jalan beliau dalam menegakkan panji kemanusiaan. 

Gus Dur tidak memperjuangkan bagaimana cara memusnahkan atau meniadakan semua yang pro terhadap pemerintahan Orde Baru, bagaimana cara membungkam kaum mayoritas yang maha benar dan suka menindas. Sebab, Gus Dur menganggap semua manusia sama, makan dengan piring yang sama, minum dengan gelas yang sama, dan berhak merasakan buaian kasih Ibu Pertiwi yang sama. 

Nilai-nilai kepahlawanan Gus Dur, yang di terjemahkan dalam tindakan itu tak sebanding, jika hanya dihargai dengan julukan Gus Dur adalah pahlawan etnis ini, pahlawan suku itu. Karena selain berpotensi adanya kesalahpahaman, apa yang beliau perjuangkan, jauh lebih penting dari sekedar mencari legalitas formal gelar kepahlawanan semata.

Kita tahu pada akhirnya, akan ada feedback alias balasan timbal-balik, saling menghargai, dan saling menyayangi antara Gus Dur dan masyarakat yang beliau bela. Bukan karena motif kekuasaan atau keduniaan, tapi murni karena mencintai Indonesia dan kemanusiaan.

***

*) Oleh: Muhammad Ali Dzulfikar, Santri Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi, dan mahasiswa di IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.