https://jatim.times.co.id/
Opini

Anak Picky Eater dan Generasi yang Lahir di Meja Digital

Minggu, 02 November 2025 - 13:04
Anak Picky Eater dan Generasi yang Lahir di Meja Digital Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.

TIMES JATIM, BOJONEGORO – Di ruang makan yang terang oleh cahaya layar gawai, seorang anak duduk di kursi kecilnya. Di depannya, sepiring nasi dan sayur yang tak tersentuh. Tangan mungilnya lebih sibuk menggeser layar tablet ketimbang menyentuh sendok. 

Ibunya, dengan nada lembut tapi lelah, mencoba membujuk: “Ayo, suapan satu lagi, nanti boleh nonton.” Sang anak hanya melirik sekilas, lalu kembali ke dunianya yang penuh animasi dan warna digital. 

Di situ, kita menyaksikan bukan sekadar drama kecil keluarga modern, melainkan potret zaman yang pelan-pelan mengubah cara anak mengenal dunia termasuk mengenal rasa.

Fenomena picky eater bukan sekadar soal anak yang susah makan. Ia adalah gejala dari gaya hidup baru yang tumbuh di tengah kemajuan teknologi dan pola konsumsi yang serba instan. 

Di kota-kota besar, kita sering menemui anak-anak yang hanya mau makan makanan tertentu: ayam goreng cepat saji, roti manis, susu rasa cokelat, atau makanan beku yang tinggal panaskan. Sayur dianggap musuh, buah tak menarik, dan nasi seolah jadi simbol kesederhanaan yang mereka tolak.

Kebiasaan ini bukan muncul tiba-tiba. Ia lahir dari perubahan besar dalam budaya pengasuhan. Dulu, makan adalah momen sosial-keluarga berkumpul, berbagi cerita, tertawa di meja makan. Kini, makan sering kali dilakukan terburu-buru, kadang tanpa pertemuan tatap muka. 

Orang tua bekerja hingga malam, anak diasuh oleh gawai, dan komunikasi keluarga digantikan oleh emoji. Dalam suasana seperti itu, makanan tak lagi punya makna emosional. Ia hanya menjadi “transaksi energi”: sesuatu yang harus masuk tubuh, bukan yang membentuk jiwa.

Teknologi menghadirkan dunia serba cepat, tapi juga menciptakan jarak yang halus antara anak dan realitas. Anak-anak kini belajar rasa bukan dari lidah, tapi dari layar. Iklan makanan berseliweran di YouTube dengan warna mencolok dan musik ceria. 

Mereka lebih mengenal karakter kartun di bungkus snack daripada aroma nasi hangat di dapur. Akibatnya, preferensi rasa mereka dibentuk bukan oleh alam dan keluarga, tapi oleh industri dan algoritma.

Dalam bahasa yang lebih dalam, picky eater adalah simbol krisis koneksi antara manusia dan sumber kehidupannya. Ketika anak menolak sayur, sesungguhnya ia sedang menjauh dari bumi yang menumbuhkan sayur itu. Ketika ia menolak makan bersama, ia sedang kehilangan tradisi yang paling purba dalam kebudayaan manusia: makan sebagai ritual kebersamaan.

Kita sering menyalahkan anak, padahal yang paling perlu dikoreksi adalah sistem di sekitarnya. Kita menciptakan dunia yang terlalu sibuk, terlalu cepat, dan terlalu canggih untuk memberi ruang bagi hal-hal sederhana seperti makan bersama. 

Orang tua, karena tekanan pekerjaan, memilih cara instan: makanan cepat saji, tontonan digital sebagai penenang, dan iming-iming hadiah agar anak mau makan. Padahal setiap kali anak disuapi sambil menatap layar, satu dimensi kesadaran dirinya perlahan hilang ia makan tanpa benar-benar hadir.

Di sinilah pentingnya membangun kebudayaan makan baru yang manusiawi. Sebuah pola yang tidak melawan teknologi, tapi menundukkannya dalam nilai keluarga. Anak perlu kembali diajak mengenal bahan makanan, menyentuh, mencium, dan menyiapkannya bersama orang tua. 

Proses itu bukan sekadar memasak, tapi membangun relasi antara anak dan kehidupan. Dari sana, rasa akan tumbuh bukan karena paksaan, tapi karena kedekatan emosional.

Picky eater juga sering berkaitan dengan gaya hidup tinggi yang menanamkan standar palsu pada anak. Banyak keluarga kini menjadikan makanan bukan kebutuhan, melainkan identitas sosial. Restoran mewah, minuman viral, atau makanan yang “instagramable” jadi ukuran prestise. 

Anak-anak pun belajar sejak dini bahwa makan bukan soal nutrisi, melainkan gaya. Maka jangan heran jika mereka memilih burger mahal ketimbang sayur tumis buatan neneknya karena yang pertama lebih bisa “diunggah”.

Di titik ini, kita perlu mengembalikan fungsi dasar makanan sebagai simbol kasih dan keberlanjutan hidup. Makanan bukan hanya gizi, tapi juga sejarah, budaya, dan cinta. Ketika anak diajak menghargai asal-usul makanan, mengenal petani, laut, dan dapur, ia akan belajar mencintai kehidupan. Sebab, anak yang tahu dari mana makanannya berasal tidak akan mudah menolak sayur, dan anak yang makan bersama keluarganya tidak akan mudah kehilangan empati.

Fenomena picky eater adalah cermin dari generasi yang tumbuh dalam dunia digital tapi kehilangan akar biologis dan sosialnya. Jika kita biarkan, kita bukan hanya membesarkan anak yang sulit makan, tapi juga generasi yang sulit merasa. 

Mereka akan tumbuh dalam kemewahan informasi, tapi miskin pengalaman inderawi. Dalam jangka panjang, itu bisa menjadi krisis identitas budaya dan kesehatan bangsa.

Karena itu, solusinya bukan sekadar menu bergizi atau resep kreatif, melainkan revolusi kecil di meja makan keluarga. Matikan layar saat makan. Ajak anak menyiapkan hidangan. Ceritakan kisah di balik lauk sederhana. Biarkan makanan menjadi jembatan cinta, bukan arena tawar-menawar.

Anak-anak masa depan perlu belajar bahwa makan bukan tugas, tapi perayaan. Bahwa nasi dan sayur bukan simbol kemiskinan, tapi jejak peradaban. Bahwa mencintai makanan berarti menghargai hidup.

Dan barangkali, di tengah hiruk-pikuk dunia digital, suara sendok yang beradu dengan piring, tawa kecil di meja makan, dan aroma dapur yang hangat adalah bentuk teknologi paling tua sekaligus paling manusiawi untuk menghidupkan kembali rasa yang hampir hilang.

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.