TIMES JATIM, BANYUWANGI – Beberapa bulan terakhir, dinamika dalam tubuh Nahdlatul Ulama di sejumlah daerah memunculkan keprihatinan mendalam. Suksesi kepemimpinan di tingkat cabang yang semestinya menjadi forum musyawarah dan silaturahmi, justru bergeser menjadi ajang perebutan legitimasi.
Ada kubu-kubu yang saling berebut dukungan, mengklaim restu dari pengurus pusat, bahkan membawa aroma intervensi politik dan kepentingan modal yang kian terasa. Di tengah hiruk-pikuk itu, kita seakan kehilangan sesuatu yang paling mendasar: ruh keikhlasan berkhidmat.
Sebagai seorang kader Muslimat NU yang tumbuh dalam tradisi pesantren, saya menulis refleksi ini bukan dengan nada menuding, melainkan dengan rasa sayang dan hormat kepada rumah besar kita bersama NU.
Organisasi ini bukan hanya wadah perjuangan sosial-keagamaan, tetapi juga warisan spiritual dan moral para ulama yang telah menuntun bangsa ini menuju kemerdekaan dan kemaslahatan. Namun, dalam suasana kontestasi yang kian keras, nilai-nilai itu tampak memudar.
Para ulama terkemuka dalam tradisi Islam, seperti Imam Al-Ghazali dan Syekh Yusuf al-Qaradawi, menjelaskan bahwa kekuasaan dalam masyarakat Muslim sering kali dipahami sebagai amanah (al-amānah) yang berakar pada legitimasi moral dan spiritual.
Seorang pemimpin dianggap sah bukan karena garis keturunan atau karisma sosialnya, tetapi sejauh mana ia mampu menegakkan keadilan, menjaga kemaslahatan, dan menunaikan tanggung jawab di hadapan Allah dan rakyatnya.
Legitimasi spiritual itu akan kehilangan maknanya ketika kekuasaan dijalankan tanpa ketundukan dan tanpa keberpihakan kepada kaum lemah. Dalam pandangan Al-Ghazali, kekuasaan tanpa etika akan menjadi fitnah; sementara al-Qaradawi menegaskan bahwa pemerintahan yang adil adalah manifestasi tertinggi dari ibadah sosial seorang pemimpin.
Fenomena serupa kini tampak di sejumlah lingkar kekuasaan lokal dalam tubuh NU. Kedekatan nasab, garis keturunan kiai, atau status sosial sering dijadikan dasar untuk menuntut kepatuhan dan penghormatan.
Dalam konteks organisasi saat ini, terutama ormas keagamaan sebesar NU, ukuran kepemimpinan semestinya bukan sekedar garis darah, melainkan integritas moral dan kemampuan mengayomi.
Masalah muncul ketika “legitimasi religius” itu dipertahankan tanpa keseimbangan tanggung jawab sosial. Ketika penghormatan berubah menjadi kekebalan, ketika karisma menjadi benteng dari kritik, di situlah akuntabilitas publik melemah.
Akibatnya, struktur kekuasaan internal menjadi tertutup, dan proses musyawarah kehilangan nilai kesetaraan yang sejatinya menjadi inti ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
Krisis Kepemimpinan dan Realitas Sosial Umat
Dalam realitas sosial yang lebih luas, umat di akar rumput yang sebagian besar adalah warga Nahdliyyin justru tengah menghadapi situasi sosial-ekonomi yang kian terpuruk. Di banyak desa dan pinggiran kota, kemiskinan masih menjadi wajah keseharian umat NU.
Angka perceraian tinggi, kasus pernikahan anak terus terjadi, dan stunting masih menghantui generasi penerus. Guru ngaji yang menjadi ujung tombak pendidikan moral di kampung-kampung hidup dengan insentif tak seberapa, bahkan sering tanpa penghargaan sosial yang layak.
Program ketahanan pangan desa kerap gagal karena lemahnya tata kelola, sementara kerusakan lingkungan akibat tambang, sampah, dan eksploitasi lahan semakin parah. Ironisnya, banyak lembaga di bawah struktur organisasi keagamaan dan sosial justru gagal memainkan peran solutif dan transformatif.
Struktur yang mestinya menjadi pelindung dan penggerak kesejahteraan umat kini sering terjebak dalam rutinitas administratif dan formalitas proyek, jauh dari misi memaslahatkan masyarakat sebagaimana cita-cita awal para muassis NU.
Ketika Marwah Pesantren Tergadai oleh Politik Praktis
Di tingkat akar rumput, banyak kader Muslimat, Fatayat, Ansor, dan Banser serta kader-kader muda- nya yang justru merasakan kebingungan. Mereka menyaksikan bagaimana perbedaan pandangan antar-elite di atas sering kali memecah barisan di bawah. Sementara para pengurus yang mestinya menjadi perekat justru terjebak dalam tarikan kepentingan parpol dan kekuasaan ekonomi lokal.
Tak bisa dipungkiri, dalam beberapa kasus, kekuatan modal dan jaringan politik turut masuk ke dalam dinamika organisasi. Dukungan pejabat daerah, afiliasi partai, bahkan sponsor swasta menjadi faktor yang menentukan arah dukungan dalam konferensi cabang. Fenomena ini menimbulkan ironi tersendiri: NU yang dulu menjadi moral force bangsa kini terancam kehilangan independensinya di tingkat praksis.
Lebih dari sekadar konflik internal, situasi ini mengisyaratkan pergeseran nilai — dari khidmah menuju kuasa. Dari pengabdian menjadi perebutan posisi. Dari kesetiaan terhadap amanah menjadi kesetiaan terhadap kelompok.
Pesan Gus Baha’ beberapa waktu lalu terasa sangat relevan dalam konteks ini. Beliau berkata, “Orang yang keturunan ulama seharusnya bukan bangga, tapi sedih dan terbebani. Karena kalau akhlaknya tidak seperti mbah-mbahnya, itu aib, bukan kehormatan.”
Pernyataan sederhana itu sejatinya mengandung etika politik yang sangat dalam. Bahwa nasab mulia bukan jaminan kepemimpinan, melainkan tanggung jawab moral yang berat.
Pesan itu juga menyinggung sisi lain dari krisis legitimasi moral di tubuh organisasi: ketika nama besar para leluhur dijadikan tameng, bukan teladan; ketika simbol keulamaan dijadikan alat legitimasi, bukan inspirasi.
Para ulama pendiri NU seperti Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim telah menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus dijalankan dengan hikmah dan musyawarah, bukan dengan intrik dan dominasi.
NU dan Ujian Akuntabilitas Sosial
Nahdlatul Ulama selalu menjadi laboratorium sosial yang merepresentasikan kehidupan masyarakat Indonesia: kompleks, dinamis, dan penuh warna. Karena itu, setiap krisis di tubuh NU sesungguhnya juga cerminan krisis sosial yang lebih luas tentang bagaimana kita memperlakukan kekuasaan, amanah, dan tanggung jawab publik.
NU semestinya menjadi pelopor akuntabilitas moral dalam ruang publik menampilkan teladan kepemimpinan yang berorientasi pada kesejahteraan umat, bukan kemapanan kelompok.
Kekuasaan dalam perspektif Islam adalah bentuk pengabdian. Ia hanya sah selama berpihak pada keadilan dan kemaslahatan. Ketika kekuasaan kehilangan orientasi itu, ia berubah menjadi gharar (ketidakpastian moral) dan maisir (permainan untung-rugi yang menipu), yang justru menjauhkan umat dari cita-cita maqasid syariah.
NU bukan sekadar organisasi keagamaan. Ia adalah warisan moral, warisan akal sehat, dan warisan akhlak bangsa. Menjaga NU berarti menjaga cara kita beragama dan bernegara dengan adab, kesetaraan, dan tanggung jawab.
Sebagai kader, saya hanya berharap agar dinamika internal NU betapa pun kerasnya tidak mengikis nilai-nilai luhur yang ditanamkan para kiai pendiri: ikhlas, tawadhu’, dan adil.
Musyawarah semestinya menjadi ruang untuk menemukan ridha Allah, bukan ridha kelompok. Kekuasaan seharusnya dijalankan dengan amanah, bukan ambisi.
Mungkin inilah saatnya kita menundukkan kepala sejenak, merenungi kembali pesan Gus Baha’, dan bertanya pada diri sendiri: Apakah kita masih berkhidmat untuk umat, atau hanya berjuang untuk posisi?
“Kekuasaan yang tak diiringi tanggung jawab moral hanyalah ilusi kebesaran yang rapuh,” Franz Magnis-Suseno, Etika Politik.(*)
***
*) Oleh : Dr. Emi Hidayati, M.Si., Kader Muslimat NU, Dosen, dan Penulis asal Banyuwangi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |