https://jatim.times.co.id/
Opini

Hukum yang Tertinggal di Belakang Teknologi

Minggu, 02 November 2025 - 19:34
Hukum yang Tertinggal di Belakang Teknologi Thoriqul choir, Praktisi Hukum.

TIMES JATIM, MALANG – Bayangkan, di tengah derasnya arus kecerdasan buatan, big data, dan dunia digital yang semakin otonom, hukum kita masih berjalan seperti kereta lambat di rel tua. Regulasi yang seharusnya menjadi pagar moral dan sosial justru sering tertinggal jauh di belakang laju inovasi. Ironisnya, bukan hanya perangkat hukum yang lamban, tetapi juga kesadaran etik dan tanggung jawab digital masyarakat yang kian kabur.

Hari ini, setiap klik di layar ponsel bisa memicu sengketa hukum, dari pelanggaran data pribadi, ujaran kebencian, hingga manipulasi informasi lewat algoritma. Tapi, apakah negara benar-benar siap menghadapi konsekuensi dari revolusi digital ini?

Dalam teori klasik, hukum selalu dianggap sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Namun kini, yang terjadi justru sebaliknya: teknologi menjadi alat rekayasa hukum. Dunia digital menciptakan realitas baru yang belum pernah dibayangkan pembuat undang-undang. 

Misalnya, konsep kepemilikan data, tanggung jawab kecerdasan buatan (AI), atau bukti digital dalam sistem peradilan semuanya belum sepenuhnya terakomodasi dalam norma hukum positif Indonesia.

Lihat saja kasus-kasus yang ramai di publik: penyalahgunaan data pribadi pengguna platform digital, penipuan online lewat modus deepfake, dan penyebaran hoaks menggunakan bot otomatis. Semuanya muncul lebih cepat daripada kemampuan hukum menanggapinya. 

UU ITE yang semula dimaksudkan untuk melindungi kepentingan publik di ruang digital, justru sering disalahgunakan untuk membungkam kritik atau menjerat warga biasa. Hukum yang seharusnya adaptif dan progresif, malah seringkali menjadi alat represi di tengah keterlambatan regulatif.

Kita hidup di era technological determinism, di mana teknologi bukan sekadar alat bantu, tapi pembentuk kebudayaan baru. Sementara itu, hukum masih berkutat pada paradigma lama: teks, pasal, dan tafsir kaku. 

Di dunia siber, kejahatan tidak mengenal batas negara, waktu, atau otoritas. Peretas dari benua lain bisa mengakses data warga Indonesia dalam hitungan detik. Hukum nasional pun seolah kehilangan gigi.

Kondisi ini menuntut perubahan mendasar dalam cara kita memandang relasi antara hukum dan teknologi. Pertama, hukum tidak boleh lagi bersifat reaktif. Ia harus proaktif dan prediktif. Negara mesti mengembangkan kerangka regulasi yang mampu membaca arah perkembangan teknologi lima hingga sepuluh tahun ke depan. Sebab, jika hukum hanya hadir setelah terjadi pelanggaran, maka yang tersisa hanyalah penyesalan publik dan kerugian masif yang tak tertanggungkan.

Kedua, penegakan hukum di ruang digital membutuhkan kapasitas baru. Aparat penegak hukum tidak cukup hanya memahami KUHP atau UU ITE, tetapi juga wajib menguasai logika sistem informasi, cyber forensics, dan etika teknologi. 

Tanpa itu, penegakan hukum siber hanya akan menjadi formalitas tanpa makna. Banyak kasus peretasan dan penipuan digital gagal diungkap bukan karena pelaku terlalu canggih, tapi karena aparatnya gagap teknologi.

Ketiga, masyarakat digital juga harus tumbuh dengan kesadaran hukum yang tinggi. Literasi digital bukan hanya soal mengenal fitur aplikasi, tetapi memahami konsekuensi hukum dari setiap tindakan di dunia maya. 

Ketika seseorang menyebarkan video tanpa izin, atau memanfaatkan AI untuk memanipulasi citra orang lain, ia seharusnya sadar bahwa tindakannya bisa melanggar hak privasi dan reputasi orang lain. Hukum bukan sekadar ancaman, tapi pagar etika bagi kehidupan digital yang beradab.

Indonesia sebenarnya sudah mulai bergerak. Lahirnya UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi adalah langkah penting, meski belum sempurna. Tapi undang-undang saja tidak cukup. Kita butuh legal ecosystem ekosistem hukum yang hidup, adaptif, dan berkelanjutan. Itu mencakup reformasi pendidikan hukum, digitalisasi lembaga peradilan, serta kolaborasi lintas negara dalam menghadapi kejahatan siber.

Salah satu tantangan terbesarnya justru terletak pada integritas moral manusia di balik teknologi itu sendiri. Karena sejatinya, hukum tidak mungkin lebih cepat dari pikiran manusia. 

Maka, penguatan nilai etik dan kesadaran spiritual menjadi pondasi penting agar kemajuan teknologi tidak menjelma menjadi bencana sosial. Kita harus menanamkan bahwa di balik setiap algoritma, ada tanggung jawab moral. Di balik setiap data, ada hak asasi manusia yang harus dijaga.

Di masa depan, hukum dan teknologi tidak boleh berjalan di dua dunia yang berbeda. Hukum harus menjadi mitra dialog teknologi, bukan musuhnya. Jika teknologi adalah pisau bermata dua, maka hukum adalah sarungnya yang menjaga agar pisau itu tidak melukai manusia.

Kita membutuhkan paradigma baru: hukum yang humanis di tengah dunia yang digital. Sebuah sistem hukum yang tidak hanya menindak, tapi juga mendidik; tidak hanya mengatur, tapi juga membangun kesadaran kolektif tentang tanggung jawab digital. 

Karena pada akhirnya, keadilan di era teknologi bukan lagi tentang siapa yang benar atau salah, tetapi tentang bagaimana menjaga martabat manusia di tengah arus inovasi tanpa batas.

Dan di situlah, hukum seharusnya berdiri bukan di belakang teknologi, melainkan di sampingnya, menuntun arah peradaban agar tetap manusiawi. (*)

***

*) Oleh : Thoriqul choir, Praktisi Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.