TIMES JATIM, MALANG – Menyaksikan kehancuran dan penderitaan korban banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan daerah sekitarnya, siapa pun yang punya nurani akan menangis.
Bencana di Sumatera itu menjadi laboratorium sosial yang sangat jujur, untuk menunjukkan betapa rakyat Indonesia punya empati dan solidaritas yang tidak terbatas.
Sebelum negara tiba dengan bantuannya dan pemerintah datang dengan ulurannya, kita harus jujur mengakui bahwa rakyat biasa, para relawan spontan, penggalang donasi daring, komunitas yang tidak didukung dengan sumber daya besar, netizen, dan lainnya adalah mereka yang tampil di garda terdepan mengambil peran. Empati mereka bergerak lebih cepat daripada prosedur birokrasi dan narasi duka dari pejabat.
Di jagat maya, konsep Warga Jaga Warga menggema. Muncul sebagai energi yang telah kita kenal lama, yaitu gotong royong. Tanpa payung institusi formal, Warga Jaga Warga beroperasi melalui jejaring digital, memutus jarak fisik, menggerakkan empati menjadi aksi nyata.
Lewat donasi dan segala rupa bantuan, netizen menunjukkan solidaritasnya sebagai wujud kemanusiaan. Potret semacam ini selalu muncul berulang, setiap kali bencana datang melanda di berbagai daerah.
Fenomena ini sejalan dengan pemikiran tokoh sosiologi kenamaan Emile Durkheim tentang solidaritas sosial, bahwa masyarakat bertahan bukan karena aturan semata, tetapi karena jalinan hubungan emosional yang membuat seseorang tergerak membantu orang lain yang bahkan tidak ia kenal.
Bencana di Sumatera menunjukkan bahwa ketika struktur formal lamban dengan penuh pertimbangan birokratis, masyarakat kembali pada mekanisme dasar solidaritas mekanik, yakni rasa kebersamaan yang tumbuh dari pengalaman kolektif menghadapi penderitaan.
Warga Jaga Warga adalah bentuk nyata dari kekuatan masyarakat sipil (civil society), Hal ini relevan dengan literatur demokrasi partisipatif, bahwa warga biasa bukan hanya objek kebijakan, tetapi aktor yang bisa turut mengambil peran dalam mitigasi bencana, distribusi bantuan, dan advokasi sosial.
Lebih dari itu, konsep Warga Jaga Warga bukan sekadar romantisme solidaritas, tetapi juga merupakan kritik sosial yang sangat politis terhadap pasifnya negara. Filsuf sosial Hannah Arendt pernah mengingatkan, bahwa solidaritas warga sering muncul bukan karena negara berhasil, tetapi karena negara gagal mengantisipasi risiko yang ia sendiri ciptakan lewat banalitas kekuasaan. Gerakan Warga Jaga Warga ini bukan hanya respons spontanitas, tetapi juga semacam koreksi moral terhadap ketidakmampuan negara mengelola lingkungan dan risikonya.
Oleh filsuf Rusia Peter Kropotkin, fenomena semacam ini disebut mutual aid. Menurut Kropotkin, kerja sama dan gotong royong adalah strategi bertahan hidup paling mendasar dalam sejarah manusia.
Dalam bencana, mutual aid bukan sekadar etika moral, tetapi kemampuan bertahan hidup yang tidak dimiliki oleh negara maupun kapitalis. Gerakan Warga Jaga Warga membuktikan bahwa solidaritas bukan sekadar moralitas, melainkan infrastruktur sosial yang menopang kehidupan ketika sistem lainnya bergerak semu.
Jangan lupa pula bahwa bencana yang terjadi di Sumatera ini bukan semata faktor alam, tetapi kenyataan getir dari tata kelola ruang yang buruk melalui deforestasi, izin konsesi yang tidak terkendali, dan pembangunan yang mengabaikan ekosistem, serta penghambat atas kuasa kapitalisme. Solidaritas Warga Jaga Warga seharusnya menjadi refleksi paling keras dari kegagalan struktural negara atas pengelolaan hutan dan kekayaan alam negeri ini.
Solidaritas ini tidak boleh menutupi fakta bahwa bencana ekologis adalah hasil dari keputusan politik yang terlalu lama dibiarkan. Kekuatan ini menjadi dasar untuk menuntut perubahan struktural terhadap kebijakan lingkungan yang adil, tata ruang yang berkelanjutan, dan negara yang tidak hanya datang setelah bencana, tetapi hadir sebelum hal itu terjadi.
Solidaritas ini mungkin menyelamatkan nyawa, membantu meringankan penderitaan, dan memberikan semangat untuk tetap bertahan bagi para korban. Tetapi, pada akhirnya, keadilan ekologis lewat ketegasan negara dan kebijakan pemerintah yang akan menyelamatkan masa depan.
Mungkinkah negara akan berbenah dan menjadikan tragedi ini sebagai pelajaran penting? Kita, sesama warga negara, harus terus mengawal dan menyuarakannya.
***
*) Oleh : Najamuddin Khairur Rijal, Mahasiswa S3 FISIP Universitas Airlangga, Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |