TIMES JATIM, MALANG – Di tengah derasnya arus revolusi digital, madrasah sering dipersepsikan sebagai lembaga yang berjalan di belakang waktu tempat kitab kuning bersanding dengan papan tulis kapur, tempat tradisi lebih sering dirawat daripada dikembangkan.
Namun, siapa sangka, justru dari kesederhanaan itu kini mulai lahir gagasan besar: madrasah unggul teknologi. Sebuah upaya mulia yang ingin meneguhkan posisi madrasah bukan hanya sebagai penjaga warisan, tetapi juga pelopor masa depan.
Madrasah unggul teknologi bukanlah mimpi yang asing. Ia lahir dari kesadaran bahwa kemajuan zaman bukan untuk ditakuti, tapi untuk dikelola. Bahwa digitalisasi tidak harus mematikan nilai spiritualitas, justru bisa menjadi sarana untuk meneguhkannya.
Dalam konteks inilah, madrasah perlu memadukan akal modernitas dan jiwa religiusitas dua kekuatan yang bila dirangkai dengan benar, akan melahirkan manusia berilmu sekaligus beradab.
Teknologi sejatinya hanyalah alat. Tapi di tangan yang bijak, alat bisa menjadi cahaya. Madrasah perlu mengambil peran ini bukan sekadar pengguna, tetapi pengarah.
Ketika banyak lembaga pendidikan berlomba-lomba meniru sistem luar negeri, madrasah harus berani tampil dengan karakter sendiri: teknologi yang berbasis nilai, kemajuan yang berpijak pada etika.
Kita membayangkan madrasah yang bukan hanya melek digital, tetapi juga produktif digital. Santri dan siswa tak hanya belajar mengetik atau berselancar di internet, tapi mampu mencipta konten, mengolah data, bahkan mengembangkan solusi berbasis kecerdasan buatan yang berpijak pada prinsip keislaman.
Bayangkan jika setiap madrasah memiliki laboratorium teknologi berbasis nilai Qurani tempat di mana sains dan spiritualitas tidak saling meniadakan, tapi saling menguatkan.
Gagasan sebesar itu tentu tidak cukup hanya dengan retorika. Diperlukan infrastruktur, pelatihan guru, dan keberanian mengubah paradigma. Banyak madrasah masih bergulat dengan fasilitas seadanya, jaringan internet yang lamban, dan sumber daya manusia yang belum terbiasa dengan budaya digital. Tapi bukankah setiap keterbatasan selalu menyimpan peluang untuk berinovasi?
Guru madrasah harus menjadi ujung tombak transformasi ini. Mereka bukan lagi sekadar pengajar teks, tapi fasilitator dunia baru yang bisa menjembatani kitab klasik dengan aplikasi digital, mengaitkan ayat dengan algoritma, dan memaknai ilmu bukan hanya dari buku, tapi dari data. Di tangan guru, madrasah bisa melahirkan generasi yang paham teknologi tanpa kehilangan adab.
Sebagaimana sabda Nabi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.” Maka, kemajuan teknologi di madrasah sejatinya bukan untuk gaya, tapi untuk kebermanfaatan.
Bukan sekadar menunjukkan bahwa madrasah juga bisa modern, melainkan memastikan bahwa kemodernan itu memberi dampak sosial: membantu masyarakat desa dengan aplikasi pertanian, memudahkan dakwah melalui media digital, atau menciptakan sistem informasi zakat yang transparan.
Sayangnya, hingga kini masih banyak pihak yang memandang madrasah dengan kacamata sempit: kolot, lamban, dan tradisional. Padahal di banyak daerah, madrasah justru menjadi laboratorium kehidupan yang paling nyata.
Di sanalah anak-anak belajar kesederhanaan, solidaritas, dan ketekunan nilai-nilai yang justru sering hilang dalam pendidikan modern. Maka, ketika madrasah menapaki jalan teknologi, sesungguhnya ia sedang memperluas makna ilmu yang bermanfaat dalam konteks zaman.
Negara mesti hadir lebih serius. Dukungan digitalisasi madrasah tidak cukup hanya berupa bantuan alat, tetapi juga strategi jangka panjang. Harus ada kebijakan afirmatif untuk memastikan bahwa setiap madrasah, terutama di daerah 3T, memiliki akses yang sama terhadap teknologi pendidikan. Tanpa itu, gagasan “unggul” hanya akan menjadi jargon yang berputar di ruang seminar.
Madrasah unggul teknologi bukan hanya soal kemampuan menggunakan gadget, tetapi soal keberanian berpikir maju tanpa kehilangan akar. Di tengah dunia yang semakin sibuk meniru Barat, madrasah harus berdiri tegak sebagai poros timur tempat di mana ilmu modern diterangi oleh cahaya spiritualitas.
Jika pesantren adalah benteng moral bangsa, maka madrasah unggul teknologi adalah jembatan menuju masa depan. Di sanalah kita menanam benih harapan baru: generasi yang cerdas dalam akal, bersih dalam hati, dan tangguh menghadapi zaman.
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |