https://jatim.times.co.id/
Opini

Janji Manis Digitalisasi Pendidikan

Kamis, 29 Mei 2025 - 20:39
Janji Manis Digitalisasi Pendidikan Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Kadang saya mikir, negeri ini kok makin lama makin aneh. Setiap tahun kita dengar berita soal anggaran pendidikan triliunan rupiah, program digitalisasi sana-sini, tablet gratis, WiFi sekolah, aplikasi daring, dan segala macam jargon keren. 

Ironisnya, anak-anak di kampung masih banyak yang putus sekolah. Guru di pelosok masih ngajar pakai papan tulis yang setengah bolong, kapur beli sendiri, sinyal cuma nongol pas malam Jumat. 

Jangan salah paham, saya bukan anti teknologi. Digitalisasi itu penting. Tapi sayangnya, di sini yang lebih penting itu proyeknya, bukan hasilnya. 

Kita lebih sibuk belanja gadget ketimbang mikirin anak-anaknya benar-benar paham apa tidak. Dan yang lebih menyakitkan, anggarannya pun sering nyangkut di tangan orang-orang yang bahkan nggak paham pendidikan.

Buka saja laporan Kejaksaan Agung, kasus korupsi pengadaan laptop Chromebook senilai Rp9,9 triliun di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) periode 2019-2022 tengah diusut. 

Proyek ini awalnya bertujuan untuk mendukung digitalisasi pendidikan melalui pengadaan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bagi satuan pendidikan. Namun, hasil uji coba pada 2019 menunjukkan bahwa penggunaan Chromebook tidak efektif karena ketergantungan pada koneksi internet, sementara infrastruktur internet di banyak daerah Indonesia masih terbatas.

Meskipun demikian, proyek tetap dilanjutkan dengan spesifikasi Chromebook, diduga karena adanya pemufakatan jahat yang mengarahkan tim teknis untuk menyusun kajian teknis yang mendukung penggunaan perangkat tersebut. Total anggaran proyek mencapai Rp9,98 triliun, terdiri dari Rp3,58 triliun dari satuan pendidikan dan Rp6,4 triliun melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).

Dalam penyelidikan, Kejaksaan Agung telah memeriksa 28 saksi, termasuk dua mantan staf khusus Menteri Pendidikan saat itu, Nadiem Makarim. Penggeledahan juga dilakukan di apartemen milik kedua staf khusus tersebut, dan sejumlah barang bukti telah disita untuk pendalaman kasus. 

Data dari BPS tahun 2024 menyebutkan, masih ada sekitar 1,5 juta anak Indonesia yang tidak sekolah. Sementara itu, nilai PISA 2022 semacam ranking kemampuan pelajar di dunia  Indonesia duduk di urutan ke-71 dari 79 negara. 

Jujur saja, itu kayak main bola di liga tarkam tapi belagak pemain timnas. Ironisnya, yang didandanin terus tuh fasilitas sekolah di kota. Anak-anak di desa mah cukup puas disuruh senyum di depan spanduk “Sekolah Siap Digitalisasi”.

Sekarang coba bandingkan sama Finlandia. Negara kecil, penduduknya nggak sampai segede Jakarta, tapi sistem pendidikannya bisa ngalahin negara-negara besar. Di sana nggak ada istilah sekolah favorit. Semua anak punya hak yang sama dapat guru bagus. 

Kurikulum dibuat sederhana, anak SD baru pegang gadget buat belajar itu pas umur 13-an. Sebelum itu, mereka disuruh main, baca buku, ngobrol sama orang tua, belajar soal empati. Nah, yang kayak begini nih yang bikin anak-anak di sana beneran cerdas, bukan sekadar pintar ngafal.

Saya pernah baca, di Finlandia, profesi guru itu sangat dihormati. Minimal harus S2 buat bisa ngajar SD. Coba bandingkan sama kita, di mana guru honorer di pelosok ada yang gajinya kalah sama tukang parkir di mall. Kalau begini, mau dikasih laptop sepuluh pun nggak bakal ngaruh kalau gurunya harus ngajar sambil mikirin beras di rumah.

Masalah kita ini klasik: terlalu sibuk mikirin proyek, lupa ke manusianya. Dalam perspektif kontrak sosial ala Rousseau, pemerintah wajib memberikan hak dasar rakyat, termasuk pendidikan. 

Kalau hak itu diabaikan, itu bentuk pengingkaran kontrak sosial. Tapi di sini, ngingkar janji tuh kayaknya udah jadi hobi nasional. Mulai dari kampanye presiden, bupati, sampai janji WiFi gratis buat desa, kebanyakan berakhir jadi PHP.

Yang lebih menyedihkan, ketika ada kasus ijazah palsu, kita rame-rame ribut. Tapi giliran ada 1,5 juta anak nggak sekolah, semuanya adem ayem. Di TV, talkshow politik penuh bahas soal kursi menteri, harga tiket konser, atau gosip selebriti, tapi nyaris nggak ada yang serius bicara soal pendidikan anak desa. Padahal ini soal masa depan bangsa, bukan sekadar berita viral.

Jujur, kita bangsa yang terlalu cinta simbol. Gelar profesor dielu-elukan, pejabat pakai batik pura-pura merakyat, tapi substansinya kosong. Sama kayak digitalisasi pendidikan ini, kelihatan keren di atas kertas, rapatnya difoto, diunggah ke medsos, tapi anak di kampung tetap nggak bisa akses internet.

Kata Philip Selznick, hukum seharusnya responsif. Artinya, bukan cuma urusan prosedur dan pasal-pasal, tapi harus peka terhadap persoalan sosial. Kalau ada anggaran pendidikan yang bocor, aparat hukum harus cepat turun tangan. Jangan tunggu viral dulu di Twitter baru sibuk cari kambing hitam.

Kalau boleh sedikit berandai, saya ingin Indonesia meniru Finlandia. Tapi bukan soal canggih-canggihannya, lebih ke pola pikirnya. Fokus dulu ke kualitas guru. Bikin anak-anak senang belajar, bukan stres ngejar nilai. Beri ruang untuk anak miskin sekolah tanpa harus mikirin beli HP dulu. Dan yang paling penting, hentikan anggapan bahwa pendidikan itu proyek politik.

Karena jujur saja, masa depan bangsa ini bukan ditentukan oleh seberapa banyak tablet yang dibagikan, tapi seberapa banyak anak miskin yang bisa sekolah tanpa takut. Seberapa banyak guru yang bisa mengajar tanpa harus mikir utang. Kalau itu bisa, saya yakin, digitalisasi atau apapun bentuknya nanti, akan benar-benar punya makna.

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.