https://jatim.times.co.id/
Opini

9.9 Trilliun Korupsi, Kemendikbudristek Bajak Teknologi Pendidikan

Kamis, 29 Mei 2025 - 17:31
9.9 Trilliun Korupsi, Kemendikbudristek Bajak Teknologi Pendidikan Ferry Hamid, Walikota LIRA Malang dan Tokoh Pemuda Peraih ATI award 2024.

TIMES JATIM, MALANG – Pendidikan seharusnya menjadi jantung perubahan dan fondasi peradaban. Di tengah arus modernisasi dan digitalisasi, hadirnya teknologi dalam dunia pendidikan diharapkan menjadi penopang transformasi besar. 

Sayangnya, kabar terbaru dari Kejaksaan Agung membongkar sisi gelap dari upaya tersebut: dugaan penyelewengan anggaran senilai Rp9,9 triliun dalam pengadaan fasilitas teknologi pendidikan selama periode 2019–2023 di bawah Kemendikbudristek. 

Ironi ini mengguncang nurani kita, saat teknologi dijadikan alat korupsi, bukan pencerahan.

Nadiem Makarim, sosok muda yang membawa semangat “Merdeka Belajar,” kini dihadapkan pada ujian etik dan publik. Meskipun belum tentu terlibat secara langsung, tetapi korupsi masif di lembaga yang ia pimpin adalah tanggung jawab moral yang tak bisa dihindarkan. 

Ini bukan hanya soal angka, melainkan pengkhianatan terhadap jutaan siswa, guru, dan institusi pendidikan yang selama ini berharap pada kebijakan revolusioner berbasis teknologi.

Pengadaan perangkat TIK yang seharusnya mendukung sekolah-sekolah, terutama di daerah tertinggal justru menjadi ladang bancakan anggaran. Proyek yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan digital malah memperlebar jurang ketidakadilan. 

Sekolah-sekolah di pelosok masih berjuang dengan sinyal lemah, guru-guru tetap mencicil laptop sendiri, sementara miliaran rupiah raib tanpa bekas.

Yang menyedihkan, praktik ini terjadi selama masa pandemi, saat teknologi menjadi satu-satunya jembatan pembelajaran. Di saat anak-anak Indonesia harus belajar dari rumah dengan segala keterbatasan, para oknum justru memanfaatkan situasi darurat ini untuk memperkaya diri. Ini bukan hanya korupsi administratif, tetapi pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan.

Pemerintah selama ini menjadikan digitalisasi pendidikan sebagai agenda prioritas. Dalam berbagai kesempatan, Nadiem menekankan pentingnya “digital transformation”. Namun ternyata, di balik retorika canggih itu, pengawasan lemah dan tata kelola proyek yang buruk justru membuka ruang korupsi sistemik. Lantas, bagaimana kita bisa percaya bahwa transformasi digital tidak menjadi proyek semu?

Kasus ini juga menunjukkan bahwa teknologi, tanpa etika dan akuntabilitas, hanya akan menjadi alat tirani baru. Pengadaan sistem manajemen pembelajaran digital, server, hingga perangkat keras, jika tak diawasi secara ketat, akan lebih banyak menguntungkan vendor dan kroni ketimbang peserta didik. Maka tak heran jika banyak sekolah melaporkan perangkat rusak, tidak sesuai spesifikasi, bahkan tidak pernah sampai.

Lebih jauh, ini menjadi alarm keras bagi sistem pengadaan barang dan jasa di lingkungan Kemendikbudristek. Transparansi harus menjadi kata kunci dalam semua lini birokrasi pendidikan. 

Proses tender yang tertutup, permainan harga, hingga kerja sama fiktif dengan perusahaan bodong adalah wajah bobrok dari sistem yang katanya sedang direformasi.

Masyarakat sipil, akademisi, dan media harus lebih kritis dan aktif dalam mengawasi implementasi kebijakan pendidikan. Jangan sampai proyek-proyek raksasa dengan label digitalisasi hanya menjadi proyek mercusuar tanpa substansi. 

Ini saatnya pendekatan partisipatif diperkuat, agar publik bukan hanya jadi penerima kebijakan, tapi juga pengawas dan penentu arah.

Dalam konteks ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung perlu diberi dukungan penuh untuk mengusut tuntas semua pihak yang terlibat, baik di level pejabat tinggi maupun vendor pelaksana. 

Jangan berhenti pada kambing hitam level bawah. Jika memang ada keterlibatan sistemik, maka pembersihan harus menyentuh hingga ke akar.

Tak kalah penting adalah pembenahan sistem evaluasi dan akuntabilitas internal. Kemendikbudristek harus berani membuka data proyek kepada publik, menyusun mekanisme audit berkala yang independen, dan melibatkan unsur masyarakat dalam pengambilan keputusan. Jika tidak, maka reformasi hanya akan menjadi mitos.

Para guru dan tenaga pendidik yang selama ini menjadi ujung tombak di lapangan, patut merasa dikhianati. Mereka berjuang tanpa pamrih, mengajar di daerah terpencil dengan segala keterbatasan. Namun anggaran yang seharusnya menunjang kerja mereka justru dikorupsi secara terang-terangan. Ini tamparan keras bagi dunia pendidikan kita.

Momentum ini harus dijadikan titik balik. Pemerintah harus menyadari bahwa membangun pendidikan tidak cukup dengan jargon dan platform digital. Tanpa integritas dan transparansi, semua investasi teknologi akan berujung pada kehampaan. Pendidikan butuh nurani, bukan hanya aplikasi dan dashboard.

Kita tidak menolak teknologi. Justru sebaliknya, kita menuntut agar teknologi ditempatkan pada posisi mulia: sebagai alat pemberdayaan, bukan alat manipulasi. Untuk itu, reformasi pendidikan tidak boleh hanya berhenti pada kurikulum dan sistem pembelajaran, tetapi juga harus menyentuh fondasi moral para pengambil kebijakan.

Jika benar era Nadiem meninggalkan jejak korupsi sebesar ini, maka perlu ada evaluasi total terhadap semua warisan kebijakannya. Jangan sampai publik terus disuguhi narasi kemajuan digital yang semu, padahal nyatanya adalah penyesatan masif. Pendidikan adalah ruang suci dan suci itu tidak bisa hidup berdampingan dengan korupsi.

Akhirnya, kasus ini menjadi cermin pahit bahwa musuh pendidikan bukan hanya ketidaktahuan, tetapi juga kerakusan. Semoga dari reruntuhan kepercayaan ini, lahir gerakan baru yang lebih murni dan berani membersihkan dunia pendidikan dari segala bentuk penyelewengan. Sebab, masa depan anak bangsa terlalu mahal jika harus dikorbankan demi keserakahan segelintir elite.

***

*) Oleh : Ferry Hamid, Walikota LIRA Malang dan Tokoh Pemuda Peraih ATI award 2024.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.