TIMES JATIM, JEMBER – Dalam kajian ilmu sosial, Karl Marx dan Antonio Gramsci adalah dua tokoh yang memiliki pandangan kritis terhadap bagaimana kekuasaan bekerja dalam masyarakat.
Karl Marx, seorang filsuf dan ekonom asal Jerman, mengemukakan bahwa negara adalah alat kelas borjuis untuk mempertahankan kepentingannya melalui kontrol terhadap ekonomi dan alat-alat produksi.
Sementara itu, Antonio Gramsci, seorang pemikir asal Italia, memperluas gagasan ini dengan memperkenalkan konsep hegemoni, yaitu bagaimana kelas penguasa mempertahankan kekuasaannya tidak hanya dengan paksaan, tetapi juga melalui dominasi ideologi dan budaya.
Dalam konteks Indonesia saat ini, pemikiran Marx dan Gramsci dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai permasalahan yang terjadi, seperti korupsi dalam negara, penunjukan pejabat yang tidak kompeten, serta pembungkaman kebebasan berpendapat.
Ketiga hal ini menunjukkan bagaimana hegemoni negara tetap bekerja untuk melanggengkan kekuasaan elit, sering kali dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Korupsi dan Kapitalisme Negara dalam Perspektif Marx
Karl Marx memandang negara sebagai instrumen kelas borjuis yang bertugas menjaga kepentingan ekonomi mereka. Dalam kasus korupsi di Pertamina, skandal pengadaan minyak mentah dan manipulasi kontrak menunjukkan bagaimana pejabat dan oligarki bekerja sama dalam merampas sumber daya negara untuk keuntungan pribadi.
Kasus ini menjadi bukti konkret bahwa negara tidak lagi menjadi pelayan publik, melainkan alat bagi kelompok tertentu untuk mengakumulasi kapital. Privatisasi dan oligarki ekonomi semakin memperparah keadaan, di mana perusahaan negara yang seharusnya berorientasi pada kesejahteraan rakyat justru menjadi lahan bancakan para oligarki.
Salah satu contoh adalah kasus dugaan korupsi proyek pengadaan minyak mentah yang melibatkan pejabat tinggi Pertamina, di mana harga minyak dimarkup untuk mengalirkan keuntungan bagi kelompok tertentu. Skandal ini memperkuat analisis Marx bahwa dalam sistem kapitalisme, negara hanyalah boneka yang dikendalikan oleh mereka yang memiliki modal.
Akibatnya, ketimpangan sosial semakin lebar, sementara rakyat terus dibebani dengan harga bahan pokok yang tinggi dan kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada mereka sementara para elite politik sedang selingkuh dengan para oligarki.
Selain itu, penunjukan pejabat yang tidak kompeten dalam berbagai sektor pemerintahan, juga menjadi perwujudan dari bagaimana kapitalisme negara bekerja.
Jabatan strategis lebih banyak diisi oleh individu yang memiliki hubungan politik ketimbang mereka yang benar-benar memiliki keahlian dan kompetensi. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak efektif, bahkan merugikan Masyarakat dengan alasan efesiensi negara.
Dalam perspektif Marx, ini adalah bentuk dari bagaimana kelas penguasa tetap mempertahankan dominasinya dengan memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan mereka. Meskipun dengan mengorbankan kualitas kepemimpinan dalam pemerintahan, mereka menyebutnya dengan “Koalisi Indonesia Maju Plus”.
Hegemoni Kultural dan Perlawanan Masyarakat dalam Perspektif Gramsci
Salah satu contoh nyata dari hegemoni kultural yang dikemukakan Gramsci adalah bagaimana negara mengendalikan wacana publik untuk mempertahankan status quo. Kasus yang menimpa musisi "Suka Tani" mencerminkan bagaimana kebebasan berpendapat semakin tergerus.
Kritik terhadap apparat pemerintah yang dilontarkan melalui musik dianggap sebagai ancaman, lirik mereka yang menyoroti korupsi ditubuh Polisi dianggap "menghina pemerintah", padahal itu merefleksikan realitas yang selama ini diabaikan, bukan sebagai ekspresi demokrasi. Ini menunjukkan bahwa negara menggunakan alat represif untuk membungkam suara kritis yang berpotensi menggoyahkan hegemoni mereka.
Negara tidak hanya mengandalkan aparat hukum dan kekerasan, tetapi juga menggunakan media dan propaganda untuk menciptakan narasi bahwa oposisi adalah bentuk perlawanan yang harus dihancurkan dan disebut “tidak nasionalis”.
Ini sejalan dengan pemikiran Gramsci bahwa negara modern tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga dominasi budaya, ideologi dan untuk mempertahankan kekuasaannya.
Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa hegemoni negara masih menjadi realitas yang relevan dalam dinamika politik Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Marx, revolusi terjadi ketika kelas proletar menyadari eksploitasi yang mereka alami dan melakukan perjuangan kelas untuk merebut alat produksi.
Sementara itu, menurut Gramsci, revolusi tidak hanya terjadi dalam ranah ekonomi, tetapi juga melalui perang posisi di ranah budaya dan ideologi. Dalam konteks Indonesia, kesadaran kritis masyarakat menjadi faktor utama dalam melawan dominasi negara dan oligarki.
Baik melalui gerakan sosial, media alternatif, maupun wacana intelektual yang menantang narasi hegemonik. Dengan cara ini, perubahan menuju sistem yang lebih adil dan demokratis dapat lebih mungkin diwujudkan.
***
*) Oleh : Sajad Khawarismi Maulana Mustofa, Mahasiswa Aktif UIN KHAS Jember dan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |