https://jatim.times.co.id/
Opini

Sekolah Benteng Melawan Radikalisme

Minggu, 02 November 2025 - 17:24
Sekolah Benteng Melawan Radikalisme Mas’udi Hammzah, Wasekum Bidang Hukum dan Keamanan AMPERA.

TIMES JATIM, MALANG – Di tengah gempita modernitas dan derasnya arus informasi, ada bahaya senyap yang terus mengintai: radikalisme. Ia tidak selalu datang dengan teriakan dan bendera, kadang ia menembus lewat kata, lewat layar, lewat ruang kosong di kepala anak muda yang kehilangan arah. Dan di titik itulah, sekolah mesti berdiri bukan hanya sebagai tempat belajar, tapi sebagai benteng peradaban.

Radikalisme tumbuh dari kesepian dan ketidaktahuan. Ia menyelinap di sela-sela keterasingan generasi muda yang merasa hidup tanpa makna. Di dunia yang serba cepat, ketika nilai-nilai tergantikan oleh tren dan algoritma, sebagian anak muda mencari pegangan. Sayangnya, yang mereka temukan bukan pencerahan, tapi narasi benci yang disamarkan sebagai kebenaran.

Sekolah, dalam makna sejatinya, bukan sekadar ruang kelas dan kurikulum, melainkan arena pembentukan jiwa. Di sana anak-anak seharusnya belajar berpikir, bukan sekadar menghafal; berdialog, bukan memaki; mencintai perbedaan, bukan menolak keberagaman. Karena radikalisme tidak akan pernah tumbuh di tanah yang ditanami logika dan kasih sayang.

Namun hari ini, banyak sekolah justru kehilangan ruh itu. Pendidikan sering terjebak dalam logika kompetisi dan ujian, sementara nilai-nilai kemanusiaan terpinggirkan. Padahal, benteng melawan radikalisme bukan dibangun dengan pengawasan ketat, melainkan dengan kesadaran. Guru yang penuh kasih, kurikulum yang menumbuhkan empati, dan lingkungan sekolah yang sehat adalah tembok paling kokoh untuk melindungi generasi dari ideologi gelap.

Kita tidak bisa berharap pada razia dan sensor semata. Radikalisme tidak selalu berwujud poster atau kelompok. Ia bisa hadir dalam bentuk rasa marah, kecewa, atau dendam sosial yang tak tersalurkan. Maka, pendidikan mesti hadir lebih dalam membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis, membaca secara bijak, dan menimbang kebenaran dengan nurani.

Guru memiliki peran sentral dalam perang senyap ini. Ia bukan sekadar pengajar, melainkan penjaga api kebijaksanaan. Di tangan guru, ilmu bisa menjadi cahaya yang menembus kegelapan ideologi. 

Tetapi bagaimana mungkin guru menjadi benteng, jika mereka sendiri kurang dilindungi, kurang diberdayakan? Maka, memperkuat kapasitas guru berarti memperkokoh pertahanan bangsa dari infiltrasi radikal.

Negara juga tak boleh menutup mata. Sekolah bukan satu-satunya medan, tapi ia adalah titik awal. Program literasi moderasi beragama, penguatan pendidikan karakter, hingga ruang dialog lintas iman dan budaya harus terus digelorakan. Bukan sebagai formalitas seremonial, melainkan gerakan sosial yang hidup dalam keseharian sekolah.

Radikalisme tidak tumbuh di ruang kosong. Ia tumbuh di tempat di mana rasa keadilan tumpul, di mana suara muda tak didengar, di mana perbedaan disalahpahami. Maka, jika negara ingin menang melawan radikalisme, mulailah dari menciptakan keadilan sosial dan pendidikan yang berpihak pada kemanusiaan.

Kita perlu sekolah yang menumbuhkan sense of belonging rasa memiliki terhadap bangsa. Sekolah yang membuat anak bangga menjadi bagian dari Indonesia yang majemuk. Sekolah yang mengajarkan bahwa iman tidak bertentangan dengan cinta tanah air, dan bahwa mencintai sesama adalah wujud tertinggi dari keimanan itu sendiri.

Bila pendidikan gagal menanamkan nilai itu, maka radikalisme akan selalu menemukan jalannya. Ia akan masuk lewat ruang digital, lewat ruang sunyi di pikiran, lewat kekecewaan terhadap realitas. Tapi jika sekolah mampu menghidupkan nalar dan nurani muridnya, maka virus kebencian takkan pernah mendapat tempat.

Sekolah harus menjadi taman tempat tumbuhnya jiwa yang sehat, bukan ladang yang kering oleh ketakutan. Karena radikalisme tidak bisa dikalahkan hanya dengan senjata, tapi dengan cinta, pengetahuan, dan kebijaksanaan.

Bangsa ini sudah terlalu lama melawan dengan ketakutan. Kini saatnya melawan dengan pendidikan. Karena hanya pendidikan yang mampu menyalakan kembali cahaya manusia di tengah gelapnya ideologi. 

Sekolah bukan hanya benteng melawan radikalisme, ia adalah harapan terakhir agar bangsa ini tak kehilangan akal sehat dan kasih dalam mencari kebenaran.

***

*) Oleh : Mas’udi Hammzah, Wasekum Bidang Hukum dan Keamanan AMPERA.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.