https://jatim.times.co.id/
Opini

Evolusi Negara Non-Blok

Senin, 08 September 2025 - 07:56
Evolusi Negara Non-Blok Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

TIMES JATIM, SURABAYA – Sejak awal kemerdekaan, politik luar negeri Indonesia dibangun di atas prinsip bebas dan aktif. Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung menjadi tonggak solidaritas negara-negara baru yang menolak tunduk pada kekuatan besar. 

Dari sana lahirlah Gerakan Non-Blok (GNB), sebuah warisan diplomasi yang hingga kini tetap relevan, terutama ketika dunia kembali memasuki fase multipolar, tanpa satu kekuatan dominan tunggal.

Presiden Prabowo Subianto mewarisi tradisi itu, namun mengartikulasikannya dalam konteks baru. Non-blok tidak lagi dipahami sekadar menjaga jarak dari dua kubu besar, melainkan strategi aktif untuk memperkuat posisi Indonesia di tengah pertarungan geopolitik abad ke-21.

Awal September 2025, Prabowo hadir dalam parade militer di Beijing memperingati 80 tahun kemenangan Tiongkok atas Jepang. Ia berdiri sejajar dengan Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Kim Jong-un. Kehadirannya bukan sekadar formalitas, melainkan simbol kuat bahwa Indonesia mampu menempatkan diri di tengah poros alternatif dominasi Barat.

Berbeda dengan Kim yang lebih tampil sebagai simbol politik, Prabowo menunjukkan kapasitas sebagai pemimpin yang diperhitungkan. Pertemuannya dengan Xi dan Putin tidak hanya seremonial, tetapi memperkuat dasar kerjasama strategis. 

Dari perspektif akademik, Indonesia sering dikategorikan sebagai middle power negara yang tidak sebesar kekuatan utama, tetapi punya pengaruh besar karena populasi, ekonomi, dan peran regionalnya. 

Prabowo memahami posisi ini, sehingga mendekat ke Rusia dan Tiongkok menjadi cara untuk memperkuat daya tawar Indonesia, sembari menjaga keseimbangan agar hubungan dengan Amerika Serikat dan Barat tidak terganggu.

Dari pertemuan bilateral dengan Presiden Putin, lahir kesepakatan penting: kemitraan antara Danantara (dana kekayaan negara) dan Russian Direct Investment Fund (RDIF) dengan nilai lebih dari USD 2 miliar. Kerja sama ini tidak berhenti pada sektor energi, tetapi meluas hingga teknologi nuklir dan militer. 

Rusia melihat Indonesia sebagai pintu masuk Asia Tenggara, sementara Indonesia memanfaatkan Rusia untuk diversifikasi investasi dan teknologi, agar pembangunan nasional tidak hanya bergantung pada Barat atau Tiongkok.

Hubungan dengan Tiongkok sendiri sudah lama berakar kuat. Negeri Tirai Bambu adalah mitra dagang terbesar Indonesia, dengan investasi besar di sektor nikel, smelter, hingga infrastruktur seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung. 

Namun, kehadiran Prabowo di parade militer Beijing membawa makna tambahan: bukan sekadar relasi ekonomi, melainkan pengakuan simbolik bahwa Indonesia punya posisi penting dalam narasi politik global Tiongkok. Meski begitu, Indonesia tetap berhitung agar kedekatan ini tidak ditafsirkan sebagai keberpihakan mutlak.

Kedekatan Indonesia dengan Rusia dan Tiongkok tentu mengundang reaksi. Australia sempat melontarkan kekhawatiran soal kemungkinan akses militer Rusia di Indonesia, meski kabar ini masih simpang siur. 

Amerika Serikat pun mengawasi ketat, sebab langkah ini bisa dibaca sebagai pergeseran geopolitik di Asia Tenggara. Inilah konsekuensi dari pendekatan multipolar: semakin banyak mitra yang dirangkul, semakin besar pula risiko dicurigai.

Diplomasi Indonesia harus lihai memastikan bahwa kerjasama dengan Rusia dan Tiongkok bukanlah bentuk anti-Barat, melainkan strategi hedging mengelola ketidakpastian dengan merangkul semua pihak tanpa bergantung pada salah satu. 

Prabowo, sebagai mantan Menteri Pertahanan, memahami betul pentingnya menjaga ruang manuver. Konsep strategic ambiguity sengaja tidak memperlihatkan komitmen penuh kepada satu blok menjadi pilihan tepat agar semua pihak tetap membuka pintu dialog.

Dengan strategi ini, Indonesia bisa tetap berdialog dengan Washington, menerima investasi dari Tokyo, sekaligus memperkuat kerjasama dengan Beijing dan Moskow. Politik luar negeri yang fleksibel, namun tetap berpegang pada kepentingan nasional, menjadi kunci agar Indonesia tidak kehilangan arah.

Dimensi domestik juga tidak kalah penting. Diplomasi multipolar harus menghasilkan manfaat nyata bagi rakyat, khususnya lewat investasi di bidang energi, infrastruktur, dan teknologi. Di tengah ekonomi global yang rapuh, kerjasama dengan Rusia dan Tiongkok bisa menjadi bantalan penting untuk mendorong pertumbuhan nasional.

Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia punya tanggung jawab menjaga solidaritas kawasan. Dengan memperlihatkan kedekatan dengan Rusia dan Tiongkok, Indonesia bisa mendorong ASEAN agar tidak sekadar menjadi perpanjangan tangan Washington atau Beijing. 

Namun, tantangannya besar: perbedaan sikap antar negara anggota kerap membuat ASEAN rentan terbelah. Di sinilah kepemimpinan Indonesia diuji, agar tetap inklusif dan tidak menciptakan eksklusivitas baru.

Sejarah membuktikan, politik non-blok Indonesia selalu berubah bentuk sesuai zamannya. Era Sukarno, non-blok cenderung konfrontatif terhadap Barat. Era Orde Baru, pendekatan lebih pragmatis demi pembangunan. Kini, di era Prabowo, non-blok hadir dengan wajah baru: aktif, tegas, dan adaptif menghadapi dunia multipolar.

Jika konsisten, strategi ini berpotensi mengangkat Indonesia sebagai jembatan antara blok Barat dan Timur. Lebih jauh, Indonesia bisa tampil sebagai pemimpin de facto Global South, memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang dalam tatanan dunia baru. 

Namun, keberhasilan itu bergantung pada dua hal: stabilitas domestik dan kecerdikan diplomasi. Tanpa keduanya, strategi multipolar bisa berubah menjadi beban politik luar negeri.

Diplomasi aktif yang dirancang Prabowo adalah bentuk realisme baru. Dengan membangun hubungan mendalam bersama Rusia dan Tiongkok, Indonesia memperkuat posisi tawar globalnya, sembari tetap menjaga keseimbangan dengan Barat. 

Prabowo berusaha menempatkan Indonesia bukan sekadar sebagai negara non-blok, melainkan sahabat bagi semua pihak. Bila berhasil, Indonesia akan berdiri sebagai salah satu poros penting dalam tata dunia multipolar abad ke-21. (*)

***

*) Oleh : Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.