TIMES JATIM, PADANG – Perubahan iklim bukan lagi sekadar isu lingkungan, melainkan sudah menjadi realitas sehari-hari yang menyentuh semua aspek kehidupan manusia, mulai dari sosial, ekonomi, hingga politik. Dampaknya semakin nyata, dengan suhu global yang terus meningkat, bencana alam yang semakin sering terjadi, dan ancaman serius terhadap ketahanan pangan dunia.
Di tengah urgensi ini, peran kaum akademisi sebagai penghasil pengetahuan ilmiah sering kali ditengarai belum optimal diterjemahkan menjadi kebijakan yang efektif. Pertanyaannya adalah: di manakah posisi akademisi dalam menavigasi perubahan iklim, dan bagaimana mereka dapat berkontribusi lebih signifikan terhadap kebijakan publik yang mendukung aksi iklim?
Krisis Iklim dan Kenyataan Global
Laporan terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2023) mengungkapkan bahwa suhu global telah meningkat rata-rata 1,1 derajat Celsius sejak era pra-industri, dan dunia berada di ambang krisis jika tindakan nyata tidak segera dilakukan. Bencana seperti banjir besar di Pakistan, gelombang panas di Eropa, dan kebakaran hutan di Kanada adalah peringatan keras tentang betapa gentingnya situasi ini.
Di Indonesia, ancaman yang dihadapi tidak kalah serius. Sebagai negara kepulauan, Indonesia rentan terhadap kenaikan permukaan air laut yang mengancam keberadaan wilayah pesisir, abrasi, serta kerusakan ekosistem mangrove yang vital.
Selain aspek ekologi, perubahan iklim juga memperdalam ketimpangan sosial. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam membangun ketahanan iklim karena keterbatasan sumber daya. Ironisnya, negara-negara ini adalah penyumbang emisi karbon yang jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara maju, tetapi mereka justru menjadi yang paling terdampak.
Dalam konteks global, perhatian terhadap perubahan iklim telah menjadi bagian integral dari agenda Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satu tujuan spesifik dalam SDGs adalah Goal 13: Climate Action, yang menyerukan aksi mendesak untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya.
Tujuan ini mencerminkan pentingnya pendekatan kolaboratif lintas negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan ketahanan iklim, dan mendorong transisi ke energi terbarukan.
Mirisnya, pelaksanaan Goal 13 sering kali terganjal oleh kepentingan politik dan ekonomi. Negara-negara maju yang memiliki sumber daya untuk mendukung aksi iklim global sering kali menghindar dari tanggung jawab mereka, sementara negara-negara berkembang dibiarkan berjuang sendiri dengan sumber daya yang terbatas.
Akademisi dan Jembatan Pengetahuan Kebijakan
Kaum akademisi memiliki peran ganda dalam perubahan iklim: mereka tidak hanya bertugas memproduksi pengetahuan ilmiah, tetapi juga memastikan bahwa pengetahuan tersebut digunakan untuk membentuk kebijakan yang relevan dan efektif.
Dalam banyak kasus, penelitian akademis tentang perubahan iklim telah menjadi dasar ilmiah yang kuat untuk kebijakan internasional. Contohnya adalah Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris, yang sebagian besar dirancang berdasarkan penelitian dan data yang dihasilkan oleh ilmuwan iklim.
Tantangan utama yang dihadapi kaum akademisi adalah memastikan bahwa penelitian mereka dapat diakses dan dipahami oleh para pembuat kebijakan. Menurut Brulle (2021), salah satu penyebab utama “gap komunikasi” antara akademisi dan pemerintah adalah penggunaan bahasa teknis yang sulit dipahami oleh non-akademisi. Selain itu, banyak penelitian ilmiah yang tidak cukup memperhatikan konteks spesifik suatu daerah, sehingga sulit diterapkan secara lokal.
Di Indonesia, misalnya, penelitian tentang ekosistem mangrove sering kali menunjukkan pentingnya mangrove dalam mitigasi perubahan iklim. Namun, implementasi kebijakan sering hanya berfokus pada penanaman kembali mangrove tanpa memperhatikan aspek keanekaragaman hayati, keterlibatan masyarakat lokal, atau kondisi tanah yang sesuai. Hal ini menunjukkan perlunya akademisi untuk lebih proaktif dalam menjembatani penelitian mereka dengan kebijakan publik.
Tantangan dalam Kebijakan Iklim
Salah satu tantangan terbesar dalam kebijakan iklim adalah dominasi kepentingan ekonomi dan politik yang sering kali bertentangan dengan tujuan keberlanjutan.
Naomi Klein (2014) dalam bukunya This Changes Everything menyebutkan bahwa perubahan iklim sering menjadi korban konflik antara ekonomi neoliberal dan kebutuhan untuk melindungi lingkungan. Dalam konteks ini, kebijakan sering kali dirancang untuk melindungi kepentingan jangka pendek korporasi daripada keberlanjutan ekosistem jangka panjang.
Di Indonesia, hal ini terlihat dalam kebijakan energi. Subsidi besar-besaran untuk bahan bakar fosil terus diberikan, meskipun transisi ke energi terbarukan dinilai lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Selain itu, lemahnya penegakan hukum terkait deforestasi dan eksploitasi sumber daya alam menunjukkan bahwa pemerintah masih belum memprioritaskan mitigasi perubahan iklim.
Selain itu, masalah transparansi dan akuntabilitas juga menjadi hambatan besar. Banyak negara, termasuk Indonesia, gagal menyediakan data yang terbuka tentang emisi karbon dan dampak kebijakan mereka terhadap lingkungan. Padahal, transparansi adalah kunci untuk mendorong aksi kolektif dalam mitigasi perubahan iklim.
Kolaborasi dan Inovasi dalam Pendidikan
Salah satu solusi untuk mengatasi tantangan ini adalah memperkuat kolaborasi antara akademisi, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
Di negara-negara seperti Jerman, komunitas akademisi terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan Energiewende (transisi energi), yang bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan meningkatkan kontribusi energi terbarukan. Pendekatan ini telah berhasil, dengan energi terbarukan menyumbang 46% dari konsumsi energi Jerman pada tahun 2022 (IEA, 2023).
Model kolaborasi serupa dapat diterapkan di negara kita melalui forum lintas sektor yang melibatkan akademisi sebagai konsultan utama. Forum ini dapat digunakan untuk membahas penelitian terbaru, memberikan masukan kepada pembuat kebijakan, dan mengevaluasi efektivitas kebijakan berbasis ilmiah.
Selain itu, peran pendidikan tidak bisa diabaikan. Perguruan tinggi harus lebih aktif dalam mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam kurikulum mereka. Penelitian oleh Leal Filho et al. (2022) menunjukkan bahwa pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam membentuk generasi pemimpin yang peduli terhadap keberlanjutan. Universitas-universitas di Indonesia dapat memanfaatkan inisiatif seperti green campus untuk mengintegrasikan praktik ramah lingkungan dalam operasional mereka.
Akademisi juga harus memanfaatkan media untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Dalam era digital, platform seperti media sosial, blog, dan webinar dapat digunakan untuk menyampaikan pesan ilmiah dalam bahasa yang lebih sederhana. Dengan demikian, akademisi dapat berperan sebagai advokat aktif yang menyuarakan pentingnya mitigasi perubahan iklim.
Sekali lagi, dinamika perubahan iklim menuntut aksi kolektif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Dalam konteks ini, kaum akademisi memiliki tanggung jawab besar untuk menjembatani ilmu pengetahuan dengan kebijakan publik. Mereka tidak hanya harus menghasilkan penelitian yang relevan, tetapi juga memastikan bahwa hasil penelitian tersebut diterapkan secara efektif melalui kolaborasi lintas sektor.
Hanya melalui kolaborasi, pendidikan keberlanjutan, dan advokasi yang kuat, akademisi dapat memastikan bahwa kontribusi mereka berdampak nyata. Perubahan iklim adalah tantangan global, tetapi solusi harus dimulai dari tingkat lokal, di mana akademisi memiliki potensi untuk menjadi pendorong utama aksi iklim yang konkret dan berkelanjutan.
***
*) Oleh : Mohammad Isa Gautama, Dosen Ilmu Komunikasi dan Koordinator Divisi Hilirisasi Riset RCCC Universitas Negeri Padang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |