TIMES JATIM, MALANG – Ada satu hal yang selalu saya resahkan setiap kali momen Konkorcab PKC PMII Jawa Timur akan digelar. Bukan soal siapa yang akan jadi ketua, bukan soal siapa yang bakal didukung cabang-cabang besar, atau siapa yang paling lincah mengatur deal politik di balik layar. Tapi soal ke mana sebenarnya arah organisasi ini mau dibawa?
Faktanya, dari tahun ke tahun, Konkorcab lebih sering jadi ajang rebutan kursi ketua ketimbang forum evaluasi dan perumusan agenda perjuangan. Kita sibuk berdebat soal jumlah suara, nego dukungan, amplop penggembira, hingga siapa yang bakal ‘mengamankan sidang’. Sementara di luar sana, ketimpangan sosial, korupsi, perampasan ruang hidup, dan ketidakadilan hukum terus terjadi.
Saya harus bilang jujur, organisasi kita sedang bermasalah. Bukan karena jumlah kader berkurang atau kegiatan sepi. Tapi karena marwah gerakan intelektual yang dulu dibanggakan senior-senior kita pelan-pelan hancur, digerus oleh budaya transaksional yang dilegalkan diam-diam.
Lihat saja bagaimana polanya. Beberapa kandidat ketua mulai pasang strategi sejak jauh hari. Bukan soal program kerja atau gagasan pergerakan, tapi soal siapa yang harus ditemui, cabang mana yang bisa dibeli, dan siapa yang bisa dijadikan “kunci suara”.
Bahkan tak sedikit yang terang-terangan minta mahar. Ini bukan tuduhan kosong. Beberapa sahabat sendiri pernah cerita, bagaimana di Konkorcab sebelumnya, suara cabang ditukar dengan janji jabatan atau uang tunai.
Kalau terus begini, mau dibawa ke mana organisasi yang lahir dari semangat para mahasiswa yang ingin menjawab tantangan zaman dan membangun peradaban berlandaskan nilai-nilai Islam dan keadilan sosial?
Perlu kita ingat bersama, PMII didirikan pada 17 April 1960 bukan sekadar sebagai organisasi mahasiswa biasa. Ia lahir sebagai jawaban atas kebutuhan kader-kader mahasiswa Nahdlatul Ulama untuk berperan aktif dalam perubahan sosial dan politik Indonesia.
Tujuan awalnya jelas: menciptakan generasi intelektual muslim yang kritis, progresif, dan berani melawan ketidakadilan serta menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban.
Dan Jawa Timur, sejak dulu, dikenal sebagai barometer gerakan PMII nasional. Banyak tokoh nasional, aktivis perubahan, hingga intelektual NU lahir dari rahim PMII Jatim.
Di tahun-tahun awal reformasi, kader PMII aktif di jalanan, bersuara soal korupsi, advokasi petani, hingga ketimpangan anggaran pendidikan. Kita bisa baca dari catatan-catatan lama, bagaimana PMII pernah jadi lawan serius pemerintah daerah yang abai terhadap nasib rakyatnya.
Sekarang, coba lihat data. BPS Jawa Timur mencatat angka kemiskinan kita masih di atas rata-rata nasional: 10,77% per 2024. Jumlah pengangguran terbuka di kalangan anak muda pun tinggi.
Tapi sayang, forum-forum seperti Konkorcab malah lebih sibuk soal siapa yang bakal duduk, bukan soal agenda strategis menghadapi problem sosial ini.
Karena itu, menurut saya, Konkorcab kali ini harus jadi momentum perlawanan. Bukan perlawanan fisik atau chaos di forum sidang, tapi perlawanan terhadap tradisi bobrok yang sudah terlalu lama dilestarikan. Kita harus berani bilang: cukup sudah PMII dipermainkan oleh kepentingan elit internal dan eksternal.
Saya percaya, masih banyak kader PMII di Jawa Timur yang idealis. Yang resah melihat organisasi dicemari praktik murahan. Tapi selama mereka memilih diam, selama kita semua memilih aman, jangan salahkan kalau PMII kelak hanya tinggal nama.
Sejarah akan mencatat siapa yang hari ini memilih melawan, siapa yang membela status quo, dan siapa yang pura-pura tak tahu. Saya tidak ingin suatu hari nanti, anak-anak kita membaca PMII hanya sebagai cerita organisasi mahasiswa terbesar yang mati pelan-pelan karena kadernya takut kehilangan kursi.
Konkorcab kali ini bukan sekadar soal siapa yang menang dan kalah. Tapi soal ke mana arah PMII Dua tahun ke depan. Apakah tetap jadi organisasi penuh drama, atau kembali menjadi rumah gerakan intelektual yang membela kepentingan rakyat.
Kalau kita gagal mengubahnya sekarang, jangan berharap ada perubahan di kemudian hari. Karena budaya buruk, kalau tak dilawan hari ini, akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Dan kalau itu terjadi, percayalah kita semua akan jadi bagian dari dosa sejarah.
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |